JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sejumlah pimpinan MPR RI melakukan kunjungan ke PP Muhammadiyah guna menjaring masukan terkait wacana amendemen UUD 1945. Kunjungan pimpinan MPR ke Gedung Dakwah Muhammadiyah di Jakarta, 16 Desember 2019, diterima Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir, Sekum Abdul Mu’ti, Ketua Anwar Abbas, Bendum Suyatno, Bendahara Marpuji Ali.
Hadir Ketua MPR RI Bambang Soesatyo serta Wakil Ketua MPR Arsul Sani, Hidayat Nur Wahid, dan Zulkifli Hasan. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir dua jam itu, Muhammadiyah menyampaikan sikap terkait amendemen UUD 1945. Muhammadiyah setuju jika amandemen terbatas UUD 1945 sebagai penguatan Garis Besar Halauan Negara (GBHN), namun harus mengutamakan pengkajian yang mendalam dan tidak tergesa-gesa.
Haedar mengatakan bahwa Muhammadiyah mendukung wacana amendemen UUD 1945 terbatas, khusus pada materi penghidupan kembali GBHN. Sebab, ungkap Haedar, presiden dan wakil presiden harus memiliki pedoman pembangunan yang beriorientasi pada kepentingan nasional jangka panjang. “Presiden dan wakil presiden terpilih siapa pun dan sampai kapan pun itu dia harus punya pedoman. Nah, GBHN itulah pedomannya.”
“Di pembukaan UUD 1945 terdapat prinsip mendasar mengenai tujuan nasional dan kewajiban pemerintahan. Nilai-nilai mendasar ini tidak bisa dibiarkan tanpa GBHN. Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus punya pedoman, yaitu GBHN untuk meluruskan visi misinya,” ulas Haedar Nashir.
Muhammadiyah keberatan jika presiden dan wakil presiden kembali dipilih MPR. Haedar menyatakan bahwa Muhammadiyah tetap mendorong agar rakyat ikut serta dalam pemilu secara langsung, bebas, dan terbuka. “Muhammadiyah memandang bahwa tonggak pertama ini, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat harus tetap dipertahankan,” ujarnya.
Muhammadiyah juga meminta MPR tetap mempertahankan jabatan presiden/wakil presiden dua periode sesuai yang tercantum dalam UUD 1945. Batas masa jabatan merupakan bagian dari semangat reformasi yang tak boleh padam. “Muhammadiyah juga tetap berpandangan bahwa presiden dan wakil presiden terpilih ke depan itu tetap lima tahun dan maksimal dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi, sehingga menjadi dua periode jika memang rakyat menghendaki,” ungkap Haedar.
Indonesia harus mempertahankan fungsi dan prinsip check and balances dalam pemerintahan. Haedar menyebut masing-masing lembaga: eksekutif, legislatif, dan yudikatif mesti memiliki limit masa jabatan. “Di sinilah semangat reformasi tetap terjaga. Tetapi ke depan kita harus jelas arah Indonesia. Tidak boleh menjadi negara yang serba liberal, menjadi negara yang serba bebas, dan tetap ada prinsip check and balances antarseluruh institusi kenegaraan di Republik Indonesia.”
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan bakal menampung seluruh rekomendasi dan masukan dari Muhammadiyah. MPR memiliki waktu hingga 2023 untuk memutuskan soal amendemen UUD 1945. Bamsoet mengungkapkan, setidaknya ada dua catatan penting yang diutarakan Haedar Nasir terkait isu-isu kebangsaan, terutama terkait dengan amandemen UUD 1945 dan dihidupkannya kembalinya GBHN.
“Kami mencatat dengan baik apa apa yang disampaikan, sebagai aspirasi dan pemikiran daripada PP Muhamaddiyah. Kami sepakat yang disampaikan Ketum PP Muhammadiyah, pembahasan GBHN harus melalui kajian dalam dan hati-hati betul. Dan harus memenuhi kebutuhan mendasar rakyat kita menuju kemajuan bangsa Indonesia,” ujar Bamsoet.
Pesan lainnya yang disampaikan adalah terkait pemilihan langsung dan masa jabatan presiden. “Kami juga menyambut baik apa yang disarankan atau menjadi pemikiran PP Muhammadiyah bahwa pemilihan Presiden jangan diutik-utik, harus tetap melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Kedua, maksimum dua periode dan dipilih langsung oleh rakyat, dan itu jadi catatan penting bagi kami,” tukas Bambang Soesatyo. (ribas/dbs)
Baca juga:
Mahutama dan MPR Dorong Reformulasi GBHN
Ketua MPR RI: Pancasila Bukanlah Palugada Terhadap Pihak yang Tidak Satu Pandangan
Beri Masukan ke DPR, Haedar Nashir: RUU Antiterorisme Harus Komprehensif