YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyadari bahwa persoalan agraria sangat kompleks, berkaitan dengan tanah dan apa yang ada di dalam dan di atasnya. Tanah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, menjadi tempat tinggal dan melangsungkan hidupnya. Tanah juga menjadi sumber penghidupan, tempat bercocok tanam, identitas individu dan kelompok, hingga sumber kekuasaan.
Konflik agraria yang terus terjadi akibat perebutan lahan, penguasaan lahan yang timpang, konversi lahan pertanian ke industri dan pemukiman yang tak terkendali, hingga kerusakan lingkungan akibat kesalahan tata kelola agraria, menjadi persoalan mendesak untuk dicari solusi. Mengingat Indonesia adalah negara berdasar ketuhanan dan Muslim menjadi populasi mayoritas, maka perspektif Islam dalam pembaruan dan tata kelola agraria sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan rumusan panduan tata kelola agraria mencakup tentang kedudukan, fungsi, dan pengaturan tanah, yang digali dari sumber rujukan Islam.
Dalam rangka itu, Majelis Tarjih menyusun Fikih Agraria. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Prof Syamsul Anwar menyatakan bahwa rumusan Fikih Agraria ini akan dibahas secara lebih menyeluruh dalam Munas Tarjih ke-2 yang akan dilaksanakan April 2020 di Gresik, Jawa Timur. Fikih Agraria ini diharap melengkapi produk tarjih lainnya berupa Fikih Air, Fikih Anak, Fikih Kebencanaan, Fikih Anti Korupsi, Fikih Informasi, dan seterusnya.
Majelis Tarjih, kata Syamsul, adalah badan di dalam Muhammadiyah yang tugasnya melakukan pengkajian dalam berbagai aspek kehidupan dengan perspektif keagamaan dalam paham Muhammadiyah. Persoalan yang menjadi kajian Majelis Tarjih tidak selalu terkait dengan fikih ibadah atau halal-haram, namun juga tentang semua aspek kehidupan manusia. Syamsul menyebut semisal nanti dalam Munas Tarjih ke-2 akan dibahas juga trend dunia tentang pengakhiran hidup dan upaya bunuh diri dengan bantuan medis.
Terkait dengan Fikih Agraria, Syamsul menyatakan bahwa persoalan ini sudah sangat mendesak. “Secara umum, masalah tanah semakin penting bagi kehidupan setiap orang. Kita hidup di tanah. Di Pulau Jawa, hampir sudah tidak ada lagi hutan, karena diperuntukkan untuk bangunan tempat tinggal,” tukasnya dalam pembukaan Seminar Nasional “Pembaruan dan Tata Kelola Agraria Perspektif Islam dan Keindonesiaan” di Amphitarium Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 19 Desember 2019.
Permasalahan yang dikaji dalam Majelis Tarjih, ungkap Syamsul, akan ditimbang dengan prinsip manhaj tarjih yang memiliki tiga hirarki. Pertama, prinsip-prinsip atau nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), baik norma teologis maupun norma etik dan yuristik. Nilai universal tauhid, kemaslahatan, keadilan, persamaan, persaudaraan, dan seterusnya. Kedua, asas-asas yang diambil dari Al-Qur’an dan al-Sunnah (al-ushul al-kulliyah). Tanah harus dipergunakan secara adil dan maslahat, misalnya. Ketiga, norma kongkret (al-ahkam al-far’iyah), yang mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i.
Sekretaris PP Muhammadiyah Dr Agung Danarto mengapresiasi inisiasi Majelis Tarjih untuk memproduksi pemikiran yang kontekstual. “Bahasan Tarjih tidak ditemukan dalam khazanah studi Islam klasik. Ini mengokohkan posisi Muhammadiyah dalam mengisi negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah.” Dengan sumbangan gagasannya, Muhammadiyah memberi tafsir atas berbagai persoalan kebangsaan di negara hasil konsensus ini.
Guna mengisi tafsir kebangsaan, ungkap Agung, banyak gagasan yang harus digali dari sumber ajaran Islam dan disesuaikan dengan konteks keindonesiaan, kekinian dan kedisinian. Di saat yang sama, pemikiran Muhammadiyah dipandang akan mengokohkan ciri khasnya sebagai gerakan tajdid. Slogan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah Muhammadiyah berbeda dengan gerakan purifikasi.
Dalam ideologi Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, al-ruju ila al-Qur’an wa al-sunnah al-maqbulah itu dengan pemahamannya menggunakan akal pikiran. “Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.” Dalam bahasa tarjih, ungkap Agung, menggunakan pendekatan bayani, burhani, irfani.
Dalam Tanwir Bengkulu, kata Agung, Muhammadiyah merekomendasikan agenda reformasi agraria guna mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan dan mengembalikan konversi lahan yang merugikan rakyat. Sebelumnya, Sidang Tanwir Muhammadiyah pernah juga merekomendasikan: penataan aset pertanahan, redistribusi lahan, pemberian akses tanah negara ke masyarakat miskin, penetapan lahan abadi untuk pembangunan pertanian.
Staf Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat Atas Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Dr Andi Tenrisau menyambut baik kepedulian Muhammadiyah pada isu agraria. Kementeriannya komit melaksanakan agenda untuk menyelesaikan masalah agraria yang tidak mudah.
Menurut Andi, landasan awalmya mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.” Andi yang mewakili Menteri Agraria menekankan pentingnya kata “dikuasai oleh negara, bukan dimiliki.” Penguasaan itu ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kementerian ATR/BPN telah memetakan beberapa permasalahan yang dihadapi. Pertama, ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Data BPS tahun 2013 menunjukkan ketimpangan kepemilikan lahan itu 0,68. Artinya, 1% menguasai 68% sumber daya lahan. Kedua, kata Andi, kepastian dan perlindungan hukum. Sampai 2016, baru 46 juta bidang tanah yang terdaftar.
Ketiga, sengketa dan konflik pertanahan, sengketa konflik perbatasan antara kawasan hutan dan kawasan non-hutan (APL). Keempat, tumpang tindih perizinan. Andi menyebut sebuah ironi, ada suatu daerah yang perizinan tanahnya lebih luas daripada luas daerah itu sendiri. Kelima, perolehan tanah yang berasal dari aset pemerintah/BUMN/BUMD banyak yang tidak dilaporkan.
Andi menyebut Kementerian ATR/BPN komit melaksanakan agenda reforma agraria yang berupa: acces reform (redistribusi tanah) dan asset reform (legalisasi aset). Di samping itu, pihaknya juga sedang mengembangkan single land administration. Sistem informasi pertanahan, kawasan, dan wilayah terpadu ini memiliki fungsi: land tenure, land use, land value, dan land development yang berbasis sisem kadaster.
Narasumber lainnya dalam forum ini antara lain pakar hukum agraria UGM Prof Nurhasan Ismail, aktivis komunitas adat dan advokasi agraria Dr R Yando Zakaria, pakar agraria IPB dan Sajogyo Institute Dr Mohammad Shohibudin, perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria Roni Septian Maulana, serta Dr Wawan Gunawan Abdul Wahid yang mewakili tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. (ribas)