Lahirnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang tentu karena ada sebab pemicunya. Namun dewasa ini, modus dan faktor penyebab munculnya sebuah aksi kekerasan makin tidak jelas, kurang bisa diterima oleh nalar pikir yang jernih, dan tentu saja makin kompleks.
Lihat saja kasus anak yang tega membunuh ibu kandungya sendiri karena persoalan uang recehan yang tidak seberapa nilainya. Begitu juga kasus seorang ayah yang tega membunuh anak dan istrinya hanya karena curiga berbalut cemburu. Belum lagi keberadaan isu-isu bohong yang diplintir sana sini oleh media sehingga dengan mudah dan cepatnya berita hoax itu memancing emosi kelompok-kelompok tertentu dan memicu lahirnya tindak kekerasan. Baik oleh individu maupun oleh kelompok.
Menyikapi persoalan kekerasan yang ada, secara eksklusif Suara Muhammadiyah bertemu dengan Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Brigjen Pol Ahmad Dofiri. Berikut petikan dialognya.
Tindak kekerasan sering ditampilkan oleh masyarakat akhir-akhir ini, sebenarnya apa yang terjadi?
Tidak banyak sebenarnya kasus kekerasan yang terjadi. Hanya saja, dengan kecepatan dan kecanggihan teknologi di era digital ini, membuat semua publik tahu.
Bahkan justru publik yang sekarang mencari tahu akan kasus-kasus kekerasan yang ada. Parahnya, dari kejadian pertama yang mereka temukan, selalu saja dikait-kaitkan dengan kasus-kasus terbaru. Padahal jelas, semua kasus berbeda motif. Belum lagi, berbicara sumber informasi yang mereka dapatkan, di mana sekarang ini marak berita hoax. Mungkin lebih tepatnya masyarakat mengalami kebingungan karena belum siap menghadapi era ini.
Adakah kekerasan yang ada lahir dengan modus baru?
Saya kira bentuk-bentuk kekerasan hampir semuanya sama hanya sebutannya berbeda. Misal di Jogja, kekerasan yang dilakukan oleh remaja disebut dengan sebutan klithih, sedang di daerah lain bisa jadi berbeda. Lebih dari itu, siapapun pelakunya, apa yang dilakukan ternyata mengarah kepada kejahatan dengan kekerasan. Semua istilah sudah ada dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Hanya saja, kasus-kasus yang ada diolah sedemikian rupa dan dimanfaatkan oleh kelompok dan oknum tertentu untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Biasanya untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Lalu, bagaimana kasus kekerasan anak terhadap orang tua atau sebaliknya otang tua terhadap anak?
Saya kira kasus kekerasan anak terhadap orang tua, murid terhadap guru atau sebaliknya orang tua terhadap anak dan guru terhadap siswa adalah cerminan bahwa kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan. Saya melihat lebih banyak disebabkan derasnya arus perkembangan teknologi dan berpengaruh besar kepada perilaku masyarakat.
Bahkan bisa dikatakan teknologi hari ini (era digital) merupakan penentu masa depan anak- anak, calon pemimpin bangsa masa depan. Karena secara pribadi belum siap terhadap perubahan zaman yang begitu cepat, cenderung menjadi konsumen, maka setiap hari kegiatannya hanya mengonsumsi produk-produk dari kecanggihan era digital ini. lebih banyak mendengar dan menonton.
Salahnya yang dilihat setiap hari adalah hal yang negatif. Tentu sedikit atau banyak memberi pengaruh pada perilaku kekerasan tadi. Hingga lahirlah seorang anak yang tega menghilangkan nyawa orang tuanya dan sebaliknya. Mudahmudahan kasus serupa tidak terjadi di Jogja dan jangan sampai terjadi lagi. Sesuatu yang sangat memprihatinkan kalau itu terjadi.
Terus apa saja yang dilakukan untuk meminimalisir pengaruh negatif era digital ini?
Kalau sudah tahu demikian, hal terpenting itu yang segera dilakukan adalah kembali memperbaiki relasi sosial. Hubungan sosial sangat luas dan lebih riil seperti kehidupan berumah tangga, kehidupan bertetangga, antar warga, antar masyarakat. Inilah kondisi sosial yang kita hadapi sekarang ini, bagaimana hubungan kekerabatan sudah mulai pudar, lebih dikarenakan pengaruh IT. Kalau dulu sebelum era IT seperti sekarang, menjalin pertemanan, persahabatan, persaudaraan, pasti bertemu langsung, berkumpul, dan bercengkrama.
Hari ini lain, sapaan akrab berubah menjadi ucapan basa basi yang dikirim via media sosial, dunia maya, seperti Whatsapp, Facebook, dan lain sebagainya. Kurangnya sentuhan fisik serta batin itulah pemicu terlahirnya kesalahpahaman, kemudian menjadi konflik, dan bisa berujung pada tindak kekerasan. Karenanya penting bagi kita membiasakan silaturahmi.
Adakah Polda DIY memiliki program khusus guna mengukatkan jalinan kekerabatan di masyarakat?
Kita sering malakukan kunjungankunjungan ke komunitas-komunitas tertentu dan meminta mereka untuk membuat pertemuan-pertemuan, ya mudahnya kopi darat. Dari kegiatan itu kita bisa diskusi panjang lebar dan cair membahas beberapa persoalan yang ada sekaligus sosialisasi program-program kepolisian. Kenapa pendampingan dan silaturahmi kepada komunitas itu perlu, karena lewat komunitas-komunitas ini proses dialog dan solialisasi dipandang lebih efektif. Dan hari ini, khususnya anak muda, lebih banyak memilih komunitas sebagai tempat aktualisasi diri.
Khusus di Direktorat Bimas ada yang langsung membina kepada remaja dan anak-anak. di antaranya seperti program polisi cilik, kemudian ada patroli keamanan sekolah, ada Pramuka Saka Bhayangkara, kemudian di Perguruan Tinggi ada Satmabara. Semua itu bagian dari sentuhan-sentuhan langsung pihak kepolisian terhadap warga masyarakat melalui komunitas-komunitas yang ada. Lewat komunitas-komunitas itu kita bisa langsung lakukan pendekatanpendekatan struktural serta kultural. Termasuk sekarang satu kelurahan kami tempatkan satu personil Babim Kamtibmas dan sekolah-sekolah tertentu dua personil polisi. (gsh)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2018