Oleh: Slamet Nurcahyo
Assalaamu’alaikum Wr Wb
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى رَسُولِكَ مُحَمَدٍ وَعَلَى الِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ وَلاَهُ، أمَّا بَعْدُ.
فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَتُمْ مُسْلِمُونَ
Jama’ah Shalat Jum’at rahimakumullah
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kita kepada Allah SwT, karena tanpa kita meminta semua yang kita butuhkan telah Allah sediakan dengan cuma-cuma. Semua yang sekarang ada yang menopang kebutuhan dasar hidup makhluk ini acapakali kita anggap ada dengan sendirinya. Padahal tidak, semua itu ada karena kuasan-Nya semata. Semua ada karena rahman dan rahim Allah kepada kita. Namun, sangat sedikit di antara kita yang mau bersyukur.
Jangan sampai kita dipaksa untuk sadar manakala kita sudah terbaring tidak berdaya, manakala semua yang kita naggap biasa itu menjadi tidak biasa lagi. Manakala sekedar untuk bernafas pun kita memerlukan bantauan alat yang mahal.
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah mengantarkan dan mengenalkan kita pada nikmatnya iman dan Islam.
Jama’ah Shalat Jum’at rahimakumullah
Dalam surat Al-Isra’ ayat 53 Allah SwT telah berfirman
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ ٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ يَنزَغُ بَيۡنَهُمۡۚ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ كَانَ لِلۡإِنسَٰنِ عَدُوّٗا مُّبِينٗا ٥٣
Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia
Tanpa memerlukan rujukan tafsir apapun, kita bisa paham kalu ayat ini sudah jelas memerintahkan kepada setiap manusia untuk hanya mengucapkan kalimat yang baik, karena kalau kita salah memilih kata dalam berbicara, ditambah andil syetan, hal itu bisa menimbulkan perselisihan.
Akibat dari pemilihan kata yang tidak baik itu terbukti secara nyata pada tahun 2016 yang lalu. Seorang pemimpin daerah yang dikenal suka berkata kasar (namun dicitrakan sebagai perkataan yang jujur) akhirnya terantuk batu. Kebiasaannya berkata kasar dan sembrono akhirnya melampui batas kepantasan. Kehebohan yang luar biasa pun tersulut dari lisan yang semborono itu. Sungguh sangat tepat kalau Rasululah SAW juga bersabda
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau hendaklah diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits ini secara tegas menyatakan kalau kita tidak yakin apa yang akan kita ucapkan itu merupakan suatu yang baik dan akan membawa akibat yang baik pula, maka lebih baik kita diam. Diam itu emas.Diam itu lebih baik daripada berkata yang tidak benar, darupada mengatakan sesuatu yang tidak membawa dampak yang baik.
Mengapa demikian? Karena setiap ucapan yang kita kelurkan itu pada akhirnya harus kita pertanggungjawabkan. Hal itu sesuai dengan Firman Allah dalam surat Qaf ayat 18
مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.
Oleh karena itu dalam suatu kesempatan, ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr Haedar Nashir meyatakan, “Seorang pemimpin harus pandai untuk merawat kata, karena dari kata itulah sering ada bencana”.
Jama’ah Shalat Jum’at rahimakumullah
Kalau kita cermati lebih mendalam, teramat banyak ajaran maupun perintah Allah dan Rasul-Nya kepada kita semua agar kita senantiasa cermat dalam menjaga lisan kita ini. Meskipun dalam keadaan marah sekalipun.
Dalam hal ini ada nasehat sederhana dari pepatah timur, yang patut kita renungkan. “Manusia diberi dua telinga dan satu mulut, kalau direnungkan itu mengandung maksud Allah, sang pencipta kita itu, menginginkan manusai itu lebih banyak mendengar daripada berbicara”.
Namun, di masa sekarang ini siapakah di antara kita yang lebih suka mendengar daripada berbicara. Kita cenderung menginginkankan orang lain untuk mendengarkan kita. Bahkan kalau perlu memaksa orang lain supaya mau mendengarkan kita juga untuk memperhatikan kepentingan kita. Namun, sangat sedikit yang mau lebih banyak mendengar. Sangat sedikit di antara kita yang mau lebih mengerti urusan orang lain. Kita cenderung menganggap orang lain itu tidak penting. Dan yang penting adalah diri kita sendiri, maka kita lebih suka berbicara, bahkan kalau perlu berteriak supaya didengar tanpa pernah mau mendengarkan pendapat orang lain.
Padahal mulut kita itu cuma satu dan telinga kita itu dia di sampimg kanan kiri. Artinya kita harus mau mendengar semua perkara dari kedua sisi yang berbeda barulah kita berhak untuk berbicara tentang urusan itu.
Maka, sudah sangat tepat kalau Imam Syafii (Allahu yarham) memberikan nasehat kepada para muridnya, Apabila seseorang ingin berbicara, hendaklah berpikir dulu. Bila jelas maslahatnya maka berbicaralah, dan jika dia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak maslahatnya.
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ الْمُحْسِنِيْنَ وَأَدْخَلَنَا وَإِيَّاكُمْ فِى عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
KHUTBAH KEDUA
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ.
وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أشهدُ أنْ لاَّ إلهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، أمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Hadirin Jam’ah Jumat rahimakumullah…
Memang, lidah tidak bertulang, begitulah kata orang Melayu tentang licinnya lidah yang mudah tergelincir. Namun sebagai orang yang beriman yang dibekali akal ppikiran yang lengkap, kita tidak boleh larut dalam kelicinan lidah. Lidah kita memang licin, sering cepat bergerak melebihi kecepatan pikiran. Namun potensi lidah yang sering selip itu harus dapat dikontrol. Kemampuan kita dalam mengontrol lidah inilah yang menajdi pembeda harga kita dengan orang lain. Dari kata-kata yang kita produk itulah diri kita dinilai.
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سِبَقُوْنَ بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلَّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ.
أللّهُمَّ اَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَاَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِى فِيْهَا مَعَاصُنَا وَاَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى إِلَيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَّنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَّنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَاَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّ يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لله رَبِ الْعَالَمِيْنَ.