Judul : Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat, 1927–1933
Penulis : Prof. Dr. Taufik Abdullah
Penerbit : Suara Muhamamdiyah dan PSIF UMM
Dimensi : 15 x 23 cm
Tebal : xxiv + 318
Ranah Minang mengalami transformasi di penghujung abad XIX. Pemicunya ialah gerakan Islam reformis. Para ulama Minang yang pulang dari Semenanjung Arabia membawa serta angin segar ide-ide Islam reformis di pundak mereka. Ini memantik revolusi Islam, dan oleh sebab itu, juga revolusi mental di tengah rakyat Minang. Tujuan mereka adalah menggalang perubahan sosial-keagamaan di Minangkabau yang, menurut mereka, hanya dapat dicapai dengan pengimplementasian Islam secara menyeluruh. Ulama pembaru itulah yang dikenal sebagai Kaum Muda.
Aksi mereka melahirkan benturan dengan Kaum Adat, pergerakan tarekat, aliran kebatinan, kaum komunis, dan kaum kafir (yang pada konteks ini diwakili oleh pemerintah kolonial). Walaupun demikian, semangat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang berkemajuan terus menggelora. Ciri khas gerakan Kaum Muda, sebagaimana yang dicatat oleh Schrieke (1955), adalah rasionalisme, egalitarianisme, optimisme, modernisme, dan anti-gerakan kebatinan.
Penggerak Kaum Muda adalah Syekh Jamil Jambek, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), dan AR Sutan Mansyur. Kaum Muda menempatkan pendidikan sebagai sendi utama dalam menciptakan masyarakat berkemajuan. Pendirian Muhammadiyah di Minangkabau adalah salah satu wujud ide ini. Dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah dan sekolahnya tumbuh dengan pesat. Organisasi ini menjadi salah satu kekuatan Islam reformis terkuat di Ranah Minang hingga kini.
Buku Taufik ini merupakan acuan primer untuk memahami sejarah pergerakan Islam di Minang pada umumnya, dan sejarah Muhammadiyah di Ranah Minang pada khususnya. Buku ini dibuka oleh dua tulisan dari Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta) dan Assoc. Prof. Khairudin Aljunied (Guru Besar Madya Sejarah Melayu di National University of Singapore), yang menekankan arti penting buku ini bagi setiap peminat kajian sejarah Islam di zaman pergerakan nasional. Dalam waktu dekat, sebuah prequel untuk buku ini akan hadir, yang menceritakan sejarah sosial Minangkabau tahun 1900–1927, yang insya Allah akan diterbitkan pula pada tahun ini oleh penerbit yang sama.
Akhirnya, sekarang tentunya banyak kader Muhammadiyah di Sumatra Barat yang masih menggeliat dengan dijiwai semangat Kaum Muda yang militan itu. Muhammadiyah di abad kedua ini harus banyak melakukan refleksi ke belakang untuk menjamin langkah yang langgeng di masa depan. Salah satunya tentu dengan meresapi pelajaran yang diberikan oleh buku ini. Jika perjuangan kader Muhammadiyah di masa kini dan di masa depan menjiwai pemikiran Haji Rasul dan Kaum Muda, tentu aktivisme Muhammadiyah di ranah Minang pada khususnya dan aktivisme Muhammadiyah di tingkat nasional (atau juga internasional) pada umumnya akan berkawan akrab dengan keberhasilan. [ADIT]