Membangun Kesadaran Ekologis dan Ontologis: Muhammadiyah 107 Tahun

Membangun Kesadaran Ekologis dan Ontologis: Muhammadiyah 107 Tahun

Oleh: Ali Audah

Pernah ada yang memposting berita tentang Jepang. Berikut saya kutip penggalan kalimatnya: “Perbedaan dari topan yang melanda Indonesia dan melanda Jepang beberapa waktu lalu, seperti dunia nyata dan dunia gaib. Topan yang melanda Jepang seolah sudah dapat diketahui sebelum menghantam, menerpa dan memporak porandakan bangunan, sementara Topan di Indonesia terasa gaib, yang muncul secara tiba tiba, menghempas dan menghajar sekeliling yang di lewati.”

Postingan ini mengomentari kejadian alam yaitu angin kencang yang memporak porandakan Kota Batu Malang 20 Oktober 2019. Menurut sang penulis, Ustadz Munali dari Gondanglegi Malang, budaya Jepang lebih siap menghadapi bencana alam ketimbang orang Indonesia. Sayang penulis tidak merinci lebih lanjut kenapa orang Jepang lebih dapat menebak kejadian alam. Tapi saya sangat senang dengan opini ini.

Menurut saya, Jepang mungkin contoh yang bagus dari sebuah peradaban yang berhasil memadukan kecerdasan modernisasi dan teknologi dengan kearifan tradisi lokal. Kedekatan mereka dengan ‘natural disaster’ membuat mereka akrab dengan pandangan hidup yang “mitis” (bukan mistis).

Adalah C.A. van Peursen yang menyebutkan bahwa mitis adalah tahap pertama berpikir manusia. Ini sama dengan teori August Comte yang menyatakan bahwa mitologi adalah tahap pertama cara berpikir manusia, sebelum teologi dan sosiologi. Dalam cara berpikir mitis, manusia diyakini sebagai bagian yang menyatu dengan universe (alam semesta) dan kekuatan maha besar yang tidak nampak. Konsekuensi keyakinan ini adalah manusia tidak boleh sembarangan berkata dan bertindak, karena setiap kata dan tindakannya didengar dan dilihat oleh alam dan kekuatan gaib. Karena manusia adalah bagian alam, ia tidak boleh seenaknya memperlakukan alam. Alam bukanlah musuh, alam juga bukan obyek pemuas hawa nafsu manusia.

Orang-orang yang hidup dalam keyakinan mitis akan sedih jika melihat hutan ditebang sembarangan, tanah dikeduk hingga jadi galian raksasa, hewan langka terus diburu, sungai dicemari sampah kimiawi, dan seterusnya. Orang orang suku Amazon, banyak suku di pedalaman Amerika dan Afrika, suku Indian jaman dulu, dan penduduk Jepang mempraktekkan cara berpikir mitis ini selama berabad abad. Tidak heran jika Jepang adalah negeri dengan tingkat kesadaran tertinggi terhadap bencana alam.

Basic dari cara hidup (way of life) orang Jepang ini mungkin sebenarnya setara dengan kearifan nenek moyang kita dahulu, mereka kaya dengan pengukuran atau perhitungan, baik perhitungan waktu (dino), jumlah ornamen sesajen atau pintu rumah, arah mata angin yang sesuai, geometri bangunan, dan seterusnya.

Sayangnya, modernisme mendesak metode hidup tradisional tersebut, dan menganggap itu berbau takhayul, tidak ilmiah tidak rasional.Sehingga kita menjadi masyarakat yang tanggung dan gagap menghadapi fenemona alam, terutama bencana.

Jika mitis adalah kesadaran dan cara pandang manusia menyatu dengan alam dan kekuatan gaib, lalu apa yang dimaksudkan dengan mistis atau mistisisme? Secara ilmu asal usul kata (etimologi), mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Jadi, penganut ajaran mistis biasanya senang dengan olahan batin di tempat dan waktu tertentu yang tertutup dan jauh dari kegaduhan duniawi.

Olahan batin tersebut misalnya dilakukan di dalam gua, sendang (sumber mata air), candi atau kuil yang jarang dikunjungi umum, bawah pohon besar yang berusia tua. Mata dipejam, hati dibersihkan dari segala nafsu angkara dan lintasan duniawi, pikiran ditenangkan dan dikosongkan dari ingatan yang buruk, perut dilatih menerima air dan makanan dalam jumlah sangat terbatas, dan seterusnya.Orang orang yang hidup dalam perilaku mistis dapat menemukan sumber ketenangan setelah mencapai pencerahan jiwa, mengerti hakikat penciptaan dan kehidupan, terbebas dari penjara kehendak diri yang menjadi sumber penderitaan.

Cara hidup mitis dan mistis sudah mulai ditinggalkan. Sebagian ahli ada yang menuduh bahwa ajaran agama formal lah yang membuat manusia tidak lagi memegang mitisme dan mistisisme. Mitology adalah tahap berpikir sebelum ontologi dan teologi. Comte bahkan mendesak dunia untuk meninggalkan teologi dan menerima sosiologi sebagai cara hidup yang baru dan modern.

Aliran Protestan dan Muhammadiyah misalnya, dianggap representasi gerakan keagamaan yang anti terhadap mitisme dan mistisisme. Keduanya sama-sama disebut sebagai gerakan puritan keagamaan yang menghapus berbagai praktek tahayul, bid’ah dan khurafat yang tumbuh subur di masyarakat yang dianggap tradisional.Sedangkan Katholik dan Nahdatul Ulama dianggap representasi aliran keagamaan yang memelihara tradisi mistisisme, seperti upacara menolak bala, sembah bumi dan laut, dan berbagai acara selamatan khas adat yang dikemas dalam doa-doa yang dipimpin oleh kiai atau pendeta.

Puritanisme inilah yang barangkali sering dituduh sebagai sumber radikalisme, padahal sebenarnya lebih tepat disebut gerakan fundamentalisme. Tapi mau disebut radikal atau fundamental, yang jelas kategori semacam ini tidak banyak membantu kita menjelaskan banyak hal.Sejarah juga menunjukkan bahwa Protestan dan Muhammadiyah cenderung lebih moderat karena basis keagamaan mereka adalah rasionalitas dan partisipatoris. Keduanya lebih siap menerima gagasan demokrasi karena menganggap semua orang sama di mata Tuhan, apalagi negara.Uniknya, gerakan berpikir filsafat kritis justru banyak hidup di generasi muda Katolik dan NU. Ini sangat menggembirakan karena stok pemikir cerdas akan terus bertambah di negeri ini.

Secara kalender bulan, Muhammadiyah sudah berusia 110 tahun pada tanggal 8 Dzulhijjah 1440 yang bertepatan dengan 9 Agustus 2019 lalu. Namun secara kalender solar, hari ini Muhammadiyah genap memasuki usia 107 tahun.

Di tengah kepungan hegemoni materialistik dan teknologi digital, sudah saatnya Muhammadiyah kembali merenungkan seberapa jauh gerakan puritanisme dan modernisme mulai mengikis kesadaran mitis dan mistis masyarakat Indonesia? Ini memang pertanyaan yang tidak mengenakkan hati. Karena mazhab beragama orang Muhammadiyah adalah memperbanyak beramal soleh, dan mengikis habis praktek beragama yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi saw.

Namun kegersangan manusia modern yang disebut Albert Camus sebagai absurditas adalah sebuah persoalan sangat serius di masa sekarang dan akan datang.Paradigma memperbanyak amal saleh tidak boleh dikendurkan sedikitpun, tetapi kesadaran ekologis dan kedalaman batiniah tidak berarti harus dikalahkan.Pendekatan beragama yang lebih menghormati kearifan lokal yang sangat signifikan pada pelestarian alam dan peningkatan batiniah hendaknya terus-menerus dibangun. Ini adalah benteng terkuat untuk mempertahankan jati diri bangsa dari kepungan paradigma materialistik dan penjajahan dunia digital.

Tentu saja kesadaran ekologis dan peningkatan sisi esoteris tersebut tidak lantas mengaburkan batas yang jelas antara tuntunan Allah dan Rasulnya dengan kreasi manusia. Di usia Muhammadiyah yang 107 tahun seharusnya hal seperti ini sudah selesai dirumuskan. Kepentingan menjaga kemurnian agama tidak boleh dibenturkan dengan tanggungjawab menyelamatkan bumi dari eksploitasi teknologi. Kejayaan material juga tidak boleh melemahkan semangat meraih hakikat penghambaan kepada Tuhan. Singkat kata, paradigma ekologi kini harus dikedepankan sebagai semangat beramar makruf nahyi mungkar.

——–

Ali Audah, Penulis Buku Cafe Academica dan Ketua Majelis Kader Cabang Sleman

 

Exit mobile version