Oleh: Muhammad Akmal Ahsan
“Saya ingat sikap Gie: ’Saya tidak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menantang angin’. Generasi belakangan memang menampakkan wajah yang beda; mereka generasi tanpa tuntutan, tanpa kritik, tak teguh prinsip, lemah nalar, mudah baperan, disenggol sedikit tidak membacok malah membelok. Generasi tanpa perbendaharaan kata kecuali ucapan ‘santuy’ ‘anjay’ ‘gaes’. Mereka bukan generasi panutan kecuali generasi manutan. Saya tidak melihat mereka sebagai bebek, namun semoga mereka benar-benar manusia. Mereka, yang mendaku cendekiawan tapi tak paham jalan pikiran, mengaku pembaharu tapi sekejab mata dimakan isu. Sungguh Kuntowijoyo menginterupsi ‘cendekiawan (muslim) harus mampu dan berani melakukan kritik terhadap perjalanan sejarahnya sendiri dan hanya dengan kemampuan dan keberanian itulah mereka berhak disebut sebagai cendekiawan (muslim)’. Kita memang perlu membangun optimisme besar, tapi arus kian kuat, sementara membaca tulisan pendek di WA saja tak sanggup”.
Realitas dunia terus bergerak maju seiring sejalan dengan perkembangan teknologi dari satu masa ke masa yang lain. Proses yang dinamis demikian telah meruntuhkan sekat pembatas interaksi antar individu/kelompok. Lebih jauh dari itu, realitas dunia yang tampak telah berpengaruh kepada tata sosial kehidupan, pandangan, komunikasi dan bahkan perspektif masyararakat tentang politik. Siapa sangka, kita telah terbawa keadaan hingga memasuki millenium abad 21. Suatu tata hidup yang benar-benar berubah dan jauh dari tata sosial ratusan tahun yang lalu. Bagi makhluk yang tak berkesadaran, gejala gerak jaman ini disangka sebagai konsekuensi alamiah yang mekanistik, namun golongan kritis memandang gerak jaman ini sebagi sesuatu yang dibentuk secara sengaja dan sarat akan kepentingan. Namun betapapun pertentangan kuat, perihal yang tidak dapat kita tolak ialah bawa era baru telah hadir. Generasi yang nyaris tak terdidik dari nasihat orang tua, mereka ialah generasi Z.
Siapa Generasi Z?
Sejak munculnya teori generasi, kita diperkenalkan oleh generasi X, Y dan Z. Setelah perang dunia kedua ada lima generasi yang lahir, yaitu Baby Boomers (lahir tahun 1946-1964), generasi X (lahir tahun 1965- 1980), generasi Y (lahir tahun 1981-1994), generasi Z (lahir tahun 1995-2010) dan generasi Alpha (lahir tahun 2011-2025)[1]. Beberapa pendapat mengenai klasifikasi generasi telah digambarkan dalam tabel berikut:
Mannheim (1952) mencoba membuat rumusan generasi sebagai konstruksi sosial dimana didalamnya ada sekelompok orang yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama[2]. Tidak sebagaimana pemahaman umum orang Indonesia saat ini yang seringkali mengklasifikasikan generasi dalam pandangan umur, sesungguhnya teori tentang generasi ini memiliki cara pandang yang luas dalam mengklasifikasikan generasi.
Ryder (1965) membangun konsep generasi sebagai agregat dari sekelompok individu yang mengalami peristiwa – peristiwa yang sama dalam kurun waktu yang sama pula[3]. Hal demikian menunjukkan ada konteks historis yang menjadi pertimbangan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan konsep generasi.
Jamak dibicarakan frasa millenial, ia sering menjadi discourse di televisi, seminar, berita, media online dan forum-forum lainnya. Mereka (millenial) adalah sebutan lain dari generasi Y. Lyons menyebutkan generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instant messaging dan media sosial seperti facebook dan twitter, yang tumbuh pada era internet booming[4]. Generasi millenial adalah golongan usia yang secara sosial mengalami transisi dari masyarakat yang belum merasakan kecanggihan teknologi internet kepada masa yang serba internet. Dapat diduga, kejiwaan sosial yang terbentuk di dalam diri generasi millenial adalah decak kagum yang selalu menggelar dihadapannya oleh penemuan-penemuan dan kehadiran aplikasi internet yang baru.
Generasi millenial, dengan segala modal yang dimilikinya akan mengalami kedewasaan dalam memandang gerak perkembangan, merekalah yang akan menyambut kebaruan dan sekaligus pula mengantarkan millenium baru kepada generasi selanjutnya di abad ini. Generasi ini tidak seagaimana orang cerca sebagai kaum hedonis dan pemalas, mereka adalah golongan yang dalam tingkat global tela berhasil memberikan pengaruhnya di sektor pendidikan, pajak dan ketenaga kerjaan, poltiik, dan juga implikasi kehadirannya di tingkat global.
Dalam gelombang transisi sosial, generasi millenial ditantang untuk tetap terus mempertahankan eksistensinya. Beberapa ciri generasi milenial ditunjukan dari pendidikan yang baik, aksesibilitas terhadap teknologi informasi yang cepat, penggunaan media social yang mendorong keterbukaan, berani menaklukan tantangan, ekspresif dan lantang menyuarakan kebenaran[5]. Semakin banyaknya penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menambah rasa percaya diri millenial untuk turut terlibat dalam perbincangan masyarakat.
Abad ini tidak saja diisi dengan gemilang masa depan millenial, generasi baru telah lahir, mereka nyaris tanpa asuhan Ibu dan Guru, adalah generasi Z, generasi pasca millenial. Generasi Z adalah orang yang lahir ketika teknologi telah menguasai dunia, oleh karena itu generasi ini dikenal sebagai the silent generation, generasi senyap dan generasi internet. Generasi Z, disebut juga iGeneration atau generasi internet[6]. Sebenarnya tidak terlalu banyak perbedaan dasar antara millenial dan generasi Z, hanya saja millenial cenderung lebih ‘reaktif’ dengan gelombang percepatan dan kehadiran Iptek.generasi yang kurang lebih lahir pada kisaran tahun 1995-2010 cenderung merupakan kelompok generasi yang inovatif, up to date dan serta memiliki keberanian serta daya juang meski disisi lain memiliki kelemahan pada sisi komitmen, sering berpikiran pendek, praktis-pragmatis dan tidak ribet.
Dibandingkan dengan generasi millenial, generasi Z lebih memiliki pandangan yang luas meski tidak mendalam, generasi Z dikenal lebih tidak memiliki fokus jika dibandingakan dengan millenial. Gen-Z lebih terbuka, adaptif dengan dunia kerja, memiliki hasrat ingin menjadi wirausahawan dan juga telah terintegrasi dengan teknologi. Ditinjau dari ekonomi, menurit surbei dari Nelsen, generasi Z ini telah mempengaruh perputaran ekonomi dunia sebagai 62 persen konsumen pembeli produk elektronik. Dengannya, generasi Z telah mampu mempengaruhi situasi ekonomi dan bukan hanya itu, telah banyak pula yang menjadikan elektronik sebagai jalan berwirausaha.
Tantangan Nilai IMM
Hingga tahun tulisan ini dicatat, generasi Z muda berada pada kisaran usia 22-23 tahun. Mereka telah mengisi pos kepemipinan IMM di tingkat Daerah dan Cabang. Sementara yang lain mengisi pos kepemimpinan di komisariat. Generasi yang berada di tingkat pusat cenderung berada pada klasifikasi generasi millenial. Sementara, alpha generation (generasi alpha) paling tidak akan memasuki wilayah kampus pada kisaran tahun 2028-2029, artinya 9-10 tahun ke depan IMM akan memulai kaderisasi baru dengan menyambut generasi alfa.
Sesungguhnya laju gerak perkembangan zaman sebagaimana telah kita saksikan tidak saja mesti dirayakan IMM sebagai peningkatan level peradaban, disisi lain rentetan perkembangan generasi dan seluruh konsekuensi sosial yang ada merupakan kekuatan, kelemahan, hambatan dan bisa juga merupakan peluang bagi eksistensi nilai IMM. Nilai Dasar Ikatan sendiri termaktub dalam Sistem Perkaderan Ikatan[1] (SPI) IMM.
- IMM adalah gerakan mahasiswa yang bergerak tiga bidang keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan
- Segala bentuk gerakan IMM tetap berlandaskan pada agama Islam yang hanif dan berkarakter rahmat bagi sekalian alam
- Segala bentuk ketidak adilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran adalah lawan besar gerakan IMM perlawanan terhadapnya adalah kewajiban setiap kader IMM
- Sebagai gerakan mahasiswa yang berdasarkan Islam dan berangkat individu-individu mukmin, maka kesadaran melakukan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan sekaligus mempunyai tanggungjawab untuk mendakwahkan kebenaran di tengah masyarakat
- Kader IMM merupakan inti masyarakat utama, yang selalu menyebarkan cita-cita kemerdekaan, kemulian dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan semangat pembebasan dan pencerahan yang dilakukan Nabiyullah Muhammad Saw.
Sementara, problematika perkaderan adalah ketidakmampuan untuk menafsirkan nilai-nilai agung dalam dataran realitas. Ini adalah kendala serius. Kaderisasi bisa jadi berjalan tanpa subtansi nilai sebagai kepentingan dasar dari keberadaan IMM. Masalah masyarakat kian runyam; kapitalisme-liberal global, sekularisasi, radikalisasi dan beberapa persoalan potensial di masa datang. Bila tak segera merubah kulitnya, IMM tidak saja sia-sia dalam melakukan kaderisasi, bisa mungkin ia justru menjadi beban zaman sebab kemandulannya dalam menginternalisasikan nilai.
Mau tidak mau, IMM memerlukan solusi tepat untuk tetap mencerahkan peradaban tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya. Di hari-hari mendatang, setidaknya IMM memiliki dua tantangan besar: pertama, mempertahankan orisinalitas gagasan dan pijakan filosofis keberadannya. Jalan terang yang dapat dilalui ialah dengan tetap membaca, mempelajari, memahami, menguraikan dan bahkan mengkritisi gagasan IMM. Hanya dengan demikian, masih dimungkinkan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai dasar dari IMM.
Kedua, tantangan zaman menuntut IMM untuk melahirkan inspirasi alternatif bagi realitas problematika masyarakat. Ditengah gempuran zaman ini, IMM sangat membutuhkan sintetesis-reflektif dimana zaman dipandang sebagai sebuah ‘ciptaan’ dan karenanya memungkinkan untuk ‘menciptakan’ pula zaman dan peradaban yang baru. Bila perubahan sosial ini hanya disaksikan sebagai sebuah kejadian alamiah, sangat tidak memungkinkan untuk menanamkan nilai dan meraih tujuan IMM dan Muhammadiyah.
Dengannya, penggunaan bahasa internasional sebagai bahasa penyambung lalu lintas antar negara sangat diperlukan. IMM mesti turut terlibat dalam dialektika keilmuan global dan tidak mengkerangkeng dirinya dalam isu dan wacana global. Bukan hanya itu, penguasaan teknologi informasi adalah prasyarat untuk menyapa zaman. Dalam arus keilmuan dan wacana, IMM mesti akrab dengan revolusi industri, big data, artificial intelegence, society 5.0 dan wacana sosial lainnya. Demikian pula dengan upaya merekonstruksi dan membangun inovasi perkaderan. Dan dalam daripada itu, IMM mesti tampil sebagai intelektual Islam yang fresh, memahami tradisi filosofis Islam di masa lampau dan mampu untuk mengadakan rekonstruki pemikiran Islam di masa mendatang. Dalam ranah gerakan sosial, IMM mesti menyadur nilai intrinsik dalam dirinya dengan wacana gerakan sosial baru.
Gerakan Sosial Virtual dan GSB
Gerakan sosial apapun bentuk dan latar belakangnya lahir pada orientasi jelas yakni untuk mengadakan perubahan. Sejak manusia memahami peran kolektifitas, gerakan sosial telah menjadi kereta perkembangan perubahan sosial masyarakat. Perlu diketahui beberapa penjelasan tentang tipe dan bentuk gerakan sosial dijelaskan oleh para ahli. Aberle misalnya menjelaskan tipologi gerakan sosial yakni: alternative movement yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu, Redemtive Movement yang menekankan pada perubahan menyeluruh pada perilaku perseorangan. Reformative Movement yang menginginkan perubahan masyarakat hanya pada ruang lingkup ataus egi tertentu dalam masyarakat. Transvormative Movement yang menginginkan perubahan masyarakat[2] (Rizal, 2007, hal. 16).
Tipologi lain disebutkan oleh Kornblum yang memberikan tipologi gerakan sosial, yakni pertama revolutionary Movement, gerakan ini bertujuan untuk mengubah institusi serta stratifikasi masyarakat. Revolusi sosial dalam hal ini diartikan sebagai transformasi menyeluruh tatanan sosial, termasuk didalamnya adalah isntitusi pemerintahan dan serta sistem stratifikasi. Revolusi pada 1917 daan tiongkok pada tahun 1149 dalam hal ini adalah contoh revolutionary movement. Kedua, Reformist movement yang bertujuan untuk merubah sebagian institusi dan nilai, contohya ialah gerakan reformis dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan Sarekat Islam pada tahun 1912. Ketiga, concervative movement yang ingin mempertahankan nilai nilai dan institusi masyarakat, contohnya ialah pertentangan kaum feminis dan anti feminis pada kisaran tahun 1980. Keempat,reactionary movement yang menghendaki untuk kembali kepada institusi dan nila yang ada di masa lampa serta meninggalkan nilai dan institusi di masa sekarang. Gerakan Apartheid di Afrika Selatan dan Gerakan Pauline Hanson di Australia adalah contoh produk gerakan ini[3].
Belakangan ini Gerakan Sosial Baru (GSB) mulai diperbincangkan oleh gerakan Mahasiswa, termasuk IMM. Di dalamnya, tentu menekankan pentingnya 1) unsur jaringan yang kuat tetapi interaksinya bersifat informal atau tidak terstruktur, (2) adanya sharing keyakinan dan solidaritas di antara mereka, (3) ada aksi bersama dengan membawa isu yang bersifat konfliktual, dan, (4) aksi tuntutan itu bersifat kontinyu tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti dikenal dalam organisasi[4].
Seiring dengan hal tersebut, beberapa kalangan telah dapat menyambut dengan baik ciri dari gerakan sosial modern dengan alternatif gerakan sosial yang inovatif. Sementara ruang publik kian diisi dengan ruang imajiner yang bersifat maya sejalan dengan proses demokratisasi global, termasuk Indonesia. Inilah dia ruang publik baru yang disebut sebagai ruang publik virtual yang cirinya sebagaimana disebut Lim ialah : (1) identitas aktor-aktor sosial tersembunyi di balik tanda, (2) isu-isu politik tersebar dengan cepat dan menjangkau penerima yang amat luas tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan, (3) masyarakat kemudiaan diarahkan untuk mengembangkan hidupnya melalui jejaring (the network society). Berdasarkan ciri seperti ini, peran ruang publik virtual kemudiaan dikaitkan dengan berkembangnya demokrasi seperti yang sedang terjadi di Indonesia[5].
Keberadaan ruang publik virtual yang imajiner dan maya ini dirayakan bagi sebagian orang meski golongan yang lain merasa pesimis, ada juga yang skeptis. Namun diluar dari ragam perbedaan pendapat dan sikap, beberapa gerakan sosial berbasis virtual nyata memberikan dampak bagi perubahan dan respon sosial atas satu isu dan kasus. Hashtag Gejayan memaggil dan #UMYBERGERAK dapat dijadikan satu contoh baru dari keberhasilan gerakan virtual untuk memproduksi gerakan. Nampak hal ini berkeseuaian dengan identitas generasi Z yang hidup dalam dunia internet, lebih luas lagi , gerakan ini mampu menarik perhatian masyarakat umum.
Generasi Z (termasuk siswa STM) dalam rentetan aksi Mahasiswa pada akhir 2019 adalah buah baru dari ciri gerakan virtual dan gerakan sosial baru. Kini, gerakan kolektif tidak hanya memfokuskan dirinya dalam arus simbolik dan identitas, generasi Z betapapun dalam banyak hal individualis tetap memiliki kepedulian kepada isu yang bersangkut-paut dengan kepentingan publik. Maka dalam hal ini #GejayanMemanggil dan #UMYbergerak ialah manfiestasi dari gerakan sosial baru yang menekankan perhatian kepada life politics dan bukan emancipatory politics. Karenanya, ia lebih terbuka dan tidak memberi garis batas pada kelas sosial, etnisitas, politik maupun agama.
Realitas dan gejala perkembangan gerakan Mahasiswa ini mestinya disambut baik oleh IMM. GSB. IMM tidak saja dituntut untuk membangun inspirasi gerakan virtual di media sosial, dalam kepentingan internalisasi nilai serta upaya terhindar dari hoax, IMM harus mampu membaca dan mengkritik konten sebelum menyebar informasi di media sosial. Dalam kaitannya dengan hal ini, literasi digital adalah kewajiban intelektual untuk tidak menghianati intelektualisme dengan menebar berita palsu.
Perlunya mengadakan gerakan literasi digital ini mengingat tatanan masyarakat yang kerap kurang kritis dalam mengolah informasi. Dengan upaya gerakan lierasi digital, kepentingan intelektual IMM adalah menciptakan tatanan masyarakat yang memiliki pola pikir kritis, tidak mudah termakan isu provokatif dan atau bahkan menjadi korban penipuan berbasis digital.
Mengkritisi Zaman, Menjadi Pohon Oak
Telah dituliskan pada awal tulisan ini dua pernyataan monumental dari Soe Hok Gie dan Kuntowijoyo. Sesungguhnya kedua kutipan yang telah dituliskan penulis diatas beranjak dari keresahan dan permenungan atas “gagap nalar” yang menimpa intelektual muda bernama Mahasiswa. Kita memang sedang berada dalam semarak zaman dengan segala hingar-bingar Iptek yang tak dapat dielakkan keberadannya. Namun intelektual dan khususnya kader IMM dituntut tidak saja untuk membaca keadaan namun juga untuk memiliki kemampuan ‘menginterupsi’ zaman, mengkritik dan sekaligus memberi solusi inspiratif dan alternatif.
Ditengah-tengah zaman yang melahirkan banyak problematika ini, sebagaimana kata Kuntowijoyo beban kecendekiawanan muslim kita harus mampu dan berani untuk melakukan kritik terhadap perjalanan sejarah, itulah esensi dari keberadaan masyarakat terdirik muslim. Hanya dengen demikian, zaman menggelar tidak saja dilihat sebagai gejala alamiah, namun memungkinkan untuk diadakan penyegaran perubahan sosial.
Dan dalam dari itu, beban kaderisasi sangat berat; ialah upaya untuk menjadi pohon oak, berani menantang angin yang menurut tafsiran penulis adalah upaya untuk mempertahankan nilai-nilai dasar ditengah gempuran persoalan global sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman. Inilah yang disebut sebagai idealisme. Kader IMM harus menyapa zaman dengan tenang, tidak reaktif dan cenderung anti terhadap perkembangan zaman, sebaliknya IMM perlu terintegasi dengan zaman, dan dengannya merasuk dan memberikan jalan alternatif atas beragam persoalan sosial.
Rentetan kaderisasi yang akan tetap terus bergulir mesti benar-benar mampu memberikan fundamen yang kuat, kaderisasi harus memfasilitasi kader untuk menemukan hakikat eksistensialnya ditengah dilema dan paradoks eksistensial zaman industrialisasi. Sesungguhnya ini adalah tantangan berat, sementara kaderisasi yang buruk akan melahirkan ‘pengkader’ yang buruk pula dan dengannya akan dilahirkan kualitas kader dan manusia tidak sebagaimana diharapkan oleh sistem nilai yang dianut oleh ikatan. 9 hingga 10 tahun kedepan, manusia dan masyarakat akan timbul sebagai iGeneration. Dengan kehidupan berbasis internet, tantangan kaderisasi tidak saja merupakan tantangan ‘bertahan’, namun juga menyatu dengan zaman dan dengannya maka diharapkan timbul sintesis-reflektif dan sintetesis-kreatif demi menciptakan upaya kaderisasi yang inovatif tanpa mereduksi nilai.
Daftar Pustaka
Dewi, K. S., & Siahainenia, R. R. (2015). Gerakan Sosial Baru Di Ruang Publik Pada Kasus Satinah. Jurnal Ilmu Komunikasi.
IMM, D. (2011). Sistem Perkaderan Ikatan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta Pusat: Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Indra, K. (2018). Wawasan Kebangsaan Generasi Gen-Z. Majalah Ilmiah FISIP UNTAG .
Mannheim, K. (1952). The Problem Of Generations. Essays on the Sociology of Knowledge.
Putra, Y. (2016). Theoritical Review. Teori Perbedaan Generasi.
Rizal, A. H. (2007). Gerakan Sosial Sebagai Agen Perubahan Sosial. Forum Ilmiah Indonusa.
Ryder, N. B. (1965). The Cohort as a Concept in the Study of Social Change.
Taspcott, D. (2008). Grown Up Difital: How the Net Generation is Changing Wour World.
Profil Penulis
Muh. Akmal Ahsan adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Jurusan Pendidikan Agama Islam. Sebelumnya, ia menamatkan gelar pendidikan S1-nya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selain aktif sebagai Mahasiswa, ia juga aktif dalam organisasi perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Riset Dan Pengembangan Keilmuan PK IMM FAI UMY dan lalu melanjutkan perkaderan formal dan menerima tugas untuk menjadi Kabid RPK PC IMM AR. Fakhrudin Kota Yogyakarta. Kini, ia sedang dalam proses perampungan buku Sinau Tokoh Pendidikan Islam, sebelumnya ia adalah contributor di media massa dan media online juga editor buku.
Catatan Kaki
[1] IMM, D. (2011). Sistem Perkaderan Ikatan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta Pusat: Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, hal. XI-XII
[2] Rizal, A. H. (2007). Gerakan Sosial Sebagai Agen Perubahan Sosial. Forum Ilmiah Indonusa, hal. 16.
[3] Ibid, 16-17
[4] Dewi, K. S., & Siahainenia, R. R. (2015). Gerakan Sosial Baru Di Ruang Publik Pada Kasus Satinah. Jurnal Ilmu Komunikasi, hal. 110.
[5] Ibid, 106
[1] Taspcott, D. (2008). Grown Up Difital: How the Net Generation is Changing Wour World.
[2] Mannheim, K. (1952). The Problem of Generations. Essays on the Sociology of Knowledge,hal. 291.
[3] Ryder, N. B. (1965). The Cohort as a Concept in the Study of Social Change. American Sociological Review, 30(6), 843– 861. https://doi.org/10.2307/2090964
[4] Indra, K. (2018). Wawasan Kebangsaan Generasi Gen-Z. Majalah Ilmiah FISIP UNTAG, hal. 35.
[5] Ibid, hal. 37
[6] Putra, Y. (2016). Theoritical Review. Teori Perbedaan Generasi.