Kiai Dahlan dan Cerita yang Masih Tersimpan

Kiai Dahlan dan Cerita yang Masih Tersimpan

Judul               : Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan (Catatan Haji Muhammad Sudja’)

Penulis             : HM Sudja’

Penerbit           : Suara Muhammadiyah

Cetakan 1        : September 2018

Tebal, ukuran  : xvi + 264 cm, 11 x 15 cm

 

Menulislah agar dibaca orang atau berbuatlah sehingga ditulis orang. Konsep ini menggambarkan sosok KH Ahmad Dahlan. Pembaharu yang berkonstribusi besar bagi bangsa ini tidak banyak menulis, namun mewariskan banyak dedikasi nyata. Presiden Soekarno menyebutnya sebagai manusia amal. Karya organisasi yang lestari hingga hari ini, tidak ada habisnya untuk dikaji dan ditulis.

Adalah murid dari Kiai Dahlan, KH Muhammad Sudja’ meninggalkan sebuah warisan penting tentang kehidupan gurunya dan Muhammadiyah di masa awal. Catatan dari Kiai Sudja ini perlu dipahami para penerus Muhammadiyah, sehingga tidak mengalami keterputusan sejarah. Selain itu, tulisan Kiai Sudja dilandasi pengalaman panjang membersamai Kiai Dahlan, menjadikannya sangat otoritatif untuk dirujuk.

Kiai Sudja menggambarkan awal mula Kauman berserta rumah Kiai Dahlan. Berlanjut pada masa kanak-kanak dan remaja Kiai Dahlan, proses belajarnya, menikah, naik haji, selama di Makkah, kepulangannya, mendirikan Muhammadiyah dan dinamika awalnya. Ada juga kisah beratnya perjuangan Kiai Dahlan membangun surau, bahkan pernah hampir ingin lari. Kiai Dahlan mendirikan Sopo Tresno, Muhammadiyah yang disangka Wahabi, hingga wasiat terakhir Kiai Dahlan kepada KH Ibrahim jelang wafatnya.

Kiai Sudja juga merekam, masa kecil Muhammad Darwis yang dihabiskan untuk belajar pada ayahnya, KH Abu Bakar. Darwis adalah sosok yang cerdas dan mampu mempengaruhi teman sepermainannya. Menginjak remaja, Darwis belajar intensif kepada kakak iparnya: ilmu Fikih pada KH Muhammad Saleh, ilmu Nahwu pada KH Muhsin. Juga pada KH Muhammad Noor bin KH Fadhil sampai KH Abdul Hamid Lempuyang (hlm.19).

Setelah menikah, Darwis harus meninggalkan keluarga dan istri tercinta untuk ke Makkah. Darwis belajar pada banyak ulama di sana. Usai musim haji, sebagaimana jamaah haji pada umumnya saat itu, Darwis menemui ulama untuk mendapatkan ijazah (sanad keilmuan) serta mengganti nama yang ditambah kata haji. Darwis menemui Imam Syafii Sayid Bakri Syatha, pengarang I’anah Al-Thalibin yang merupakan syarah kitab Fath Al-Mu’in. Kedua kitab fikih ini menjadi rujukan utama Mazhab Syafii (hlm.29).

Darwis pun mendapat nama Haji Ahmad Dahlan. Kepulangannya ke Yogyakarta disambut gempita. Dia mulai membantu mengajar murid ayahnya. Ketika KH Abu Bakar berhalangan, Dahlan menggantikan. Sebelum ke Makkah, Dahlan sebenarnya sudah menjadi alim, ditambah dengan lingkungannya dalam lingkaran tokoh agama. Sepulang dari Makkah, legitimasi sosial semakin kuat. Perlahan, gelar kiai melekat padanya. Sosoknya sangat mencintai ilmu. Ketika diberi modal oleh ayahanda untuk berdagang, sebagiannya justru digunakan untuk membeli kitab (hlm. 32-33).

Kiai Dahlan sangat peka dengan kondisi sosial masyarakatnya. Puncaknya, dia merasa perlu mendirikan sebuah persyarikatan sebagai wadah perjuangan menyingkap makna Islam yang telah lama tertutup kabut klenik, takhayul, syirik. Muhammadiyah menjadi karya besarnya untuk memajukan umat dan bangsa. Kiai ingin umat tidak hanya mengisi jasad dengan materi, tetapi juga mengisi batin dengan cahaya ilahi.

Kiai sangat peduli dengan sesama. Kisah al-Ma’un menjadi bukti. Pernah, suatu hari Kiai Dahlan menghilang. Nyai Walidah sangat khawatir dan mencarinya ke mana-mana. Setelah orang bubar shalat Isya, kiai datang bersama 100 orang yang tidak dikenal warga Kauman. Mereka adalah kaum buruh pabrik dan buruh kereta api. (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version