YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Tarjih edisi ke-70 di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta mengusung tema: Niqab dalam Timbangan Manhaj Tarjih. Paham agama dalam Muhammadiyah ditimbang menggunakan perspektif manhaj tarjih. Dalam paparannya, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid, Wawan Gunawan Abdul Wahid menyatakan bahwa berbagai dokumen tarjih tidak “memberi tempat” bagi cadar.
“Dinyatakan dalam risalah Adabul Mar’ah fil Islam, hasil Munas/Muktamar Tarjih tahun 1976, ditanfidz tahun 1982, tidak menyebut kata cadar. Yang ada dalam dokumen ini hanya menyebut tentang ukuran-ukuran yang moderat bagaimana perempuan menutup aurat, terutama menutup kepala,” ujar Wawan.
Buku Tanya Jawab Agama jilid 4 halaman 238-239, menyatakan tidak ada perintah dalam Al-Quran dan Sunnah untuk Menggunakan Cadar. Tanya Jawab Agama Suara Muhammadiyah nomor 13 tahun 2003, tentang Aurat dan Jilbab, Tanya Jawab Agama jilid 7, halaman 58-72 juga mengandung pesan serupa. Demikian juga dalam Suara Muhammadiyah nomor 24 tahun 1993, Suara Muhammadiyah nomor 18 tahun 2003, dan Suara Muhammadiyah nomor 18 tahun 2009.
Wawan menyebut bahwa dalam diktum pertama manhaj tarjih menyebutkan bahwa para ulama tarjih dalam beristidlal menggunakan sumber Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Maqbulah. Pembacaan terhadap ayat dan hadis harus dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif, yang dipahami dengan pendekatan bayani, burhani, irfani.
Terkait tema cadar, Wawan menyebut beberapa ayat dan hadis terkait. Di antaranya adalah firman Allah dalam surat an-Nur (24) ayat 31: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…”
Ayat ini menurut penafsiran Jumhur ulama, bahwa yang boleh nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya sebagaimana pendapat Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Umar ra. (Tafsir Ibnu Katsir vol. 6:51)
Terdapat beberapa hadis pendukung. Semisal, “Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan Muammal bin al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud]
Hadis yang lain menyatakan, “Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya]. Hadis ini mengisyaratkan bahwa Ali melihat wajah perempuan, sehingga Nabi menegur.
Ada juga riwayat Jabir bin Abdillah berkata: “Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mentaatiNya. Beliau menasehati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam! Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal.” [HR Muslim, dan lainnya]
Hadits ini, kata Wawan, jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat. Ketika itu, perempuan membuka wajahnya. Jika memakai cadar atau niqab, Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman.
Selain hadis-hadis yang terkait langsung, Wawan menyebut ada beberapa hadis pendukung, semisal: Kita diajarkan untuk selalu melakukan kebaikan. “Salah satu bentuk kebaikan itu adalah bershadaqah. Memberi senyuman pada orang lain adalah shadaqah. Kalau perempuan bercadar, bagaimana memberi senyuman,” ungkap dosen UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Wajah, kata Wawan, adalah jendela untuk berkomunikasi antar manusia. Islam memerintahkan untuk saling kenal-mengenal. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al-Hujurat: 13)
Selain sumber Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Wawan juga mengetengahkan bahwa pendapat jumhur ulama tentang cadar. Ijma’ ulama sepakat bahwa tidak ada perintah memakai cadar. Tidak ada dalil yang terkait langsung yang memerintahkan untuk memakai niqab atau cadar.
“Ulama mazhab Maliki menambahkan bahwa hukum bercadar itu makruh, karena ketika seseorang bercadar berarti mengekspresikan sikap berlebihan, tidak tawasut, tidak moderat. Padahal karakter Islam itu adalah tawasut di antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri,” kata Wawan. Sikap ghuluw dalam beragama dilarang.
Wawan Gunawan menyebut sebuah hadis populer, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim]. Tidak hanya itu, melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Nabi dengan menyatakan bahwa perbuatan itu baik justru seolah menganggap Nabi menyembunyikan risalah Islam. “Siapa yang lebih tahu tentang tuntunan? Rasulullah.”
Meskipun cadar tidak dianjurkan, Wawan memberi catatan, supaya kita harus selalu bertasamuh, toleran terhadap apapun pilihan orang menutup aurat, termasuk terhadap yang bercadar. Tindakan saling menyalah-nyalahkan justru kontraproduktif untuk kemajuan umat.
Dilihat dari aspek historis-sosiologis, kata Wawan, cadar atau niqab lebih sebagai bagian dari tradisi menutup hidung untuk menahan debu ketika angin gurun di negara-negara Timur Tengah. Supaya tidak pasang cabut, maka dipasang dalam bentuk permanen. (ribas)
Baca juga:
Pengajian Tarjih 52: Paradigma Baru Wakaf Uang
Pengajian Tarjih 32: Perumpamaan Al-Qur’an dan Sikap Manusia
Pengajian Tarjih 21: Bagaimana Muhammadiyah Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis?