Dari Hampa Menjadi Hamka

Judul               : Memahami Hamka, the untold stories

Penulis             : Haidar Musyafa

Penerbit           : Imania

Tebal, ukuran  : 576 hlm, 16 x 24 cm

ISBN               : 978-602-7926-50-6

Manusia merupakan makhluk istimewa, pilihan Tuhan (Qs. Thaha: 122). Dipilih untuk mengemban amanah sebagai wakil dan sekaligus partner-Nya di muka bumi (Qs. Al Ahzab: 72, Al-Ra’d: 11, Al-Baqarah: 30). Dengan posisinya itu, manusia diberi kedudukan yang sangat tidak biasa. Manusia dibekali semua potensi untuk menjadi apa saja, tergantung pada potensi apa yang diaktualkan dalam kehidupan.

Manusia memiliki kompleksitas yang tidak bisa dirumuskan secara pasti. Dengan kompleksitas keunikannya masing-masing, manusia lahir dan bertumbuh kembang. Para psikolog mengajukan banyak teori tentang manusia. Bahwa manusia dibentuk oleh rangkaian pengalaman masa lampau, ambisi atau hasrat mengenai masa depan, dan juga kenyataan yang dihadapi hari ini.

Orang-orang besar melalui proses tumbuh yang tidak selalu linier. Ada banyak jalan yang telah mereka lewati untuk menjadi sesuatu di masa kini. Ada banyak rintangan yang menghalangi di sana-sini. Hal yang membuat mereka menjadi tokoh di kemudian hari, salah satunya adalah karena respons mereka dalam menghadapi masalah dan menyikapi semua musim kehidupan. Semua riak itu membentuk kepribadian sang tokoh.

Begitulah seorang Hamka, yang berawal dari hampa. Seorang pembelajar otodidak yang menjadi ulama besar. Namanya dikenal di Indonesia dan masih harum di seluruh Asia Tenggara. Ulama yang wafat pada 24 Juli 1981 ini tak ada habis-habisnya untuk dipahami dan diteladani. Ada banyak sisi yang bisa dipelajari. Setelah wafat, hikmah yang bisa diambil darinya belum juga berkurang.

Dalam ceramahnya, Hamka menyebut bahwa salah satu cara untuk memperpanjang usia adalah dengan terus berkarya dan memaksimalkan usia dalam kebaikan. Ketika wafat nanti, kebaikan-kebaikan itu telah menjadi pohon yang terus berbuah sepanjang masa. Itulah yang kini dituai Buya Hamka. Dalam sebuah acara, Buya Ahmad Syafii Maarif menyebut Hamka masih hidup. Dalam artian, kebaikannya terus abadi. Pikirannya masih terus diselami dan menjadi oase bagi generasi setelahnya.

Di balik nama besar Hamka, tak banyak yang tahu dan paham tentang proses yang telah dilalui ulama multitalenta. Buku Memahami Hamka: the untold stories (2019) ini memberi gambaran penting tentang perjalanan hidup Hamka. Riak kehidupan yang tidak biasa. Sisi kemanusiaan yang selama ini tertutupi nama besar dan kewibawaannya juga diungkap. Gaya tuturan yang mengalir dengan data terpercaya membuat buku ini tidak bisa dilewatkan.

Ada banyak cerita tentang Hamka yang tidak disangka-sangka. Masa muda Hamka sama seperti banyak remaja seusianya. Bahkan, Hamka jauh lebih nakal. Meskipun ayahnya seorang ulama, Hamka malas mengikuti sekolah dengan sistem belajar yang membosankan. Jiwanya merdeka. Namun ia rakus membaca. Untuk bisa menggumuli buku, ia menempuh berbagai cara. Haji Rasul bahkan pernah marah karena anaknya sering membaca buku cerita.

“Di sekolah, dia memang dikenal sebagai anak nakal dan tidak serius belajar. Namun di luar kelas, dia adalah seorang yang sangat tekun dalam menuntut ilmu dan mencari pengetahuan. Jiwanya yang bebas jauh lebih senang mencari ilmu dengan caranya sendiri dan tidak bersedia dibelenggu oleh sistem pelajaran yang diberikan dengan metode mendengarkan ceramah-ceramah guru yang diberikan secara monoton, tanpa memberikan kesempatan kepada para murid untuk berdiskusi,” (hlm 92).

Hamka tumbuh di tengah kurangnya perhatian orang tua. Ayahnya yang keras kepala sering pergi berdakwah ke tempat jauh, berminggu-minggu. Saat Hamka berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Hamka kehilangan pegangan, berpisah dengan ibu yang sangat disayanginya. Hamka pun tumbuh menjadi bocah petualang. Tidak tahan berada di rumah. Ia pergi tak tentu arah, bermain-main hingga lupa waktu, belajar silek, berlatih tari piring, ke pasar, hingga melihat pacuan kuda dan sabung ayam. Haji Rasul sempat khawatir dan mengirimnya ke Parabek, namun Hamka tetap tidak kerasan.

Tumbuh dalam suasana itu membuat batin dan perasaan Hamka semakin terasah. Ia mudah berempati. Di suatu ketika, Hamka muda pernah berhari-hari menemani dan menuntun pengemis. Di waktu berbeda, Hamka melihat seorang ibu yang menangis karena anak satu-satunya meninggal dunia. Hamka mengumpulkan temannya untuk datang ke rumah wanita ini setelah mengaji. Saban malam mereka datang, si wanita merasa terhibur dan kembali bisa bangkit dari keterpurukan ditinggal anaknya. Di lain hari, Hamka menggantikan antri seorang perempuan tua yang ingin membeli beras (hlm 94-95).

Laku baik yang dilakukan Hamka tidak selalu disambut baik oleh Haji Rasul. Ayahnya menganggap tindakan Hamka membuat malu orang tua, sosok pemangku adat dan tetua agama yang dihormati.  Banyak peraturan dan pertimbangan moral orang tua yang tidak sama dengan standar Hamka. Sesuai kondisi sosial-budaya saat itu, tokoh agama berkedudukan sebagai elite yang dipuja-puja. Suara hati Hamka mengatakan hal sebaliknya, bahwa agama seharusnya mendorong orang membumi, dekat dengan kaum papa, dan peduli pada sesama.

Hamka tumbuh menjadi sosok yang sangat toleran. Tulisan dan ceramahnya disajikan dengan bahasa yang sederhana dan relevan dengan khalayaknya. Ia teguh dalam prinsip, namun luwes dalam cara, mampu berkawan dengan semua. Dakwahnya tidak menghakimi yang berbeda. Mudah diakrabi dan mudah mengakrabi. Sebagai tokoh Muhammadiyah, sosok yang namanya diadabadikan sebuah universitas Muhammadiyah ini dekat dengan kiai Nahdlatul Ulama. Sejarawan cum budayawan kelahiran Maninjau, 17 Februari 1908 ini patut dijadikan teladan bagi generasi bangsa yang ingin menapaki jalan negarawan. (Muhammad Ridha Basri)

Baca juga :

Haedar Nashir: Generasi Baru Perlu Pelajari Buya Hamka

Buku-Buku Bacaan Buya Hamka

Buya Hamka Ulama yang Kosmopolitan

Sisi Rasionalitas Hamka yang Belum Banyak Diketahui

Buya Hamka di Antara Adat, Sastra, dan Agama

Di Bawah Lindungan Wahyu

Exit mobile version