Judul : Wacana Islam Progresif
Penulis : Anjar Nugroho
Penerbit : Suara Muhammadiyah bekerjasama dengan UMP Press
Cetakan 1 : November 2018
Tebal, ukuran : xviii + 322 hlm, 14 x 21 cm
Pada abad ke-7 Hijriah, Imam Ahmad bin Hanbal yang dikenal sebagai ahl al-hadis menguatkan kecenderungan pemahaman agama secara literal-tekstual. Paham ini semakin populer pada abad ke-12 Hijriah, ketika Ibnu Taimiyah melihat kemunduran Islam setelah jatuhnya Dinasti Abbasiyah dan invasi Mongol. Menurutnya, Islam semakin mundur disebabkan oleh bercampurnya agama dengan budaya-budaya Persia, Bizantium, dan Turki.
Di saat yang sama, Ibnu Taimiyah melihat adanya penindasan dan ketidakadilan dipertontonkan oleh pemerintah yang bersekongkol dengan kalangan Kristen. Dalam konteks itu, Ibnu Taimiyah mengupayakan solusi supaya umat kembali kepada kemurnian Islam, sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabat. Periode Nabi di Madinah dianggap sebagai yang paling ideal.
Legitimasi ini diperkuat oleh beberapa ayat, yang menyebut keistimewaan sahabat, semisal kalimat “al-sabiquna al-awwalun” (QS. At-Taubah: 100) atau hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “khairu al-nas qarni, tsumma allazina yalunahum, tsumma allazina yalunahum” (Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya).
Kebekuan pemikiran Islam menguat pasca Ibnu Rusyd. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan juga ikut terkubur perlahan. Al-Ghazali mengkritik konsep filsafat Ibnu Sina dan Al-Farabi. Ada yang beranggapan bahwa inilah awal mula terjauhnya umat Islam dari ilmu filsafat, menyebabkan kerancuan berpikir dalam banyak hal. Rasionalitas menjadi terbatas.
Ditambah oleh faktor kekalahan Islam dalam peradaban, menjadikan umat bermental pecundang, serta serba curiga. Islam sebagai agama peradaban dan kemajuan pun pada akhirnya ikut terbonsai oleh perilaku umatnya sendiri. Nilai luhur Islam yang menghendaki kemajuan dan progresivitas justru tereduksi oleh laku yang sebaliknya. Umat terlena dengan spiritualisme sempit.
Di sinilah pentingnya memunculkan Islam dengan watak progresivitasnya. Islam yang mendorong umatnya untuk maju. Islam progresif yang diusung dalam buku ini, berorientasi pada tatanan kehidupan Islam masa kini dan masa depan yang modern dan berkemajuan. Wacana ini tentu menjadi kebalikan dari paham yang berusaha mengembalikan masyarakat Islam pada masa lalu secara kaku (hlm. ix).
Dalam buku ini, penulis berusaha mengambil jarak dan membuat garis pembeda antara term ‘Islam liberal’ dengan ‘Islam progresif’. Terletak pada cita-cita reformasi pemikiran Islam. Islam liberal terbuai pada perdebatan-perdebatan wacana sebagai wujud dekonstruksi doktrin keislaman. Sementara Islam progresif bergerak lebih maju, dalam upaya untuk mengkontekstualkan paham keislaman sekaligus membumikan Islam dalam kehidupan nyata di masa depan. Dengan aforisme, shalih likulli zaman wa makan, Islam progresif ikut serta bertanggung jawab pada kehidupan masyarakat. Menuju tatanan yang adil dan maju. (Muhammad Ridha)