YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan beberapa pandangannya terkait dengan perjalanan bangsa Indonesia jelang akhir 2019 dan proyeksi awal tahun 2020. Refleksi ini disampaikan dalam agenda temu media, pada 21 Desember 2019, di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta. Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir memberi catatan khusus terkait isu kebangsaan, radikalisme dan terorisme, amandemen UUD 1945 dan GBHN, Dewan Pengawas KPK, hingga isu pelanggaran HAM di Uighur.
Haedar Nashir menyampaikan bahwa bangsa Indonesia merupakan anugrah Tuhan yang sangat berharga dan harus kita syukuri. “Saya sebagaimana juga teman-teman telah berkeliling Indonesia. Rasanya negeri ini nyaman untuk kita tempati, untuk ruang hidup kita,” ungkapnya. Multatuli sampai menyebutnya sebagai zamrud di khatulistiwa. “Kita tidak kekurangan apapun. Semua tumbuh subur di bumi Indonesia.”
Bangsa Indonesia, kata Haedar, hidup dalam keragaman yang luar biasa, tapi bisa bersatu menjadi sebuah negara bangsa. “Kita menjadi bangsa dalam perjalanan yang sangat panjang penuh liku, tapi tetap utuh sebagai bangsa.” Dalam keragaman agama, masyarakatnya hidup dalam suasana toleran. Negara yang majemuk ini terus berproses membentuk Bhinneka Tunggal Ika.
“Muhammadiyah ikut serta membangun pilar pluralisme tidak hanya dengan kata-kata atau retorika, namun lewat tindakan nyata. Kita hadir di Papua, di NTT,” ujar Haedar. Di wilayah yang muslimnya minoritas, Muhammadiyah hadir memberi bakti bagi masyarakat yang tidak seagama. Warga yang berbeda pun bisa menerima kehadiran Muhammadiyah. Institusi pendidikan Muhammadiyah di Indonesia Timur justru banyak diminati non-Muslim.
Di tengah keragaman itu, bangsa Indonesia telah mencapai konsensus yang diterima oleh semua. “Kita bersyukur karena diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bernegara. Nilai-nilai di setiap silanya begitu kaya. Bung Karno memperkenalkannya ke dunia. Pancasila menjadi nilai ideologis yang mengikat kita semua,” ulasnya.
Muhammadiyah menyebut Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah. Dalam pandangan Muhammadiyah, Indonesia tidak cukup hanya digembar-gemborkan sebagai negara kesatuan dengan ungkapan ultra-nasionalis yang heroik. Namun cinta pada Indonesia harus diwujudkan dalam perjuangan nyata membawa bangsa ini menjadi negara yang maju dan sesuai cita-cita pendahulu.
Para pendiri bangsa telah menggariskan arah cita-cita Indonesia merdeka yang ingin dituju. “Indonesia itu ada nyawanya, kata Soepomo. NKRI bukan sebagai sekadar kulit luar, tetapi ada jiwanya. Bangsa Indonesia, kata Bung Karno, punya jiwa, pikiran, dan cita-cita. Itulah bangunan keindonesiaan.”
Sebagai negara hasil konsensus, kata Haedar, semua komponen bangsa harus menaati perjanjian itu dan berkomitmen untuk tidak mengingkarinya. “Nabi dulu pernah berjanji dengan kaum Quraisy di Hudaibiyah, Nabi tepati janji itu, meskipun dengan orang kafir,” ungkap Haedar.
Bangsa Indonesia punya berbagai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk tinggal landas menjadi negara maju. “Potensi positif ini harus bisa kita kapitalisasi untuk kemajuan. Era modern abad 21, era digital, sebagai lompatan besar abad ini bisa menjadi kekuatan kita. Tinggal bagaimana kita mengkapitalisasinya.”
Di saat yang sama, Indonesia harus mampu menghadapi tantangan besar yang menderanya secara adil, bijak, dan cerdas. “Penjajahan fisik sudah selesai. Tapi penjajahan lain dalam bidang politik, ekonomi, harus juga kita sadari. Termasuk politisasi identitas: suku, agama, dan politik,” ulas Guru Besar Sosiologi ini.
“Kita perlu melakukan rekonstruksi terhadap hal-hal yang menyangkut aspek kebangsaan kita. Harus ada meaning, nilai, yang bermuara pada Pancasila.” Terkait dengan apa yang harus dilakukan Indonesia ke depan, Haedar mengajukan beberapa tawaran. Pertama, agama harus menjadi kekuatan nilai yang hidup. Nilai luhur agama sebagai perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai positif umat beragama jauh lebih besar dibanding hal-hal negatifnya.
Kedua, Pancasila harus menjadi landasan filosofi dan alam pikir bangsa. “Apakah nilai-nilai Pancasila sudah menjiwai setiap kebijakan negara di bidang ekonomi, politik? Kebijakan ekonomi dan politik apakah sudah dijiwai oleh sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Haedar juga mengingatkan supaya Pancasila jangan menjadi alat pukul bagi yang berbeda pandangan.
Ketiga, Indonesia harus melakukan rekonstruksi yang bermakna di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Segenap kita dan para elite perlu bertanya, “Kebudayaan luhur bangsa apakah masih hidup?” Rekonstruksi ini dalam upaya membawa bangsa tetap tegak di atas nilai dasar bangsa dan sekaligus mampu melakukan transformasi menuju negara yang maju. “Mengkonstruksi itu perlu ada dialog terus-menerus, perlu ada catatan kritis,” ujar Haedar.
“Memajukan Indonesia menjadi komitmen kolektif kita. Kemajuannya harus seimbang: bangun fisik, bangun jiwa, bangun karakter. Kata Bung Karno, kami memilih sila keempat karena sadar kita tidak memilih demokrasi Barat sepenuhnya,” ungkapnya. Bung Hatta bilang, ketika kami menyusun Pasal 33 UUD 1945, yang terbayang adalah ekonomi kerakyatan, ada peran negara, tidak sepenuhnya dimainkan oleh pasar kapital.
Radikalisme dan Terorisme
Terkait dengan isu radikalisme dan terorisme, Haedar Nashir memberi catatan kritis sebagaimana pernah diulasnya dalam pidato pengukuhan guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 12 Desember 2019 lalu. Haedar menyebut bahwa istilah radikalisme layaknya istilah terorisme belakangan ini menjadi sangat terpolitisasi di ruang publik.
“Ketika mengatakan awas radikal, jangan-jangan dia terpapar radikal dalam wujud yang lain,” kata Haedar. Dirinya menyarankan semua pihak untuk lebih seksama dalam mengkonstruksi isu radikalisme. Masyarakat pada umumnya mengalami kekecewaan pada kebijakan negara. “Sumber masalah terorisme di seluruh dunia kompleks.”
Oleh karena itu, radikalisme harus dilihat secara mendalam dan menyeluruh agar tidak terjebak pada kedangkalan cara pandang dan langkah yang diambil dalam mengatasinya. Suatu masalah tidaklah sederhana dan terlepas dari ruang sosiologis yang mengitarinya. Sumber masalah juga perlu digali dari aktor yang ditangkap dan dibawa ke ranah hukum.
Di saat yang sama, Haedar menyebut perlunya pemetaan. “Perlu ada blocking-area. Jangan ada generalisasi, nanti gaduh, pendekatannya ibarat melempar nyamuk di kaca. Ada nyamuk di kaca, kita lempar, kacanya pecah, nyamuknya lepas.” Bloking area perlu dilakukan agar tidak memperlebar area radikalisme, yang sebenarnya berada di zona moderat yang aman dan damai.
“Kita setuju, radikalisme yang mengarah pada ekstremisme dan kekerasan atas nama apapun (agama, sosial, politik, budaya) adalah musuh bersama. Tapi jangan terjebak di sini. Habis energi positif kita untuk membangun bangsa.” Dalam menyikapi isu radikalisme, ungkap Haedar, perlu ada langkah moderasi. “Pancasila itu ideologi moderat. Arus besar masyarakat kita juga tengahan.”
Amandemen UUD 1945 dan GBHN
Muhammadiyah setuju jika amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Garis Besar Halauan Negara (GBHN), dengan pengkajian yang mendalam dan tidak tergesa-gesa. “Muhammadiyah sebagai bagian yang ikut menjaga reformasi, tidak keberatan dengan adanya amandemen, tetapi amandemen yang sangat terbatas terkait haluan negara.” GBHN berguna sebagai pedoman pembangunan yang beriorientasi kepentingan bangsa jangka panjang.
“Di pembukaan UUD 1945 terdapat prinsip mendasar mengenai tujuan nasional dan kewajiban pemerintahan. Nilai-nilai mendasar ini tidak bisa dibiarkan tanpa GBHN. Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus punya pedoman, yaitu GBHN untuk meluruskan visi misinya,” ulas Haedar Nashir. Visi misi capres cawaspres harus berlandaskan pada GBHN, bukan RPJP. RPJP dilakukan setiap pemerintah yang memperoleh mandat.
Muhammadiyah mengusulkan supaya pemilihan presiden dan wakil presiden tetap dipilih oleh rakyat. “Meskipun dipilih oleh 99% suara, kekuasaannya presiden dan wakil presiden tidak boleh tak terbatas, tidak boleh sewenang-wenang. Harus berpijak pada kepentingan bangsa dan garis besar haluan bersama.” Indonesia harus mempertahankan fungsi dan prinsip check and balances dalam pemerintahan.
Pelanggaran HAM Uighur
Haedar Nashir menegaskan bahwa PP Muhammadiyah mengecam segala bentuk pelanggaran HAM di mana pun berada. Kami yang mulanya meminta Dubes Tiongkok di Indonesia untuk membuka akses ke wilayah Xinjiang. Muhammadiyah mendesak Pemerintah Tiongkok agar menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM, khususnya kepada masyarakat Uyghur atas dalih apapun. Pemerintah Tiongkok hendaknya menyelesaikan masalah Uyghur dengan damai melalui dialog dengan tokoh-tokoh Uyghur dan memberikan kebebasan kepada Muslim untuk melaksanakan ibadah dan memelihara identitas.
Muhammadiyah mendesak PBB untuk mengeluarkan resolusi terkait pelanggaran HAM atas Masyarakat Uyghur, Rohingnya, Palestina, Suriah, Yaman, India, dan sebagainya. “Kalau Amerika Serikat menganggap kasus ini pelanggaran HAM, bawa kasus ini ke PBB. Amerika harus berani juga bawa Israel ke PBB. Agar fair. Berlaku untuk semua. PBB harus adil.”
Terkait dengan posisi Indonesia, Haedar menyebut bahwa negara harus hadir secara bilateral dan dalam konteks global. Pemerintah Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan peran sebagai anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk menggalang diplomasi bagi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya. “Kita kan menganut politik bebas aktif. Seharusnya tidak ada kesulitan,” tukasnya.
Dewan Pengawas KPK
Sesuai dengan UU KPK yang baru, Presiden Joko Widodo telah melantik lima pimpinan beserta lima Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi. “Saya menaruh kepercayaan kepada dewan pengawas KPK. Insyaallah mereka dapat menjalankan tugasnya. Di luar itu, perlu ada kontrol publik.”
Haedar Nashir mengharapkan publik memberi kesempatan kepada pimpinan baru. “Masih banyak orang baik di republik ini. Beri kepercayaan dan juga kontrol. Tidak ada bangsa yang tanpa masalah. Tapi bangsa yang besar, mampu menyelesaikan masalahnya,” tukasnya. Peran pengawasan juga perlu dijalankan oleh awak media sebagai penyeimbang demokrasi. (ribas)