Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban Kader Milenial Pemuda Muhammadiyah

Secara etimologi, pemuda (syab [Arab], youth [Inggris]) selalu diarti-kaitkan dengan masa depan kepemimpinan  suatu  bangsa. Secara terminologi, pemuda dikaitkan dengan individu yang secara fisik dan psikis berada dalam masa perkembangan, sehingga identik dengan  karakter dinamis, bergejolak, optimis, dan belum memiliki pengendalian emosi yang stabil, dengan rentang usia antara 10-24 tahun menurut ukuran global (WHO) dan 10-40 tahun menurut standar nasional (Draft RUU Kepemudaan). Pemuda Muhammadiyah (selanjutnya ditulis PM) sendiri dalam Anggaran Dasarnya, pasal 6 ayat 2, membatasi pada 18-40 tahun (tanfidz PP PM 2018-2022). Isu batasan ini erat dengan usia produktif sumber daya  suatu bangsa yang mempengaruhi  standar dan pencapaian-pencapaian  tujuan  ekonomi, sosial, politik serta tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dalam perspektif Islam, paradigma pemuda dapat dilacak khususnya dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an menggambarkan pemuda sebagai sosok yang selalu gundah-kritis dengan fenomena sosial masyarakat. Pemuda-pemuda itu tidak lain adalah para Nabi, Rasul dan orang-orang terpilih (mukhtar) yang berani menentang status quo jahiliyah dalam hal teologi (politeisme) menuju tauhid (monoteisme) serta kondisi dimana  perempuan yang ditempatkan  sebagai sub-ordinatif  diubah menjadi lebih egaliter (setara) dengan laki-laki. Kedua tantangan tersebut dan lainnya dihadapi dengan spirit  amar ma’ruf nahi munkar dan perbekalan dari Allah berupa ketajaman spiritual dan sosial. Gambaran pemuda dalam Al-Qur’an tercandra pada sosok Muhammad Darwis (Ahmad Dahan muda) yang  gundah  dengan Islam dan muslim di Nusantara maupun dalam tataran global yang  mengalami kemunduran dalam segala bidang. Baik dalam bidang politik (kolonialisme), bidang sosial dimana umat Islam pendidikannya tertinggal hingga tidak mempunyai modal sosial apalagi yang dikelola dengan baik hingga  masalah  kemiskinan  akut. Sosok Darwis pun berbeda dengan  pemuda-pemuda  kebanyakan di Yogyakarta saat itu dengan pandangannya yang visioner dibalut akhlak utama, dan melahirkan  Muhammadiyah. Ide praksisnya melahirkan berbagai institusi turunan berbasis sosial keagamaan Islam (madrasah, rumah sakit, panti asuhan, rumah miskin) juga organisasi otonom, seperti Aisyiyah  dan PM.

Pada Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar (1932), didirikanlah bagian yang mengkhususkan gerakannya untuk para pemuda Islam yang disebut Muhammadiyah bagian Pemuda, yang awalnya bernama Siswo Proyo Priyo (SPP). Pada 2 Mei 2019, PM kini berusia 87 atau 90 tahun pada 26 Dzulhijjah 1440 H. Banyak karya yang lahir dari PM, mulai dari bangunan fisik, tokoh bangsa, ulama, zu’ama dan cendikiawan, dimana semuanya mencerminkan tugas PM sebagai pembawa estafeta  kader kemanusiaan, kader kebangsaan, kader keumatan, dan kader persyarikatan. Untuk mengisi peran-peran tersebut, PM diharapkan mampu mengisinya dengan modal kapasitas, integritas, dan menjaga  marwah persyarikatan.

Idealis atau Pragmatis

Sebagai organisasi yang mengedepankan moral Islam bersumberkan Al-Qur’an dan sunnah, PM tentu diharap prioritaskan etika dalam menjalankan organisasi dan bersinergi dengan  pihak  lain.  Kemampuan berdialog dengan realita dan mendialogkan nilai dengan tujuan internalisasinya adalah jihad wajib dan fakta untuk memajukan bangsa dan peradaban dengan modal ilmu dan pengetahuan yang luas, seperti tersebut dalam lirik mars PM. Sebagai gerakan amar ma’ruf, diharapkan PM mampu menularkan etos kerja strategis profesional berorientasi utama pada keikhlasan. Sebagai gerakan nahi munkar, diharapkan PM tetap gigih dan menjadi “petarung” handal dalam bingkai hikmah dan mau’izhah hasanah. Ihsan  dalam setiap dialog (QS. An-Nahl: 125) sebagai norma dalam dakwah penuh ketauladanan, bukan dengan jalan baku hantam atau kekerasan. Meski faktanya kini, bangsa kita sedang berproses dengan cara-cara di luar adab yang diajarkan disebabkan pengaruh liberalisme  politik yang melahirkan penyakit pragmatis-materialis.

Model pragmatisme anak bangsa dalam bernegara sedikit banyak telah berpengaruh  pada iklim organisasi Islam kepemudaan. Hal inilah yang sesungguhnya dikhawatirkan. Masyarakat Indonesia yang masih berakal suci tentu sangat berharap jika Muhammadiyah dan ortomnya (termasuk PM) menjadi benteng penyelamat, untuk tetap tegas dan lugas dalam menjaga Indonesia.  Sebagai mitra strategis bangsa, PM berkewajiban terdepan memberi kritik dan  masukan jika penyelenggara  negara  dalam operasionalisasinya  melenceng dari kiblat dasar dan cita  para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa yang  salah satu komponennya kaum santri dengan keislaman mendalam, integritas melangit, dan tulus cinta terhadap negara, memilih berjuang memerdekakan walau hidup sulit menderita, dibanding memilih fasilitas dunia atau  tawaran kolaboratif penjajah. Mereka adalah tauladan otentik tanpa rekayasa dan setting pencitraan dalam ketulusannya.

Etika Kepemimpinan Pemuda Muhammadiyah

Secara teoritis, etika mengajarkan  kemanfaatan universal (Tuhan, manusia, dan alam), sebagaimana utilitarianisme. Jika merujuk etika Muhammadiyah dalam dokumen resmi Muhammadiyah seperti Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), berisikan panduan etis universal dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, berbangsa-bernegara, pelestarian lingkungan, pengembangan ilmu pengetahuan-teknologi, dan seni-budaya,  yang  bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah. Ki Bagus Hadikusuma menyebut bahwa “aspek terpenting dari nilai etika moral Islam bagi Muhammadiyah adalah penegasannya pada implementasinya dalam amal kebajikan (ihsan)” yang  memunculkan  etos sosial dan  menjadi identitas Muhammadiyah, yaitu: rasional, menerima perubahan, terbuka, kerja keras, tepat waktu, orientasi jangka panjang, jujur, selalu berpihak pada kebenaran, sabar, dan etos sosial lainnya.

Dalam konteks PM untuk menggerakkan roda organisasinya, tentu  harus merujuk (ittiba’) pada nilai-nilai baku etis Muhammadiyah, yang salah satu  aktualisasinya  tidak akan pernah mau berkompromi dan berkolaborasi dengan kemunkaran. Mampu memahami dengan baik mana yang disebut dengan risywah (suap), ghanimah (harta rampasan), dan bisyarah (upah). Jangan sampai PM menganggap risywah sebagai ghanimah atau bisyarah. Rasanya memalukan, jika PM tidak menjadi bagian dari pemberantasan korupsi yang terjabarkan dalam Fikih Anti Korupsi pada Himpunan Putusan Tarjih 3.

Pada tanggal 27-29 Desember 2019 di Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya dengan peserta sekitar 1150 orang, PM Jawa Barat akan menyelenggarakan Musyawarah Wilayah sebagai kewajiban organisasi di akhir periode kepemimpinan dan untuk kader baru estafeta kepemimpinan. Agar  muswil  berjalan  lancar, diberkahi,  dan  hasilkan  para  pemimpin amanah, berkualitas, tidak memiliki beban cacat moral, maka, tahapan-tahapan musyawarah harus dilaksanakan dengan mengedepankan akhlak-adab, aturan, dan nilai ukhuwah. Musyawarah ini harus menjadi ajang pembuktian bahwa PM  adalah organisasi yang benar-benar beramar ma’ruf nahi munkar karena sangat terkait dengan urusan internal organsasi. Jangan sampai dalam proses mencari pemimpin, dilakukan dengan cara-cara pragmatis layaknya kompetisi politik akut di negara ini.

Politik PM harus menghasilkan keadilan dan keseimbangan, bukan yang menafikan nilai edukasi moral adiluhung. Politik PM Jawa Barat haruslah mengedepan rasa saling mengasihi untuk saling menjaga keselamatan dunia dan akhirat. Jangan sampai menjadi para “politisi” murahan berbungkus aktivis PM yang rela menjual integritasnya demi sepotong kekuasaan yang berat akan amanah dan memiliki sejarah tinggi dalam keikhlasan. Hindari permainan yang terkait dengan persoalan teologi dan permainan bahasa (semantik) moral agama. Keberanian mengubah yang sebenarnya risywah, lalu dijustifikasi sebagai ghanimah, bisyarah, apalagi shadaqah adalah sebuah kesalahan yang sangat besar. Selamat bermusyawarah PM Jawa Barat, semoga melahirkan para pemimpin dengan jiwa profetik yang mengedepankan ihsan dalam beramal dan ikhlas dalam tujuan.

______

Dani Yanuar Eka Putra
(Ketua  PD Pemuda  Muhammadiyah  Kota  Depok, Mahasiswa  Sekolah Pasca UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta)

Exit mobile version