JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Publik akhirnya bereaksi dan mengkritik keras langkah DPR yang ingin merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Dalam pandangan mereka, ada beberapa poin dalam draf revisi UU KPK inisiatif DPR itu tidak relevan dengan Piagam Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas menyebut bahwa wacana revisi UU KPK sebagai tragedi kemanusiaan yang harus dilawan. Pengabdian KPK terhadap Indonesia sudah cukup banyak dan saat ini harus diselamatkan. “Pengabdian nan tulus jajaran KPK sejak 17 tahun yang lalu hingga kini, semata untuk membebaskan ratusan juta rakyat yang dimiskinkan oleh gang mafia koruptor,” ujarnya.
Busyro meminta ketua-ketua umum partai politik bertanggung jawab atas revisi UU KPK inisiatif DPR tersebut. Selain itu, kuncinya juga berada di tangan Presiden. “Presiden (harus) berani untuk menunjukkan kejujurannya. Ini periode kedua, periode terakhir. Presiden pasti pengin memberikan good legacy kepada rakyat, warisan yang baik,” tutur mantan Ketua Komisioner KPK tersebut.
Jika pun harus dilakukan revisi, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berharap adanya upaya penguatan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK harus memuat poin penguatan terhadap agenda pemberantasan korupsi. “Bukan malah pelemahan, namanya revisi itu kan lebih baik,” tutur Haedar di Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 7 September 2019.
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah dan Direktur PusdikHAM Uhamka, Maneger Nasution mendang bahwa dalam draft revisi UU KPK versi DPR itu ada beberapa poin yang dipandang melemahkan KPK. Poin itu misalnya, dimungkinkannya kepala negara mengintervensi lembaga antirasuah tersebut. Padahal dalam UU KPK, lembaga antirasuah itu tidak boleh berada di bawah pengaruh kekuasaan mana pun. Dengan demikian KPK itu dipastikan tetap independen.
Menurutnya, wacana revisi UU KPK itu sebenarnya justru tidak terlalu urgen. “Saat ini ada baiknya DPR fokus merevisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasalnya, masih banyak substansi UU Tipikor yang tidak sejalan dengan dengan Piagam Antikorupsi PBB,” ujar Maneger, 11 September 2019.
Setidaknya terdapat sejumlah poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK versi DPR itu yang memantik pro-kontra di mata publik. Bagi yang pro memandang, di samping usia UU itu sudah cukup lama, juga dikhawatirkan KPK menjadi lembaga ‘tak terjamah’ karena tidak ada yang mengawasi. Bagi mereka revisi adalah solusinya.
“Sedang bagi yang kontra menilai bahwa revisi itu diduga memiliki agenda besar untuk mengebiri bahkan mengamputasi KPK. Poin-poin pokok yang dinilai akan melemahkan bahkan mengamputasi KPK itu, antara lain berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.”
Sejauh ini, ungkap Maneger, publik khususnya masyarakat sipil antikorupsi menitipkan kepercayaan kepada Presiden. Mereka masih berusaha keras menghadirkan keyakinan bahwa Presiden akan tetap konsisten satu kata dan laku. Sebab, Presiden menilai, selama ini lembaga antirasuah sudah bekerja dengan baik. KPK telah bekerja sepenuh hati untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Maneger berharap Presiden Jokowi sebaiknya sungguh-sungguh mempertimbangkan untuk segera mengambil inisiatif dan tanggung jawab mengakhiri pro-kontra terkait rencana revisi UU KPK tersebut dengan tidak menerbitkan surat presiden (surpres) terkait revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. “Dengan demikian pembahasan revisi UU KPK tersebut tidak bisa dilakukan tanpa surpres. Dalam pandangan sebagian besar masyarakat sipil antikorupsi, revisi UU KPK saat ini belum prioritas dan bukan waktu yang tepat.” (ribas)