Judul : Membumikan Islam, dari romantisme masa silam menuju Islam masa depan
Penulis : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : 1, 2019
Tebal, ukuran : 296 hlm, 14 x 20 cm
Al-Qur’an ibarat puncak sebuah gunung es yang terapung. Di bawah puncak itu terdapat 90 persen bagian yang ter(p)endam dalam air sejarah, dan hanya 15 persen saja yang tampak di permukaan. Pernyataan pemikir besar Fazlur Rahman itu dikutip Ahmad Syafii Maarif dalam tulisannya, “Al-Qur’an: Puncak Gunung Es” di buku Membumikan Islam: Dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan (2019).
Cakrawala pemikiran Syafii Maarif banyak mewarisi gagasan besar dan kedalaman pemahaman gurunya, Fazlur Rahman. Keduanya gelisah dengan kenyataan umat Islam yang terkapar di muka bumi oleh karena meninggalkan roh dan spirit agama yang dipeluknya. Resah dengan realita umat Islam yang tidak munasabah dengan idealita yang diinginkan kitab suci. Keduanya berusaha membumikan nilai-nilai Al-Qur’an yang selama ini masih sering mengawang-awang sebagai bacaan hiasan di langit tinggi.
Belakangan ini, semakin banyak orang yang membicarakan tentang Islam, namun tidak menembus substansi terdalam yang mampu membebaskan dan menggerakkan etos kehidupan. Dalam suasana dunia yang tidak stabil, banyak yang ingin kembali kepada religiusitas, namun kadang sekadar eskapisme. Agama kerap difestivalkan sebatas imbol yang tidak menyentuh akar spiritualitas. Agama menjadi kehilangan taring untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar kemanusiaan. Padahal, kata Rahman, sebuah Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan adalah Islam yang tidak punya masa depan (hlm 81).
Pemeluk agama yang terlepas dari konteks kesejarahan ini kerap terlihat seperti manusia dari masa lampau yang baru mendarat di muka bumi. Ia terasing dari pergumulan kehidupan yang rumit dan terus bergerak maju. Sebagai pelarian, terkadang mereka hanya mengenang romantisme kejayaan masa lalu yang indah, tanpa bisa berbuat apa-apa untuk peradaban masa kini. Bagi yang bermental pecundang, kekalahannya dianggap sebagai akibat dari perbuatan pihak lain semata dan tidak mau berbenah diri. Dendam sejarah itu mempengaruhi sudut pandang keagamaan.
Islam yang kita anut hari ini, kata Moh Rasjidi, merupakan hasil perasan kodifikasi ulama-ulama ahli kalam dan ulama-ulama ahli hukum. Adapun Islam yang sejati, yang menurut al-Qur’an dan Hadis itu sendiri, justru tidak betul-betul kita pahami. Islam yang kita gaungkan merupakan Islam hasil tafsiran yang bisa jadi telah tereduksi oleh aneka subjektivitas kesejarahan. Situasi-situasi sosial-politik-ekonomi-budaya ikut mempengaruhi perspektif, fokus, metode, cara bernalar, pengalaman, dan pemahaman para mufassir.
Dalam situasi ini, Syafii Maarif menekankan bahwa mahkota Al-Qur’an harus disingkap kembali. Al-Qur’an merupakan suatu kitab rahmat yang mengandung kesatuan sejarah. Pemahaman terhadap kitab yang menyejarah ini harus secara utuh dan mendalam. Didekati dengan berbagai pendekatan keilmuan oleh manusia yang berhati tulus dan berpikiran jernih. Pemahaman terhadap Qur’an harus dapat diuji dengan pengalaman empiris kita dalam bentuk tegaknya prinsip-prinsip kemanusiaan universal di atas landasan moral wahyu.
Prasyarat mutlak bagi yang ingin memahami dan memfungsikan Al-Qur’an sebagai hudan dan al-furqan, adalah dengan melepas baju-baju sempit identitas yang mengerdilkan kita. Menurut Syafii Maarif, selama ini umat Islam saling berlindung di dalam jubah sektariannya. Mereka justru memberhalakan kelompok-kelompok yang dibentuk oleh dinamika sejarah Arab yang kadang penuh lumuran darah. Umat Islam di seluruh dunia sering tidak bisa membedakan antara gejala misguided Arabism dengan gejala Islam itu sendiri.
Mereka larut dalam konflik antar sesama, dan hanya akan dapat menawarkan bangunan peradaban tingkat jelata. Masing-masing kelompok mahir menyitir ayat-ayat suci untuk misi pribadi atau tujuan yang tidak suci, bahkan juga untuk laku yang keji. Al-Qur’an membawa pesan supaya umat Islam bersaudara, berperan sebagai wasit dan mempersaudarakan manusia. “Orang-orang mukmin sama sekali tidak halal menggunakan imannya untuk merobek-robek dan menghancurkan doktrin kesatuan manusia,” (hlm 117). Spirit Islam adalah perdamaian.
Umat Islam mutlak harus kembali pada weltanschauung (pandangan dunia) Al-Qur’an. “Agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya,” (Qs. Al-Maidah: 44 & 46). Al-Qur’an menempatkan manusia dan segala kompleksitas persoalan hidupnya sebagai tema utama. Kitab ini diturunkan sebagai wujud limpahan rahmat dari Allah yang Maha Rahman dan Rahim. Kehadirannya adalah untuk menebar kebaikan bagi seluruh semesta. Peran utama manusia sebagai wakil Tuhan adalah mewakili-Nya menebarkan rahmat di muka bumi.
Supaya Islam punya hari depan yang cerah, “diperlukan stamina spiritual yang tidak mudah tenat,” (hlm 157). Meskipun di tengah beratnya beban sejarah yang harus dipikul, Al-Qur’an melarang keras umat Islam untuk berputus asa. Jika kita mau terus berusaha tanpa lelah, Tuhan akan menunjukkan jalan dan keberpihakan. “Allah tidak akan mengubah keadaan nasib suatu kaum, sampai kaum itu sendiri mau mengubah apa yang ada pada diri mereka,” (Qs. Ar Ra’d: 11). Di antara persyaratan supaya memperoleh pertolongan-Nya adalah adanya komitmen kepada cita-cita moral, keadilan, kebenaran, dan cita luhur lainnya (hlm 159).
Buku ini menghentak kesadaran kita untuk mengurai kekusutan dan perlahan beranjak dari beban-beban masa lampau yang memberatkan. Supaya tidak awet di posisi buritan peradaban, Islam harus dibawa pada konteks kekinian dan kedisinian, siap bergumul dengan dinamika dan tanggung jawab kemanusiaan yang dipikulnya. Ajarannya harus digali pada sumbernya yang utama dengan penuh ketulusan di atas landasan moral yang kokoh. Buku antologi tulisan ini juga menyoroti problem keindonesiaan terkait dengan sengkarut demokrasi, kebijakan publik, hingga dunia perpolitikan. (Muhammad Ridha Basri)