BANTUL, Suara Muhammadiyah- Isu ketahanan pangan bukanlah wacana baru. Tahun 1950 dalam pidatonya pada peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang IPB) Soekarno (Presiden pertama RI) mengatakan, soal pangan adalah soal hidup-matinya bangsa.
Bagi Muhammadiyah, isu tersebut juga bukanlah hal yang baru. Keberadaan Azaz PKO (Penolong Kesengsaraan Oemum), sekarang PKU (Pembina Kesehatan Umum), tahun 1935 adalah salah satu buktinya.
Berlanjut, pada tahun 2000 Muhammadiyah mendirikan Lembaga Buruh Tani dan Nelayan (sekarang Majelis Pemberdayaan Masyarakat) dan Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan. Akhir-akhir ini Isu kedaulatan pangan kembali bergemuruh di Persyarikatan, tepatnya melalui putusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015 dengan menjadikan ekonomi sebagai pilar selanjutnya organisasi ini.
Menurut Heppy Trenggono penggagas gerakan Bela Beli Indonesia, inti dari gerakan ketahanan pangan ialah gerakan penguatan karakter bangsa. Sadar akan jatidiri (karakter) bangsa maka akan menguatkan gerakan ketahanan pangan. Sebaliknya, tidak sadar akan jatidiri bangsa, maka kemiskinanlah yang terjadi. Hal ini ia sampaikan pada workshop ketahanan pangan nasionalMajelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Sabtu (/21/09/19).
“Lihat apa yang terjadi dengan China. Mereka menjadi bangsa yang besar sebab mereka sadar akan jatidiri bangsanya yang besar. Lihat juga orang Israel. Di mana mereka berada, mereka tetap mengkonsumsi (menggunakan) produk buatan negaranya sendiri,” imbuh Heppy.
Pada forum yang sama, Ali Agus penulis buku Jihad Menegakkan Kedaulatan Pangan mengatakan, bahwa gerakan kedaulatan pangan erat kaitanya dengan peran kaum perempuan. Bahkan ia berpendapat, desa dan ibu adalah benteng terakhir kedaulatan pangan bangsa Indonesia.
Guna menguatkan gerakan ketahanan pangan, terang Ali, terpenting adalah terus berbuat dan jangn berhenti. Walau, Dekan Fakultas Peternakan UGM ini menggarisbawahi, kebijakan dan regulasi pemerintah menjadi penentu. Artinya, sebesar apa gerakan ini akan berdampak pada masyarakat, itu tergantung pada pro dan tidaknya dukungan pemerintah akan gerakan ini.
Sementara, membuka diskusi ini, Wakil Rektor 2 Suryo Pratolo berpendapat, bahwa inti dari ketahanan pangan adalah ketahanan ekonomi. “Maka yang terpenting ialah bagaimana menciptakan ketahanan ekonomi terlebih dahulu, maka kedaulatan pangan dengan sendirinya akan mengikuti,” ujarnya.
Sebab, lanjutnya, faktor ekonomi adalah akar masalah yang sebenarnya. Hal ini juga diperkuat oleh Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Andriko Noto Susanto.
Menurutnya, ekonomi menjadi salah satu faktor penentu lahirnya ketahanan pangan bangsa. Sebab ekonomi menentukan status sosial dan pendidikan seseorang. Salah satunya, jika seseorang itu berpendidikan rendah, tentunya karena faktor ekonomi, maka otomatif pengetahuannya akan ketahanan pangan juga rendah pula.
Ternyata, sambungnya, kasus pendidikan rendah ini justru banyak dialami oleh kaum perempuan. Padahal dalam ketahanan pangan ini, peran perempuan amatlah penting. “Karenanya menjadi tepat jiga gerakan ini terus disuarakan oleh ‘Aisyiyah,” ucapnya. (gsh).