Dari Madrid, Haedar Nashir Serukan Nilai Agama Menyelesaikan Masalah Kemanusiaan

MADRID, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan makalah “Peace With No Borders, No One Should Ever be Excluded: The Message of Islam For All” dalam International Meeting bertema “Peace With No Borders: Religions and Cultures in Dialogue”  yang diselenggarakan Community of Sant’Egidio di Madrid, Spanyol, pada 15 hingga 16 September 2019. Turut hadir antara lain Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.

Haedar Nashir dipanel dalam sebuah forum bersama Simonetta Agnello Hornby (writer, Italy), Grégoire Ahongbonon (writer, Founder of the Association Saint Camille de Lellis), Benin Eugenio Bernardini (Former Moderator of the Waldensian Table, Italy), Colette Quiebre (BRAVO Program Coordinator, Community of Sant’Egidio), Burkina Faso Johnnie Moore (U.S. Comissioner on International Religious Freedom, USA) dan Daniel Sperber Rabbi (Bar Ilan University, Israel).

Haedar Nashir menyerukan umat beragama di seluruh dunia untuk mewujudkan nilai luhur agama dalam kehidupan. “Umat beragama dituntut komitmen moralmya dalam menghadapi dan memberi solusi terhadap masalah-masalah kemanusiaan tersebut untuk membuktikan bahwa agama-agama yang dipeluknya mampu menjadi kekuatan profetik yang menghadirkan kebaikan, perdamaian, keselamatan, kebahagiaan,  kemakmuran, dan kemanfaatan bagi kehidupan seluruh  umat manusia dan lingkungan semesta.”

Agama Bagian dari Hak Asasi Manusia

Menurutnya, beragama merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi oleh siapapun. Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia antara lain disebutkan bahwa setiap manusia, “Terlahir bebas dan mendapat perlakuan sama. Kita semua dilahirkan bebas. Kita semua memiliki pemikiran dan gagasan kita sendiri. Kita semua harus diperlakukan dengan cara yang sama.”

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran, atau status lainnya.” Manusia di manapun harus dijamin tentang hak untuk hidup dan bebas dari perbudakan. Jaminan hak asasi juga berlaku untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan memilih agama. Hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, dan kebebasan, baik sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau pribadi, untuk mewujudkan agama atau keyakinannya dalam mengajar, berlatih, beribadah dan bertakwa.”

Komitmen Beragama

Haedar menyatakan bahwa agama secara universal sangat penting dan fundamental dalam kehidupan umat manusia. Agama memiliki nilai sangat penting di tengah kehidupan yang profan (duniawi), yakni  “kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang sakral, …di mana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memeberikan kesetiannya” (Durkheim, 1920). Agama secara khusus berfungsi sebagai  the sacred canopy (teras pelindung suci) atau nomos (menciptakan keteraturan hidup) yang membuat manusia terbebas dari “chaos” atau “anomie” yakni segala sesuatu yang kacau atau ketidakteraturan  (Berger, 1967).

Mengutip Wilson (1966), Haedar menguraikan bahwa dalam masyarakat modern yang sekuler sekalipun, agama tetap relevan dan penting dalam kehidupan umat manusia, meskipun ekspresi dan aktualisasinya tidak bersifat langsung dan dalam kehidupan bernegara terjadi pemisahan antara domain publik dan agama. “Tantangan utamanya ialah bagaimana umat beragama pada setiap agama mewujudkan nilai-nilai luhur keagamaan yang sakral itu untuk membangun tata kehidupan yang adil, damai, baik, dan serba utama yang menjadikan umat manusia hidup selamat dan bahagia secara bersama-sama.”

Dalam kenyataan, kata Haedar, masih terjadinya konflik, kekerasan,  dan diksiminasi sosial atas nama agama, sehingga kehidupan dalam masyarakat mengalami disintegrasi. Dalam kehidupan masyarakat dunia di tingkat global dan domestik saat ini secara umum juga masih dijumpai adanya rasisme, perlakuan buruk terhadap minoritas, bias gender terhadap perempuan, perdagangan manusia, kekerasan terhadap mereka yang lemah, terorisme dalam berbagai jenis,  segala bentuk diskrimnasi, serta beragam tindakan yang merugikan kehidupan manusia dan merusak lingkungan.

“Secara khusus sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur agama penting diaktualisasikan kehidupan yang damai tanpa sekat dan diskriminasi. Agama dan umat beragama di dunia saat ini semestinya semakin menguatkan komitmen untuk membangun kehidupan yang lebih  damai dan maju bagi semua orang tanpa sekat dan diskriminasi,” ujarnya.

Umat beragama, ungkap Haedar, harus berkomitmen untuk menyuarakan dan mewujudkan kehidupan yang harmoni, toleran, saling menghormati,  damai, adil, dan saling bekerjasama yang menyelamatkan kehidupan bersama. Bersamaan dengan itu terhindar dari diskriminasi, kekerasan, penindasan, teror, perang, dan segala bentuk perlakuan buruk dalam kehidupan umat manusia semesta.

“Umat beragama di seluruh dunia penting mendorong berkembangnya nilai-nilai moral universal tentang hidup damai bagi semua tanpa dikskirminasi dan kekerasan agar menjadi alam pikiran dan praktik hidup kolektif di seluruh komunitas dan bangsa,” ulas Haedar.

Dalam konteks ini, penting diaktualisasaikan tiga hal, pertama, mendorong perluasan gerakan sosial-keagamaan yang mewujudkan nilai-nilai perdamaian dan hidup bersama tanpa diskriminasi sebagai praktik dan contoh hidup beragama (role-model) dalam masyarakat di manapun  lebih dari sekadar pesan-pesan normatif keagamaan. Kedua, mewujudkan nilai-nilai perdamaian dan hidup tanpa diskriminasi sebagai etika sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat yang membentuk etika global. Ketiga, mendorong setiap negara dan pemerintahan untuk memperkuat komitmen pada penegakkan hak asasi manusia, antara lain menjamin setiap orang untuk memperoleh perlakuan yang adil dan damai tanpa diskriminasi dan kekerasan dalam segala bentuk.

Pembukaan International Meeting (foto: santegidio.org)

Perspektif Islam

Haedar menyebut bahwa dalam pandangan Islam, setiap pemeluknya diajarkan untuk berbuat adil, yakni sikap benar yang objektif dan tidak berat sebelah. Termasuk adil bagi siapapun yang berbeda agama, ras, suku bangsa, dan golongan. Ajaran tentang keadilan merupakan hal yang sangat esensial dalam Islam, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (QS An-Nisaa’:135).

Selain nilai adil, ujar Haedar, setiap mulsim juga diajarkan untuk berbuat ihsan. Ihsan ialah kebajikan utama yang melintas batas dalam kehidupan seseorang. Sikap adil dan ihsan harus berlaku umum bagi siapapun, termasuk kepada pihak yang tidak disukai, sebagaimana pesan Tuhan dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu berbuat tidak adil.” (QS Al-Maidah: 8).

Haedar menyatakan bahwa Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjadi orang yang menyebarkan kasih sayang bagi seluruh manusia dan makhluk ciptaan Allah di alam semesta. Nabi bahkan diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS Al-Anbiya: 107), yang mengandung makna agar setiap orang beriman menebar kasih sayang yang melintasi. Nabi menyatakan, “Cintailah apa yang ada di bumi, Tuhan yang ada di Langit akan mencintaimu”. Sebaliknya dalam hadis riwayat Thabrani dinyatakan,  “Barang siapa yang tidak mengasihi mereka yang di bumi, maka Tuhan yang ada di Langit tidak akan mengasihinya.” (ribas/ppmuh)

Exit mobile version