Sebelum Filsafat dan Setelah Modern

Sebelum Filsafat dan Setelah Modern

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Perihal membincangkan filsafat adalah perihal membincangkan manusia dan segala yang melingkupinya. Manusia dengan anugerah akal budi, menyadari keberadaannya dan mempertanyakan asal muasal kejadian diri dan alam sekelilingnya. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang setiap hari berjuang menghadapi takdir semesta untuk menentukan corak hidupnya sendiri, serta merancang dan memperjuangkan cita-citanya.

“Filsafat adalah kisah pergumulan dan perjuangan manusia dalam memahami dunia dan eksistensi, serta esensi hidupnya.” Bahasan itu terdapat dalam Sebelum Filsafat (2013) karya Fahruddin Faiz. Buku yang ditulis pada 2001 itu bermula dari catatan kuliah pengasuh Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta ini.

Pada 4 Oktober 2019, Kajian Malam Sabtu AMM di Gedung PWM DIY menghadirkan Fahruddin Faiz yang membedah karyanya, Sebelum Filsafat. Faiz menjabarkan tentang pengantar untuk memahami filsafat serta urgensinya. Menurut doktor lulusan Universitas Gadjah Mada ini, filsafat bermula dari asumsi yang diungkapkan oleh Socrates bahwa hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tidak berharga.

“Filsafat sama dengan ilmu-ilmu yang lain. Kelihatan susah karena bukan bidang kita dan tidak didalami. Semua ilmu harus dipelajari serius, tidak setengah-setengah,” tutur Pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Apa dan Mengapa Filsafat?

Peradaban Yunani Kuno dikenal sebagai peradaban dunia pertama yang melahirkan kesadaran rasional-filosofis. Para filosof mendobrak mitos. “Filsafat awal mula kelahirannya menyerang TBC orang Yunani, menyerang mitos-mitos. Mitos itu konsep-konsep yang diterima begitu saja tanpa dikritisi.”

Filsafat menggeser mitos ke logos. “Gaya hidup mitos tidak bertanggung jawab. Dalam agama, kita diperintahkan untuk tidak taklid buta. Namun menggunakan akal budi.” Dalam banyak tempat, kata Faiz, Al-Qur’an menggunakan kalimat ulul albab, afala ya’qilun, afala yatadabbarun, dan seterusnya, yang mendorong supaya menggunakan daya inteligensia.

Menurut Faiz, filsafat menumbuhkan rasa ingin tahu dan pertanyaan mendasar. “Tidak mudah percaya. Segalanya dipertanyakan, tidak asal diterima.” Filsafat menantang manusia untuk tidak hidup secara mekanis, ikut-ikutan, taklid, dan mengalir tanpa arah.

Tantangan untuk menguji hidup semakin menemukan relevansinya di zaman berlimpahnya informasi saat ini. Faiz mencontohkan postingan di medsos, seharusnya tidak langsung dipercaya tanpa terlebih dahulu diuji kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatannya.

Ketika seorang anak lahir, ungkap Faiz, akalnya tumbuh sempurna, sehingga sering mempertanyakan apapun di sekelilingnya. “Ketika akal jalan, fitrah manusia selalu ingin tahu. Anak kecil begitu akalnya jalan selalu kritis ingin tau.” Namun di kemudian hari, tak banyak yang sanggup memelihara daya kritisnya ini.

Filsafat itu memperjelas konsep dan membuat argumen. Banyak perdebatan terjadi karena konsep definisinya berbeda. “Gunanya membuat argumen adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa,” ujar Faiz. Petualangan hidup manusia menyisakan banyak sekali pertanyaan yang mesti dijawab.

Pada akhirnya, filsafat membentuk pribadi bijaksana. “Jika sudah kritis akan sampai pada kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu di atasnya kebenaran. Kadang-kadang, kebenaran yang minus kebijaksanaan itu justru hasilnya kontra produktif. Filsafat itu cinta kebijaksanaan, tahu timing, posisi, dan proporsi,” ulasnya.

Fahruddin Faiz membedakan dua jenis filsafat. Pertama, filsafat sebagai proses berpikir, berpikir kritis dan konseptual. “Ada banyak ayat tentang perintah berpikir kritis. Orang boleh tidak suka filsafat, tapi harus mau berpikir paradigmatik.”

Kedua, filsafat sebagai produk pemikiran. “Orang boleh suka, boleh tidak setuju, terhadap semua hasil dari pemikiran filsafat.” Semua orang itu berfilsafat di levelnya masing-masing, minimal merenungkan prinsip-prinsip hidupnya. “Orang berpikir saja bisa keliru, apalagi tidak mau berpikir.”

Berfilsafat itu, kata Faiz, adalah berpikir secara hati-hati dan jernih tentang hal-hal yang penting. “Untuk berpikir jernih, kadang kita harus menarik diri dan berhenti sebentar.” Agama memberi anjuran untuk tafakkur dan muhasabah.

Orang yang sudah belajar filsafat, punya beberapa kompetensi. Antara lain dia mampu menganalisis dan mengkonstruksi argumen secara tepat, mengungkap ide secara sistematis, menulis secara jelas, menemukan ide-ide alternatif. “Orang pintar, kata Gadamer, punya banyak alternatif jawaban atau solusi. Filsafat menawarkan alternatif solusi.”

Mereka yang berpikir filosofis juga akan terbuka pada ide-ide baru, mampu menyelesaikan masalah, mampu memotivasi diri sendiri dan mengendalikan akal pikiran. “Akal layaknya panglima perang yang mengendalikan anggota badan.” Filsafat menawarkan hidup yang lebih bermakna.

Dunia Modern Hari Ini

Dunia abad ke-21 telah mencapai puncak kemajuan dan kemodernan. Revolusi 4.0 dicirikan dengan otomasi di semua bidang kehidupan berbasis kecerdasan buatan. Paradoksnya, kemajuan ini menyisakan masalah dan “kekosongan” dalam banyak hal.

Fahruddin Faiz menjabarkan tentang beberapa problem besar peradaban manusia hari ini yang membutuhkan solusi refleksi filosofis.

Pertama, misosohpia. “Kata Syekh Husein Nashr, manusia hari ini membenci kebijaksanaan karena hidup modern ala Barat hanya melihat yang materialistik. Dunia peradaban modern hanya percaya yang fisik saja. Padahal, hidup tidak sekadar akal dan panca indera.”

Kedua, ekstase dan epilepsi komunikasi. Orang menjadi sakau dan tidak bisa lepas dari gawai dan teknologi. Mudah terkaget-kaget dengan berbagai isu yang datang silih berganti, namun mudah dilupakan dan lewat begitu saja.

Ketiga, kata Faiz, terjadi the end of social intimacy. “Kita sampai pada titik tak perlu lagi tatap muka. Kehidupan sosial berakhir diganti dengan otomasi teknologi dan alat-alat canggih.”

Keempat, terjadi deconsecration of values. Nilai-nilai hidup mulai tidak bermakna, semua orang punya prinsip hidup sendiri-sendiri.

Kelima, desacralization of science and nature. “Ilmu dan alam tidak sakral lagi. Ilmu tidak dijunjung lagi. Penghargaan pada ilmu hilang. Alam diperkosa habis-habisan,” ulas Faiz.

Keenam, temporary happiness and leisures. Orang lebih mengedepankan kebahagiaan dan kesenangan yang jangka pendek. (ribas)

Baca juga:

Manusia Android

Haedar Nashir: Keadaban Digital Alami Peluruhan, Dakwah Komunitas Virtual Harus Menjadi Perhatian

Exit mobile version