SEMARANG, Suara Muhammadiyah-Ajang Jawa Tengah Bermunajat 2019 yang dipadukan dengan Gebyar Muktamar Muhammadiyah ke-48 serta Pembukaan OlympicAD 2019 berlangsung meriah di Lapangan Pancasila Simpang Lima, Semarang. Diperkirakan, 50.000 jamaah ditambah 8.500 peserta OlympicAD tumpah ruah. Turut hadir Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen, Ketua PWM Jateng Tafsir, Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Baedhowi, Rektor UMS Sofjan Anif, Rektor Unimus Masrukhi.
Haedar Nashir didaulat memimpin puncak munajat. Menurutnya, munajat yang digelar PWM Jawa Tengah kali ini memiliki makna mendalam, dan jangan berhenti di seremonial. “Munajat kita ditunjukkan dengan amaliah kita untuk terus memajukan dan mencerahkan Indonesia dengan tindakan nyata,” tuturnya. Tak perlu banyak berwacana.
Haedar menjelaskan bahwa munajat bermakna sebagai doa sepenuh hati kepada Allah untuk mengharapkan keridhaan, bantuan, dan ampunan-Nya. Dalam Qs Al A’raf: 55, Allah berfirman: ud’u rabbakum tadharru’an wa hufyatan. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. “Berdoa secara tadharruan wa hufyatan kepada Allah, untuk memohon kepada Allah, supaya hidup kita selamat di dunia dan akhirat.”
Munajat bermakna ketundukan hanya kepada Allah dan mengimplemaentasikan dalam kehidupan. “Mempertautkan hambumminallah dengan setulus-tulusnya. Apapun yang Allah berikan, kita bersyukur.” Kita dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. “Apapun yang ada di dunia ini bersifat nisbi. Semua nisbi. Yang kekal abadi hanyalah Allah swt,” ulas Haedar.
Spirit munajat dapat dilihat dalam hadis pertama kitab Riyadush Shalihin yang menceritakan tentang tiga orang yang terjebak di dalam goa. Mereka hampir tidak punya harapan untuk keluar dari goa. Mereka pun bermunajat dengan penuh kesungguhan seraya menyebut amal baik yang pernah dilakukan, dan akhirnya Allah membuka jalan.
“Kiai Ahmad Dahlan ketika akan memberi nama organisasi ini, beliau bermunajat kepada Allah,” ungkap Haedar. Nama Muhammadiyah diambil setelah mendapatkan petunjuk dari Qs Ali Imran 104 dan 110 yang sumber inspirasi Kiai Dahlan. “Warga Muhammadiyah berperan sebagai pelaku dakwah dan tajdid. Menjadi khairu ummah.” Ayat ini dalam tafsir Ibnu Kasir, kata Haedar, berbicara tentang umat Nabi Muhammad. “Salah satu cirinya itu ummatan wasathan dan syuhada alannas.”
Dari spirit tersebut, lahirlah seluruh amal usaha Muhammadiyah di seluruh penjuru. “107 tahun Muhammadiyah merupakan bentuk penerjemahan ummatan wasathan. Beragama secara tengahan dan menggembirakan, tidak ekstrim kiri dan kanan.” Muhammadiyah menjadi anak-anak zaman yang membangun peradaban.
Rumusan Dar al-Ahdi wa al-Syahadah menggambarkan pandangan Muhammadiyah terhadap negara Pancasila. “Cinta tanah air Muhammadiyah tidak dengan kata-kata, namun dengan kiprah nyata,” ujarnya. Haedar lalu menyebut secara ringkas kiprah dari Ki Bagus Hadikusumo, Sudirman, hingga Djuanda. Para tokoh Muhammadiyah ini berbuat nyata untuk bangsa dan kemerdekataan Indonesia.
Ki Bagus Hadikusumo membawa Indonesia menjadi utuh dan bersatu, menjadi penengah yang berbesar hati dalam peristiwa sidang tentang dasar negara. Bukan untuk dirinya dan Muhammadiyah, namun untuk Indonesia. Djuanda menjadi tokoh yang menyatukan laut Indonesia dan membangkitkan kemaritiman kita.
Pemerintah menetapkan Kiai Dahlan sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden Soekarno nomor 657 tahun 1961. Dasar penetapan itu ialah (1) KH Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat, (2) Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam (3) Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam, dan (4)Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
“Indonesia harus terus kita bawa pada terwujudnya negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.” Oleh karena itu, Haedar berharap warga Muhammadiyah terus melakukan kerja-kerja membangun bangsa. Minimal dengan menyelipkan doa yang disertai dengan ikhtiar. “Nabi Ibrahim selain berdoa untuk dirinya, juga berdoa untuk negerinya. Maka, kita pun perlu berdoa supaya bangsa ini menjadi bangsa yang aman dan diberkahi Allah. Supaya aman dan diberkahi, tidak cukup berdoa, perlu ikhtiar,” ulasnya.
Lalu, bagaimana cara berikhtiar menjemput berkah dari Allah? Pertama, ujar Haedar, harus terus menggelorakan ruh iman dan takwa. Kedua, penduduk negeri harus menjadi penduduk yang berakhlak mulia. “Inilah misi Muhammadiyah, dan harus dimulai dari sekarang. Di era medsos, nilai-nilai luhur akhlak sering luruh. Maka penting untuk membangkitkan kembali nilai-nilai luhur akhlak dalam semua bidang kehidupan.”
Ketiga, ungkap Haedar, bangsa ini akan menjadi aman dan berkah jika penduduknya berilmu. Kita harus terus memperluas wawasan dan menambah pengetahuan. Wahyu pertama berisi perintah untuk membangun literasi. Lembaga pendidikan sebagai wujud Muhammadiyah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keempat, bangsa ini akan aman dan berkah jika penduduknya beramal shaleh. Kita harus jadi pelopor untuk terus berbuat baik. Terus memberi tanpa berharap kembali. “In ahsantum, ahsantum lianfusikum. Wa in asa’tum, falaha. Perbuatan baik dan buruk akan kembali kepada dirinya. Meskipun ditutup-tutupi, maka hasilnya akan kembali kepada yang berbuat.”
Haedar Nashir berharap seluruh peserta Jateng Bermunajat untuk melipatgandakan inspirasi kepada sekitarnya. “Kembali ke tempat masing-masing dan berbuatlah yang terbaik untuk Muhammadiyah, umat, bangsa, dan kemanusiaan.” (ribas/foto dwi agus)