Satu hal yang spesial dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah Cibiuk (PCM Cibiuk) adalah program Muthala’ah. Secara bahasa “Muthala’ah” berarti membaca atau menelaah. Secara istilah berarti metode pengajaran bahasa Arab dengan membaca, baik secara lisan maupun dalam hati. Jadi pada awalnya pandanan ini sebetulnya digunakan untuk dunia pendidikan. Namun, kata ini kemudian digunakan oleh Majelis Tarjih PCM Cibiuk sebagai salah satu kegiatan ketarjihan.
Muthala’ah merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung sejak lama di kawasan kecamatan Cibiuk, Garut. Saya tidak tahu persis kapan kegiatan ini pertama kali dilakukan, akan tetapi yang jelas aktivitas Muthala’ah telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat. Hal itu merupakan pengejawantahan tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya.
Selain itu, Muthala’ah merupakan kegiatan akademik yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Kegiatan ini bukan diskusi biasa atau debat kusir khas sosial media, melainkan forum ilmiah yang dalam pelaksanaannya diatur sedemikian rupa dan sesuai standar akademik yang ketat, baik dalam rujukan, metode berpikir dan cara pemaknaan sebuah teks.
Secara tidak langsung kegiatan Muthala’ah ini memiliki tujuan untuk kembali menghidupkan warisan intelektual Islam yang kaya raya. Menghidupkan jejak ulama salaf dalam menyikapi setiap permasalahan konkret yang muncul di masyarakat. Membuka teks-teks otoritatif yang tidak hanya bersumber daripada al-Quran dan al-Hadits, tetapi juga pendapat ulama dalam “Kutub al-Mu’tabarah” atau kitab-kitab standar.
Oleh karenanya kegiatan ini dilakukan oleh PCM Cibiuk sebagai upaya menghindari taklid. Memang secara organisatoris PCM Cibiuk dalam putusan-putusan keagamaan harus merujuk ke dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) PP Muhammadiyah. Akan tetapi mereka sadar betul bila hanya menerima apa yang sudah jadi, ditakutkan jatuh ke dalam taklid.
Karenanya upaya “purifikasi” dari HPT oleh masyarakat Muhammadiyah Cibiuk menurut saya adalah langkah yang tepat. Terang saja, kemandirian PCM Cibiuk dalam kegiatan ketarjihan mesti diikuti oleh PCM-PCM yang lain agar lebih semarak mendalami teks-teks keagamaan. Kalau bisa mengkaji apa yang telah diputuskan kemudian melakukan koreksi.
Selain itu, kegiatan intelektual-keagamaan ini sebagai jalan pengkaderan dan pembelajaran bagi masyarakat awam dan santri. Bagi santri, kegiatan Muthala’ah sebagai pembelajaran tentang berbagai khazanah Islam yang termaktub dalam kitab kuning, sehingga dapat melecut semangat mengkaji warisan intelektual Islam yang kaya.
Sementara bagi masyarakat awam, Muthala’ah adalah jalan penerang ketika dalam praktek keagamaan terdapat suatu keraguan dan keresahan, sehingga mereka paham bahwa mengambil suatu hukum tidak bisa dengan hanya bermodalkan terjemahan al-Quran Departemen Agama, tetapi juga harus digodok dalam sebuah forum dan menghadirkan para ahli.
Mengutip-edit kalimat Ahmad Zain An Najah dalam makalahnya yang dipresentasikan di Kairo, Mesir tentang Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah—Barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kegiatan Muthala’ah ini merupakan “Think Thank“–nya PCM Cibiuk. Ia bagaikan sebuah “processor“ pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Kritik Terhadap Pelaksanaan Muthalaah PCM Cibiuk
Pertama, kegiatan Muthala’ah seringkali mengangkat tema dalam wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis saja, hanya ikhwal ibadah mahdhoh. Sepanjang yang saya ketahui kegiatan intelektual ini sama sekali tidak menyentuh persoalan waqi’iyah atau aktual. Jadi seolah mengulang-ulang apa yang sudah dibicarakan ulama terdahulu, hanya qiila wa qaala, tidak menghadirkan kesan “tajdid”, sebab sejak dulu sudah diperdebatkan.
Karena problema yang diangkat dalam forum Muthala’ah ini hanya pengulangan, sementara denyut zaman terus bergerak, maka yang ditakutkan adalah adanya “kemandegan”. Padahal problematika untuk memecahkan kebuntuan hukum Islam akibat dari perkembangan sosial yang terus-menerus tanpa henti, sementara secara tekstual tidak kita dapati landasannya dalam al-Quran dan al-Hadist. Karenanya perlu ada pembahasan yang riil dan kekinian yang lebih membutuhkan statuta hukumnya.
Namun barangkali problema yang sampai pada masyarakat Muhammadiyah Cibiuk ‘hanya’ sampai di sana, yang bertalian dengan kehidupan konkret sekitar, belum pada tingkat yang lebih “tinggi” (bukan berarti merendahkan). Jadi barangkali ulama setempat hanya mengakomodir apa saja yang menjadi keresahan masyarakat sekitar. Seakan-akan sifatnya menunggu “orderan”—semoga kata ini tepat untuk menggambarkan: kalau tidak ada masalah dari pasien yang sakit, tidak ada Muthala’ah.
Kedua, sepengetahuan saya yang baru mengikuti kegiatan Muthala’ah secara serius, hasil dari suatu pembahasan seolah tidak terdokumentasikan dalam sebuah catatan khusus. Jadi seperti dibahas panjang lebar kemudian ditulis poin-poin penting, setelah itu diumumkan dalam masyarakat yang terbatas. Dalam artian, masyarakat yang mendapatkan pencerahan hukum hanya mereka yang mengikuti kegiatan Muthala’ah sampai selesai saja. Sementara itu masyarakat yang tidak hadir, tidak mendapat apa-apa.
Karena penyebaran hasil diskusi dalam forum Muthala’ah yang kurang merata sampai menyentuh semua elemen masyarakat ini, terlihat seakan menjadi kegiatan yang hanya dilakukan untuk mengisi waktu luang semata. Seperti betul-betul “tidak dibutuhkan” oleh masyarakat.
Padahal kegiatan ini sudah berlangsung sejak lama. Alangkah baiknya dokumen-dokumen yang dulu pernah dibahas sampai sekarang dikumpulkan, kalau sempat dibukukan, sehingga menjadi “HPT”-nya PCM Cibiuk. Saya percaya dengan cara seperti ini akan tersentuh sampai masyakarat yang lebih luas, selain itu Muthala’ah akan dipandang sebagai kegiatan yang menentukan hajat hidup orang banyak karena berevolusi menjadi rujukan utama.
Ketiga, catatan yang terakhir sekaligus simpul keresahan saya dalam kegiatan Muthala’ah yang pernah saya ikuti dengan saksama adalah masih kentalnya budaya patriarkis. Budaya yang memandang laki-laki sebagai sosok otoritas utama dalam organisasi sosial ini menurut saya sedikit demi sedikit harus ditinggalkan.
Di dalam forum Muthala’ah ini, saya melihat perempuan bukan hanya tidak diberikan suara untuk berpendapat, tetapi juga tidak mendapatkan tempat untuk duduk bersama menyimak kegiatan ini. Perempuan dipekerjakan sebatas mengurusi konsumsi semata. Mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam forum diskusi tersebut.
Saya mendengarkan langsung keluhan seorang Ibu-ibu, dia ingin sekali minimal ikut hadir, maksimal bersuara atas nama keresahannya. Forum ilmiah haruslah membuka ruang bagi siapapun tanpa memandang kelamin atau pun status sosial.
Padahal saya percaya ada banyak perempuan yang memiliki pemahaman keagamaan yang cemerlang, berwawasan luas, dan cara berpikir yang khas di wilayah PCM Cibiuk. Sekurang-kurangnya mereka akan memberikan warna baru, karena problema keagamaan tidak hanya berkisah tentang laki-laki semata, tetapi juga mereka para perempuan.
Itulah catatan saya setelah mengikuti kegiatan Muthala’ah. Memang masih bersifat teknis. Kalau masih diberikan kesempatan waktu dan kesehatan mengikuti kegiatan yang bermanfaat ini, saya akan memuat catatan berupa rangkuman hasil dari diskusi.
Mohon maaf apabila ada salah kata yang terpaut di dalam artikel ini. Mohon maaf. Semoga saja kegiatan Muthala’ah terus berkembang menjadi bagian dari tradisi yang khas dari masyarakat Muhammadiyah Cibiuk, Garut, Jawa Barat. Jangan sampai kegiatan ini mati, kalau mati, bagaimana dengan masa depan kami yang awam ini? (Ilham Ibrahim)