YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dalam pengantar acara diskusi dengan tema “Indonesia dalam Pusaran Bencana Ekologi dan Deklarasi Kader Hijau Muhammadiyah Komite DIY,” Busyro Muqoddas Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpesan “Bagi generasi muda yang memiliki fokus terhadap isu-isu yang sedang dibahas harus memperhitungkan perlawanan yang akan terjadi. Pengetahuan tentang hulu dan hilir dari sebuah permasalahan merupakan hal penting untuk melakukan perlawanan.”
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut menyampaikan bahwa ia mengaku bersyukur karena dalam perjalanan karirnya terus dihadapkan dengan perlawanan dan ancaman. berhadapan dengan intel dan dikejar-kejar militer yang menurutnya merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Data dari KPM tahun 2018 menyebutkan bahwa. Pertama, 25% tanah yang digunakan untuk bisnis kelapa sawit oleh pihak swasta (BUMS) adalah seluas Pulau Jawa dan tidak dilaporkan kepada negara. Kedua, kasus lumpur lapindo yang merupakan kebijakan bisnis yang menyebabkan masalah lingkungan di Jawa Timur, tidak hanya lingkungan fisik tapi juga menyangkut lingkungan yang bersifat kemanusian. Ketiga, mengenai meikarta yang menargetkan tanah seluas 644 hektar di Bekasi. Hal tersebut terungkap karena sistem oligarki bisnis yang masuk kepada sistem oligargi politik. Sehingga kedua oligargi tersebut mempengaruhi demokrasi dan birokrasi di Tanah Air.
Lanjutnya, ketika demokrasi dikuasai oleh oligarki bisnis kemudian mempengaruhi oligarki politik maka lahirlah korporetokrasi yang bisa kita sebut taipan. Sehingga tidak ada studi kelayakan yang akuntabel terhadap proyek-proyek di Indonesia. Proyek besar yang akan dilakukan adalah pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Terjadi banyak kepentingan bisnis dengan cara suap, korupsi dan lain sebagainya.
Di tahun 2014 dilakukan penelitian tentang sejauh mana soliditas masyarakat sipil terhadap kebijakan. Masalah lingkungan yang terjadi sekarang disebabkan oleh oligarki bisnis, oligarki politik dan oligarki media. “Sejauh ini pemerintah dan pembisnis memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebijakan. Sedangkan masyarakat sipil tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengontrolnya. Satu-satunya lembaga negara yang bisa menjaga lingkungan adalah KPK, namun ditangan Jokowi KPK melemah,” tutupnya. (Iko)