Fikih Perlindungan Anak menjadi salah satu bahasan utama Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXX di Makassar, Januari 2018. Berdasarkan konsep Qur’an, Majelis Tarjih merumuskan tujuh makna anak dalam kehidupan manusia. Di antaranya, pertama, anak sebagai nikmat atau anugerah Allah yang didambakan setiap pasangan. Kedua, anak sebagai amanah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Nikmat memiliki konsekuensi sebagai amanah yang harus disyukuri, tidak dikhianati dan dimintai pertanggungjawaban kelak. Ketiga, anak sebagai perhiasan dunia dan penyejuk hati, kebanggaan bagi orang tua, agama dan bangsa.
Anak sebagai harapan peradaban, memiliki kedudukan yang tinggi di mata agama dan negara. Namun, tidak semua orang memahami dan mempraktekkan keluhuran nilai. Anak kerap mendapat perlakuan kekerasan yang tidak manusiawi. Hak-haknya dicerabut paksa. Dan pada akhirnya, anak tumbuh mengkhianati fitrahnya. Berbagai data menunjukkan kasus kekerasan terhadap anak masih memprihatinkan.
Menurut Unicef, kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk tindakan fisik, mental, seksual, termasuk penelantaran dan perlakuan salah yang mengancam integritas tubuh, dan perlakukan merendahkan anak oleh pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tumbuh kembang atau pihak yang memiliki otoritas terhadap perlindungan anak.
Indonesia telah memiliki seperangkat instrumen perlindungan anak. Lalu, mengapa kekerasan terus terulang? Pakar psikologi sosial Hadi Suyono, mengatakan, kekerasan yang terjadi pada anak dan remaja merupakan dampak dari rasa frustasi masyarakat.
“Realita bahwa orang tua sibuk dengan rasa frustasinya, masalahnya, dan urusan ekonomi, maka mereka juga merasa kurang peduli kepada anak-anak remajanya. Sehingga yang terjadi adalah dampak itu tadi, juga menyebabkan frustasi kepada anak-anak kita juga. Seharusnya usia-usia SMP itu kan butuh perlindungan, perhatian, kasih sayang, teman-teman. Namun itu diabaikan,” tuturnya.
Di saat rumah tidak selalu menjamin “taman surga” bagi anak, sekolah juga belum menjadi alternatif. Menurut Hadi, sekolah belum bisa mengayomi dan melindungi serta membuat anak menjadi teduh. Ada banyak problem yang harus dibenahi, salah satunya di guru. “Guru juga dibebani dengan urusan administrasi yang tidak habis-habis. Sekarang orang tuanya sudah frustasi, gurunya frustasi juga,” katanya.
Frustasi dan kekecewaan yang menumpuk lama dan berakumulasi itu bisa menjadi bom waktu yang bermuara pada kekerasan. “Alasan yang sepele saja bisa melahirkan dampak kekerasan yang luar biasa. Yang kecil itu hanya pemantiknya saja, namun karena sudah terlanjur menjadi kayu kering, maka terbakar,” ulas Hadi.
Dekan Fakultas Hukum UMY Trisno Raharjo, memandang bahwa kasus kekerasan terhadap anak harus dilihat menyeluruh. “Karena banyak persoalan lain yang muncul di dalam masyarakat, yang kaitannya dengan keadilan sosial yang kemudian melahirkan konflik-konflik yang muncul di dalam masyarakat. Ini juga bisa menjadi hal yang tidak ada hentinya,” tuturnya. Sering, anak menjadi tumbal.
Spektrum kekerasan juga multidimensi. Bagi Trisno, kekerasan muncul seiring dengan perubahan pola kultural masyarakat. “Ada kultur urban yang memunculkan pertokohan-pertokohan, yang muncul, yang di sana mereka mencari hasil yang mereka inginkan, seperti uang ataupun pengamanan dengan cara mengganggu,” katanya. Struktur masyarakat berubah dalam menghadapi carut-marut kehidupan. “Mereka berkumpul kemudian menjadikan (misalnya) geng motor sebagai sarana, dan saat ini saya lihat meningkat,” katanya.
Sosiolog UGM Arie Sujito, punya pendapat serupa. Menurutnya, kasus kekerasan yang terjadi harus dilihat sebagai sebuah sistem struktural. Di antaranya, situasi kemiskinan akut suatu keluarga dan komunitas. “Faktor struktural itu menjadi konteks yang menjelaskan terabaikannya hak-hak tumbuh kembang anak, misalnya dengan gizi yang sangat terbatas,” ungkapnya. Tidak mengherankan jika kasus-kasus kekerasan (seksual, fisik, verbal) merupakan bagian dari pelampiasan orang-orang terdekat anak.
Arie Sujito juga melihat situasi adanya penyempitan ruang publik sebagai ruang bermain anak. “Apalagi sejak terjadinya perkembangan (teknologi) informasi itu, anakanak makin sibuk dengan dirinya sendiri. Dan itu, satu sisi, ketika informasi masuk, menjadi tantangan kreatifitas untuk anak, tapi di sisi lain, juga menciptakan eksploitasi baru, karena ketergantungan teknologi informasi, sementara tidak ada upaya yang berimbang melakukan edukasi terhadap pemanfaatan teknologi informasi itu,” ujarnya.
Guna meminimalisir kekerasan, Arie berharap negara melalui kementerian terkait untuk mengubah paradigma memandang anak. Tidak lagi diorientasikan pada nilai atau prestasi formal semata. “Jauh lebih penting, membawa suasana belajar yang nyaman, aman, sehingga kecerdasan dan kreatifitas itu akan tumbuh dan muncul. Sekolah itu harus menjadi arena belajar baru, bukan arena eksploitasi atas nama nilai prestasi itu. Jangan sampai anak-anak menjadi korban, yang akibatnya mereka mengalami disorientasi,” katanya. Institusi pendidikan harus bisa memanusiakan peserta didik, menjadikan anak ceria dan gembira dalam proses olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa/karsa.
Setelah mengubah paradigma, langkah selanjutnya adalah menggerakkan kesadaran sumber daya publik untuk melakukan upaya pencegahan dan perlindungan, membumikan kultur ramah anak. Melibatkan semua daya dan institusi di masyarakat, termasuk ormas keagamaan. “Misalkan di forum-forum edukasi, seperti Muhammadiyah dan NU atau lembaga lain yang punya pengkajian itu, membicarakan juga soal perlindungan anak, sehingga ini menjadi pemetaan umum, kemudian pemberdayaan anak menjadi kesadaran publik,” harap Arie.
Waka Kesiswaan SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta, Sihabudin menampik jika dikatakan sekolah tidak menjalankan peran pendidikan karakter. Terutama sekolah Muhammadiyah, memiliki kurikulum Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (Ismuba). “Semua unsur baik dari SD maupun SMA/ SMK, setidaknya, pelajaran Ismuba itu harusnya sudah bisa membentuk sebuah karakter yang bagus, akan tetapi dukungan dari orang tua sebetulnya tidak sepenuhnya dipasrahkan pada sekolah. Inti dari semua pendidikan itu adalah dilatarbelakangi dari keluarga. Pendidikan keluarga itu sangat penting,” katanya.
Menurut Sihabudin, tanpa ada dukungan dari orang tua, anak-anak akan sangat rentan dan mudah terpengaruh dunia luar dan dunia digital. Geng pelajar lahir dalam konteks ini. “Kegiatan geng-geng itu kan sebetulnya ada di luar sekolah dan di luar jam pelajaran sekolah. Anak-anaknya yang mengolah sendiri bukan sekolah,” ujarnya. Mengapa sekolah tidak mengambil tindakan? “Kalau kita membubarkan nanti berarti kita membentuk,” jawabnya.
Akhirnya, anak sebagai buah hati yang lahir dari cinta, harus tumbuh dalam lingkungan semesta cinta. Manifestasi cinta akan memupus benih kebencian, kemarahan dan akhirnya meniadakan kekerasan. Penulis Belanda Hendri Nouwen, menuturkan, “Mayoritas kekerasan terjadi berdasarkan ilusi bahwa hidup itu adalah hak milik yang harus dipertahankan, bukan untuk dibagi.” (teks: ribas, bahan: thari, tira)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 8 Tahun 2018