YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah sejak awal adalah pendidikan holistik. Berupa pencerahan kesadaran dengan menyiapkan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh sebagai manusia yang menyadari Allah sebagai rabb, dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dengan bekal itu, mampu menghidupkan, mencerdaskan, dan membebaskan manusia dari semua belenggu kebodohan dan keterbelakangan.
Hal itu dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Rapat Koordinasi Nasional Bidang Akademik dan Al Islam Kemuhammadiyahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah, di Hotel Grand Inna Garuda Yogyakarta, pada Jumat, 18 Oktober 2019. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan 165 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah dari seluruh Indonesia.
“Konsep pendidikan holistik menjadi karakter dari pendidikan Muhammadiyah. Perspektif yang berangkat dari asumsi bahwa manusia itu dapat menemukan makna kehidupannya melalui jalinan interaksi dengan orang lain dan juga perkembangan akal budinya,” tutur Haedar. Output dari pendidikan holistik ini adalah melahirkan manusia unggulan yang berakhlak mulia.
Menurut Haedar, akhlak seseorang itu bertumpu pada perkembangan akal budinya. Pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang sesuai fitrah kemanusiaannya. Pendidikan holistik yang dijalankan secara terintegrasi dengan semua komponen dan lingkungan, akan mampu melahirkan harmoni sosial dan keadaban publik.
“Perjalanan pendidikan saat ini cenderung parsial dan pragmatis. Dalam setiap tahapan modern itu ada kekuatan-kekuatan determinan yang membuat manusia hanya fokus pada titik tertentu.” Salah satu kekuatan yang ikut menggerus naluri kemanusiaan adalah teknologi. Perkembangan revolusi industri 4.0 telah mengubah banyak tatanan, menciptakan disrupsi dengan ciri otomatisasi di semua bidang.
“Teknologi seharusnya tidak menjadi kekuatan determinan yang menjadikan manusia sebagai korban. Dasar akal budinya menjadi tumpul ketika teknologi jadi kekuatan determinan. Bukan kita yang mengendalikan alat, tetapi alat ini yang mengendalikan kita. Lepas HP sebentar saja, timbul kepanikan,” urai Guru Besar bidang sosiologi ini.
Herbert Marcuse pada tahun 1964 menulis buku One-Dmensional Man yang menjabarkan tentang kecanggihan teknologi membuat dimensi kemanusiaan tereduksi. “Akal budi, rasa, akal pikiran, menjadi terhegemoni dengan teknologi.” Alvin Toffler mengenalkan istilah ‘the modular man’, yang menjebak manusia untuk berperilaku dan berpikir layaknya robot dengan nalar teknis dan instrumental. Teknologi, kata Haedar mengutip Edmund Carpenter, juga telah membunuh manusia secara budaya, melahirkan manusia yang technetronic etnocide. “Rasa menjadi hilang. Nilai-nilai komunalitasnya tergerus,” urainya.
Haedar Nashir berharap pendidikan AIK di PTMA harus masuk ke area ini. “Pendidikn holistik dengan AIK sebagai basic,” tukasnya. Pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah harus melahirkan manusia yang utuh dan tidak tercerabut dari akar budayanya.
Selain pendidikan holistik, pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan Islam modern, yang menurut Kuntowijoyo, mengintegrasikan antara iman dan kemajuan. Kemajuan itu nilai duniawi yang bersifat profan, sementara iman itu wilayah transenden yang sifatnya sakral. Kedua hal itu harus diintegrasikan.
Tauhid itu, kata Haedar, harus melahirkan kesatuan teologi yang bertumpu pada Allah.
Wahyu pertama turun berkaitan dengan ini. “Iqra itu bukan hanya literasi membaca, namun keseluruhan kerja akal pikiran dan akal budi,” urainya. Wahyu menginginkan umat Islam menjadi ulul albab, yang diajari untuk berpikir kritis dan selalu terbuka. “Allazina yastami’una al-qaul, wa yattabi’una ahsana.”
Berkarakter kuat dan berakhlak mulia itulah konsep pencerahan akal. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah disebutkan bahwa, “Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.”
Pendidikan Muhammadiyah juga harus memasukkan ilmu logika atau ilmu mantiq. Dalam pidato Kiai Ahmad Dahlan berjudul “Kesatuan Hidup Manusia”, disebutkan, “Setinggi-tingginya pendidikan akal ialah pendidikan dengan ilmu mantiq (salah satu cabanh Filsafat/pen) ialah suatu ilmu yang membicarakan sesuatu yang cocok dengan kenyataan sesuatu itu.”
Haedar berharap sistem pendidikan Muhammadiyah ikut membangkitkan etos tersebut. “Tinggal kita menerjemahkannya dalam metode.” Untuk itu, diperlukan upaya integrasi-interkoneksi keilmuan yang menyentuh pada substansi pendidikan.
“Akidah tidak cukup ditanamkan secara verbal, tetapi harus pada substansi. Mukti Ali menawarkan Muhammadiyah memperkenalkan teologi asmaul husna, Allah yang sesuai dengan semua asmaul husna secara utuh.” Selama ini, ungkapnya, sifat rahman dan rahim Allah jarang diperkenalkan.
“Pola pemahamannya mengikuti pendekatan bayani, burhani, irfani, yang dimiliki majelis tarjih.” Bayani itu teks yang dipahami menyeluruh. Burhani berupa akal pikiran, ilmu pengetahuan dan konteks. Irfani dasarnya pada ihsan.
Di era post modern, manusia membutuhkan spiritualitas. “Nilai-nilai Islam harus menjadi alam pikiran dan sekaligus praktek hidup di ruang publik. Agama harus menjadi sumber nilai.” Muhammadiyah harus mampu memberi alternatif jawaban atas problem manusia modern ini.
Tugas perguruan tinggi adalah memberikan pencerahan, bergerak di area moral. Bergerak pada hal-hal yang bersifat eksistensialis. “PTMA bantulah PP Muhammadiyah dengan pikiran-pikiran alternatif.” Haedar menyebut bahwa bangsa ini punya banyak masalah yang harus diselesaikan bersama. Berhenti mengeluh dan jangan asal tidak setuju atau mengkritik, namun harus mengajukan solusi alternatif.
Haedar berharap warga Muhammadiyah adil dalam memperlakukan realitas. “Politik dan medsos membuat kita menjadi dungu. Politik tidak boleh masuk ke relung hati. Ingat, kita pembawa misi dakwah dan tajdid.” Lingkungan pendidikan Muhammadiyah harus menciptakan aura dan keteladanan yang membawa pada keadaban publik. (ribas)