Keadilan Gender Masyarakat Muslim Indonesia

Keadilan Gender Masyarakat Muslim Indonesia

Judul                           : Feminisme Muslim di Indonesia

Penulis                         : Alimatul Qibtiyah

Penerbit                       : Suara  Muhammadiyah

Cetakan                       : 1, Maret 2019

Tebal & Ukuran          : xx + 270, 15,5 x 23,5 cm

 

“Salah satu pilar mewujudkan keharmonisan keluarga adalah adanya konsep negosiasi, bukan dominasi dalam keluarga, yakni dengan mengedepankan konsep saling dalam segala hal. Saling bertanggung jawab, saling membantu, saling menghormati, saling mengasihi, dan saling terbuka dengan pasangan dan anggota keluarga lainnya.” (hlm 208).

Pandangan penulis buku ini tentang konsep keadilan gender sedikit terwakili oleh kalimat di atas. Buku ini tidak bermaksud mengutuk laku ketidakadilan ataupun memuja-muja tawaran Barat tentang feminisme. Namun, menunjukkan fakta bahwa masyarakat Muslim Indonesia memiliki khazanah tersendiri tentang kesetaraan gender. Pada mulanya, organisasi perempuan Indonesia merupakan turunan dari organisasi laki-laki, semisal Putri Merdika (Budi Utomo), Aisyiyah (Muhammadiyah), Syarikat Perempuan Islam Indonesia (Syarikat Islam). Namun perlahan, gerakan perempuan mampu berdaya dan berperan secara mandiri.

Alim dalam buku ini menyebut empat modal dasar sebagai pijakan: filosofi hidup (khususnya Jawa), budaya, bahasa, dan pengalaman sejarah (hlm 205). Terdapat misalnya istilah untuk istri atau suami sebagai sigaraning nyowo atau garwo, yang bermakna, separuh nyawa. Konsekuensinya, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki makna penting dan tanggung jawab terhadap keluarga.

Pada aspek budaya, terdapat relasi bilateral kinship atau pertalian keluarga yang fleksibel. Tidak ada keharusan menjadikan nama orang tua laki-laki sebagai turunan nama anak. Dalam sejarah kerajaan Nusantara, perempuan juga diakui sebagai manusia utuh, digunakan sebutan Ratu (Sultana, Tri Buana Tungga Dewi, Bundo Kandung), yang setara dengan kedudukan Raja atau Sultan. Pengakuan sebagai manusia ini menjadi alasan untuk saling menghargai dan berbagi peran, tanpa ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah.

Secara khusus, buku ini memetakan tentang feminisme dalam masyarakat Muslim dengan menginventarisir dan menganalisis beberapa tema utama. Menurutnya, masyarakat Muslim dalam memahami isu-isu gender terbagi menjadi tiga golongan, ada yang berpaham literalis, moderat, dan progresif. Tiga golongan ini didasarkan dari sisi pemahamannya terhadap sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits. Terdiri dari tema: kesetaraan peran gender di rumah dan di tempat kerja, kesetaraan hak-hak seksual, kekuasaan yang setara untuk membuat keputusan dalam kehidupan keluarga, hak waris yang setara, nilai yang setara sebagai saksi, kesetaraan simbolik perempuan dalam kisah penciptaan, poligami, status perempuan yang setara, serta hak perempuan untuk menjadi imam shalat. Masing-masing tema itu akan disikapi secara berbeda oleh kalangan literalis, moderat, dan progresif.

Pada tema kesetaraan hak-hak seksual, misalnya, kalangan literalis berpandangan bahwa istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual. Kelompok moderat menyatakan, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara untuk mendapatkan kesenangan dan ekspresi seksual, tetapi kebutuhan seksual suami harus lebih didahulukan dibanding kebutuhan seksual istri. Istri boleh menolak ajakan berhubungan seksual selama ada alasan rasional. Kalangan progresif berpendapat, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesenangan dan ekspresi seksual. Keduanya dapat berdiskusi dan membicarakan apa yang diinginkan bersama. (ribas)

Exit mobile version