Ketika bangsa ini banyak dilanda banyak masalah, publik selalu menggantungkan harapan kepada pemimpinnya. Apakah sang pemimpin cepat tanggap dan memiliki kemampuan yang mencukupi untuk memecahkan masalah bangsa tersebut. Kekisruhan yang sering terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara biasanya karena pemimpinnya tidak sigap dan tidak memiliki visi yang luas dalam menemukan jalan keluar. Pada titik inilah terletak ujian pemimpin, apakah dirinya benar-benar pemimpin sejati atau karbitan.
Indonesia itu negara besar. Negara yang terdiri ribuan pulau, etnik, golongan, dan keadaerahan yang begitu terbentang luas. Karenanya negara ini tidak dapat diurus dengan coba-coba dan alakadarnya. Lebih-lebih menuju Indonesia berkemajuan seperti disuarakan Muhammadiyah yang memerlukan rekonstruksi kehidupan kebangsaan yang bermakna untuk terwujudnya bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat bersaing dengan negeri-negeri lain. Mengurus negara yang sebesar ini sungguh memelukan pemimpin cerdas sekaligus negarawan. Negara, kata Aristoteles, merupakan persekutuan organik yang besar. Maka dalam memimpin negara ini sangat tidak cukup dengan kerja mikro dan praktis, sungguh memerlukan kerja-ketja makro dan idealis.
Mengurus negara juga memerlukan kekuatan otoritas yang digunakan dengan benar demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Gunakan kekuasaan dengan baik dan jangan diselewengkan. Sabda Nabi yang artinya, barangsiapa pemimpin yang tidak mengurus rakyatnya dengan baik, tempatnya di neraka. Siapapun pemimpin yang menduduki kursi kekuasaan wajib hukumnya menggunakan otoritas tahta dengan optimal dan penuh pertanggungjawaban demi sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat. Bukan untuk mengabdi pada partai dan kekuatan lain, yang seringkali justru mengorbankan kepentingan rakyat dan negara.
Kecerdasan dalam memimpin negara terkandung di dalamnya suara hati. Artinya, pemimpin negara itu dalam mengambil keputusan sulit penting perlu mendengar bisikan kalbu yang jernih, apakah keputusannya itu berdasarkan kebenaran atau sebaliknya hanya mengikuti kepentingan lain yang berlawanan dengan kebenaran. Hati yang melahirkan jiwa kenegarawanan yang bebas dari anasir kepentingan diri, keluarga, kroni, dan golongan sendiri. Hati yang melahirkan sikap sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah yang autentik dan tak dibuat-buat. Hati yang memancarkan perilaku kata sejalan tindakan. Bukan hati yang melahirkan citra dan tindakan semu, yang sarat pesona luar tetapi nir-esensi yang substantif.
Pemimpin negara juga wajib mencerdaskan rakyat agar mengembankan nalar yang berkemajuan. Rakyat Indonesia jika ingin maju setara dengan bangsa-bangsa lain harus diedukasi agar berpikir cerdas, kritis, kreatif, inovatif, dan progresif. Rakyat harus berkeahlian, yang didukung etos kerja tinggi, disiplin, menghargai waktu, bertanggungjawab, solider dengan sesama, dan berjiwa kesatria. Jangan dibiasakan rakyat bersikap taklid, membebek, dan dininabobokan hidup dalam ketakrasionalan. Jangan selalu menuruti rakyat dan pendukung yang justru memerosokkan negara dan bangsa ke jurang kehancuran.
Maka, jadilah pemimpin yang benar, sekaligus mengurus negara dengan benar. Kendati negara ini negara hukum, maka para pemimpin negeri dan para penegak hukum negara harus menegakkan hukum yang benar. Bukan hukum dan lembaga penegakkan hukum yang diperalat oleh para koruptor dan penjahat kerah putih yang menghancurkan negara. Di sinilah ujian para pemimpin negeri. (hns)