Oleh: Mitsuo Nakamura
Pendahuluan
Tulisan ini disadur dari pidato saya dalam sebuah pertemuan yang digelar pada 1975 atas prakarsa Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, dan the Australia-Indonesia Association dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-30. Dalam kesempatan itu, selain saya ada pula dua pembicara lain, yaitu Ben Anderson dan Mohammad Slamet, dan versi tulisan dari pidato kami diterbitkan oleh Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, dengan tajuk Religion and Social Ethos in Indonesia pada 1977. Dalam pembuka acara tersebut, Dr. Jamie Mackie (Direktur Centre of Southeast Asian Studies, Monash University sekaligus penyunting buku tersebut di atas) menyebut pidato saya sebagai “a rare glimps into the life of an Islamic leader” (tinjauan sekilas yang langka perihal kehidupan seorang tokoh Islam). Komentarnya itu sekaligus menunjukkan bahwa Prof. Abdul Kahar Muzakkir merupakan tokoh yang agak “tak terlihat,” bahkan di kalangan peneliti kajian Indonesia kala itu. Harapannya, gelar pahlawan nasional yang baru-baru ini disematkan oleh pemerintah Republik Indonesia kepada Prof. Abdul Kahar Muzakkir dapat memantik penelitian akademik yang lebih serius tentang salah satu bapak bangsa itu, yakni penelitian yang bersendi pada sumber-sumber primer—sumber-sumber yang tidak dapat saya gunakan dalam menyusun makalah ini.
***
Ada dua tujuan yang bertengger di benak saya tatkala menuangkan kenangan tentang kehidupan Prof. H. Abdul Kahar Muzakkir.[1] Pertama, kisah hidupnya benar-benar mencerminkan kemajuan dan kemunduran yang dirasakan oleh gerakan Islam reformis di Indonesia sejak awal abad XX. Di samping itu, pernah pula dua kali—sebagaimana akan kita saksikan sebentar lagi—dia memainkan peran menonjol dalam beberapa peristiwa amat penting dalam masa yang paling menggemparkan dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam bulan-bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kedua, ada banyak lagi alasan pribadi yang mendorong saya untuk berbagi kisah tentang sejarah Islam di Indonesia melalui kisah hidup dan kepribadiannya. Harapan saya, dengan menceritakan tentang hal-hal yang saya pelajari darinya selama delapan belas bulan saya hidup di Kotagede (van Mook, “Kuta Gede,” dalam Wertheim The Indonesian Town: Studies in Urban Sociology, 1958:275–331)—kota kecil di dekat Yogyakarta tempat dia dilahirkan dan dibesarkan—setidaknya saya dapat membalas kebaikannya, yang dulu pernah membantu saya saat meneliti gerakan Islam reformis di Kotagede (Nakamura, “The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of Muhammadijah Movement in a Central Javanese Town,” 1976). Saya begitu berduka mendengar kematiannya yang mendadak akibat serangan jantung di usia 65 tahun pada 2 Desember 1973, sebelum saya sempat membalas kebaikan yang telah ia berikan. Jadi, melalui kenangan ini saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya kepadanya.
***
Abdul Kahar Muzakkir lahir pada 1908 di Kotagede. Ayahnya adalah Kiai Haji Muzakkir, seorang guru agama yang juga aktif mengurusi hajat Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Kakek buyutnya, Kiai Hasan Busyari merupakan syekh Tarekat Syattariyah (baca Berg, “Over de devotie der Naqsjibendijah in den Indischen Archipel,” 1883:158–175; Kartodirdjo, 1966:157–165) setempat yang hidup di awal abad XIX dan pernah pula ikut berjuang dalam Perang Diponegoro (Perang Jawa [1825–1830]) sebagai komandan gerilya lokal namun kemudian dicekal dan diasingkan bersama sang Pangeran dan rekan-rekannya di Tondano (Sulawesi Utara). Di sana pula kakeknya wafat.
Abdul Kahar mengenyam pendidikan di sekolah dasar Muhammadiyah (Alfian, “Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement During the Dutch Colonial Period, 1912-1942,” 1969) di Kotagede hingga kelas dua. Lantas dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Mambaul Ulum (Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture,” dalam Holt, Culture and Politics in Indonesia, 1972:4–10) di Solo, lalu Pesantren Jamsaren dan Pesantren Tremas di Jawa Tengah. Pada 1925, di usia 16 tahun, dia bertolak ke Kairo untuk menimba ilmu, disokong oleh Haji Muchsin (pamannya dari pihak ibu) yang merupakan juragan grosir di Kotagede. Di Kairo, dia bersekolah di Darul Ulum (Rumah Ilmu), sebuah fakultas baru di Universitas Fuad I (kemudian berganti nama menjadi Universitas Kairo), dan lulus dari sana pada 1936 dengan mengantongi gelar pascasarjana dalam kajian hukum Islam, pedagogi, bahasa Arab, dan bahasa Ibrani. Selama dua belas tahun tinggal di Kairo, dia aktif bergulat dalam politik pelajar, mewakili para pelajar dari Jawah (istilah yang kala itu digunakan untuk menyebut Nusantara [Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century: Daily Life, Customs and Learning of the Moslims of the East-Indian Archipelago, 1931]).
Dia adalah pendiri Jamiyatul Syubban Muslimin dan seorang pemimpin Jamiyah Khairiyah Indonesia (bandingkan dengan Roff, 1970:73). Abdul Kahar Muzakkir pernah juga ikut serta dalam publikasi jurnal Seruan Azhar, organ dari Jamiyah Khairiyah Indonesia yang juga merupakan instrumen penting dalam mengumandangkan seruan reformisme Islam dan kesatuan antar umat Islam dari Kairo hingga Asia Tenggara Islam (Roff, 1970). Pada 1933, Abdul Kahar Muzakkir memainkan peran penting dalam pendirian Perhimpunan Indonesia Raya di Kairo (sebuah organisasi paralel Perhimpunan Indonesia di Belanda), dan dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Di awal 1930-an Abdul Kahar Muzakkir menghadiri sejibun konferensi Islam tingkat internasional di Timur Tengah, mewakili para pelajar Indonesia di Kairo maupun juga umat Islam di Indonesia.
Di usia 28 tahun dia kembali ke Indonesia dan mulai mengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah (sekolah guru Muhammadiyah) di Yogyakarta, dan tak lama kemudian menjadi direkturnya. Hingga Perang Pasifik meletus, dia menjabat sebagai salah satu pengurus Pemuda Muhammadiyah dan Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem. Pada 1938, Abdul Kahar bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) (bandingkan dengan Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, 1973:157–161), dan terpilih sebagai salah satu komisarisnya hingga 1941. Pada 1939 bersama tiga orang Muslim, dia diundang ke Jepang sebagai delegasi Indonesia untuk menghadiri Kongres Islam Asia Timur Jauh di Tokyo. Saat Jepang menduduki Indonesia, Abdul Kahar Muzakkir sempat bekerja di Departemen Hubungan Ekonomi Kesultanan Yogyakarta hingga 1943. Kemudian dia dipilih oleh Badan Intelijen Militer Jepang (Beppan) untuk menempati sebuah posisi di Jakarta, tepatnya sebagai komentator berita untuk siaran luar negeri berbahasa Arab dan Inggris. Selama di Jakarta, pada 1944 Abdul Kahar dipindahkan ke Departemen Urusan Agama, syahdan menjadi Kepala Deputi departemen tersebut. Dia juga pernah ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat Pusat dan kemudian menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mewakili umat Islam (Benda, The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945, 1958; Anderson, Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation, 1944-1945, 1961).
Dua bulan sebelum berakhirnya Perang Pasifik dan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Abdul Kahar ditunjuk menjadi anggota Panitia Sembilan, bersama Sukarno, Hatta, dan enam tokoh lainnya. Tugas mereka adalah menyusun dokumen yang semula dimaksudkan sebagai pembuka Undang-Undang Dasar 1945, yakni Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan wujud kompromi tuntutan umat Islam atas berdirinya negara Islam dan kehendak golongan nasionalis sekuler dalam menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasar negara (untuk Piagam Jakarta, lihat Legge, 1973:188-189, 208, dan 303–304). Menjelang berakhirnya masa pendudukan Jepang, Kahar Muzakkir juga berperan penting dalam mendirikan lembaga pendidikan tersier Islam bernama Sekolah Tinggi Islam (STI), yang didirikan di Jakarta satu bulan sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu. Dalam susunan kepengurusan STI, Mohammad Hatta ditunjuk sebagai direktur, sedangkan Abdul Kahar menjabat sebagai rektor. STI kemudian diboyong ke Yogyakarta pada 1947 dan berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), tempat Abdul Kahar Muzakkir berkhidmat sebagai pendidik hingga ajal menjemput.
Selama masa agresi militer Belanda, Abdul Kahar Muzakkir menjabat sebagai penasihat agama Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta. Dalam era pascakolonial, dia banyak meluangkan waktu memajukan pendidikan tinggi Islam. Di samping tanggung jawab akademik dan administratifnya di UII, Abdul Kahar Muzakkir juga ikut serta mendirikan sebuah perguruan tinggi Islam milik pemerintah di Yogyakarta, yang kelak dikenal sebagai Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (sekarang menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga—untuk IAIN, lihat Lev, Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions, 1972:104–112) dan menjadi tokoh yang dihormati oleh komunitas Muslim di Yogyakarta. Dari 1946 hingga kematiannya, dia berulang kali terpilih untuk mengawaki Pengurus Besar Muhammadiyah (kini Pimpinan Pusat Muhammadiyah—[penj.]).
Selain itu, Abdul Kahar Muzakkir juga aktif berpolitik dan memimpin Masyumi (bandingkan dengan Noer, 1973) Cabang Yogyakarta saat berlangsungnya pemilu pertama pada 1955 dan terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari faksi Masyumi, posisi yang dijabatnya hingga dewan tersebut dibubarkan oleh Sukarno pada 1959. Nama Abdul Kahar Muzakkir juga berkibar di luar negeri dan kerap pula mewakili Umat Islam Indonesia di berbagai konferensi internasional. Abdul Kahar Muzakkir juga merupakan perwakilan permanen dalam Kongres Islam Dunia di Indonesia.
Saat meninggal dunia, dia sebetulnya tengah mengemban amanah yang cukup banyak, beberapa di antaranya adalah sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Namun demikian, yang membuat kisah kehidupannya menjadi penting dan menarik bukanlah jabatan-jabatan formal di atas semata, melainkan juga kepribadian dan nilai-nilai Islam yang diamalkannya. Pasalnya, itu semua banyak menceritakan kepada kita, dan dari situ kita mengerti apa makna hal-hal di atas bagi umat Islam.
***
Dari sekian banyak penghormatan kepada Prof. Abdul Kahar Muzakkir yang tampil di berbagai media cetak Islam, satu tulisan yang terbit dalam Suara Muhammadiyah (No. 24, Th. 53, 1973), organ resmi Muhammadiyah, menyanjungnya sebagai “pemimpin teladan,” yang patut dicontoh oleh seluruh umat Islam di Indonesia. Tulisan-tulisan lainnya mencandrakannya sebagai “perintis kebangunan ummat Islam” dan sebagai “pejuang kemerdekaan,” sementara salah satu kawan dekatnya sewaktu kecil dan sewaktu studi di Mesir menceritakan pencapaiannya yang luar biasa luas. “Dalam rentang hanya beberapa tahun pemuda santri dari Kotagede berhasil menjadi pemimpin pelajar dalam percaturan politik Islam internasional yang berpusat di sekitar Kairo; dan tatkala kembali ke Indonesia mantan pemuda santri tersebut segera dikenal sebagai ulama-intelek dan sebagai sarjana Muslim, alhasil tidak hanya meraih status guru besar, melainkan lebih dari itu, menjadi ustaz.” Citranya yang gemilang di mata khalayak mengajak kita memahami perannya sebagai tokoh gerakan Islam reformis di Indonesia.
Perlu diingat pula bahwa keluarga Abdul Kahar Muzakkir pernah berjasa menentang kekuasaan kolonial. Sebagaimana telah disebutkan di awal, kakek buyutnya mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dan akhirnya diasingkan ke Tondano. Abdul Kahar Muzakkir begitu terharu tatkala mengunjungi makam kakek buyutnya di sana, demikian ungkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) yang kala itu menemaninya (Hamka, “Kenang-kenangan kepada Professor Abdul Kahar Muzakkir,” 1973). Bagi Muslim Jawa, Perang Diponegoro merupakan episode perlawanan bersejarah yang dilancarkan oleh seorang Muslim saleh terhadap intrusi kolonialisme Belanda, dan kekalahannya menandai mulainya masa kemunduran total.
Ayah Abdul Kahar Muzakkir, yakni Kiai Haji Muzakkir, juga berkongsi dengan sekelompok ulama yang teguh pendiriannya. Ayahnya hidup sezaman dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah, yang kala itu merupakan ketib amin di Masjid Besar Yogyakarta), dan berkawan dekat dengannya. Sesungguhnya, Haji Dahlan pernah menikahi adik ipar Haji Muzakkir, meski pernikahan ini tak bertahan lama. Dahlan tinggal di Kauman Yogyakarta, di dekat Masjid Besar Yogyakarta. Memang benar, di akhir abad XIX dan awal abad XX banyak ulama dan kiai di Kauman, Kotagede, dan Karangkajen memiliki hubungan personal yang dekat antara satu sama lain, terkadang berkat pertalian perkawinan. Sejak dahulu, Kauman, Karangkajen, dan Kotagede (Tiga K) dikenal sebagai benteng Islam-nya Yogyakarta.
Dari lingkaran ulama tersebut muncullah langkah awal untuk mendirikan gerakan Islam reformis Muhammadiyah pada 1912. Langkah itu mulanya berwujud bermacam kritik soal kendurnya ortodoksi keagamaan di keraton dan di tengah kaum priayi. Contohnya, banyak ulama dan kiai menyayangkan perilaku para penghuni keraton yang sering mengabaikan shalat wajib dan puasa. Mereka juga mengkritisi kiblat di berbagai masjid milik Kesultanan Yogyakarta—termasuk Masjid Besar Yogyakarta—yang tidak mengiblat tepat ke Mekkah (Noer, 1973:74, 76, 81, 224). Para ulama dan kiai juga tersinggung lantaran kalender yang digunakan oleh kesultanan tidak berdasar pada perhitungan astronomis yang tepat, melainkan hanya berdasar pada kalender bulan Jawa, sehingga penentuan Ramadhan tidak sesuai dengan pegerakan fisik bulan, sebagaimana diperintahkan oleh Al-Qur’an.
Selama bertahun-tahun kritik-kritik itu dilancarkan secara sporadis dan tak sistematis, pun begitu kritik-kritik itu turut memperlebar jurang antara ulama dan penghuni keraton. Barangkali, perbedaan antara golongan saleh-ortodoks dan penghuni keraton bukanlah cerita baru dalam sejarah Jawa di masa kerajaan Islam. Tetapi, kali ini ada elemen baru yang hadir, sebab di senjakala abad XIX para ulama mulai menggencarkan usahanya dalam memurnikan dan memperbaiki akidah dan praktik keagamaan yang bobrok. Mereka berhasil mendapatkan pengikut yang bersemangat dari kalangan dagang bumiputra yang hidup di kawasan perkotaan; di samping itu, kelak usaha mereka berevolusi menjadi organisasi yang lebih mantap dan terstruktur, Muhammadiyah.
Pada titik ini, saya harus menjelaskan hubungan antara hubungan ekonomi yang ada di penghujung abad XIX dan kemunculan gerakan Islam reformis, sebagaimana yang dapat diamati di Kotagede. Pertama, kebijakan liberal pemerintah kolonial melahirkan perubahan sosial-ekonomi yang dahsyatnya bukan kepalang. Sejak sekitaran 1860-an dan 1870-an, ketika jalur kereta api mulai merasuk ke daerah pedalaman Jawa Tengah, daerah itu mulai dibanjiri oleh kehadiran berbagai perusahaan swasta Eropa. Perusahaan-perusahaan itu memperoleh hak sewa atas lahan yang luas dari para patuh (pemilik apanase), dan menyulapnya menjadi kebun (atau ladang) tanaman komersial yang diolah oleh kaum buruh atau tani yang hidup di situ. Dalam sekejap banyak desa didorong untuk ikut menyemarakkan ekonomi uang. Dalam satu generasi, berbagai sudut di Jawa yang tanahnya subur dan dapat menghasilkan tanaman komersial—yang paling terpencil sekalipun—berhasil dihubungkan dengan pusat-pusat industri oleh untaian rel kereta api dan jalan yang begitu panjang.
Rupanya, perubahan drastis ini banyak memengaruhi Kotagede. Dahulu, Kotagede dan kota-kota lain di tingkat lokal pernah menjadi kawasan dagang dan industri kerajinan bumiputra di Jawa Tengah bagian selatan—sebuah wilayah yang kala itu masih diwarnai oleh ekonomi pertanian swasembada-subsisten. Ekonomi liberal meruntuhkan itu semua. Jumlah penduduk Kotagede membengkak dengan cepatnya, demikian pula tuntutan atas barang dagang (kebutuhan harian) seperti batik dan kain-kain lainnya, perkakas pertanian, peralatan dapur, perhiasan, serta barang-barang ornamen dan dekoratif, tanaman industri-papan, dan makanan siap saji. Alhasil, seketika itu penduduk Kotagede secara umum kebanjiran kemakmuran dan, lebih khususnya, kaum dagang yang sukses pun bertumbuh. Di akhir abad XIX, Kotagede kondang akan kehadiran sekitar setengah lusin raja dagang yang kekayaannya melampaui kekayaan para priayi setempat dan bahkan menyaingi keraton. Akan tetapi, kaum dagang itu tidak diizinkan mengenakan jubah kebangsawanan. Pendidikan Belanda juga hanya boleh diakses oleh anak priayi saja. Menghadapi rintangan sosial semacam itu, tentu saja bumiputra kelas menengah perkotaan lebih memilih jalan yang sudah terbuka, yakni mendongkrak gengsi mereka dengan menunaikan haji ke Mekkah. Meroketnya prestise pesantren sepertinya juga mencerminkan perkembangan itu.
Perkembangan-perkembangan itu dilambangkan oleh kehidupan Abdul Kahar Muzakkir. Dia lahir di tengah keluarga ulama berbekal kemandirian yang sudah bercokol sejak lama, dan kini kian terdorong oleh hayat kesalehan dan kepatuhan yang kuat dalam beragama. Selain itu, dia juga diuntungkan oleh kemakmuran yang baru saja menghampiri keluarganya; pamannya, Haji Muchsin, merupakan salah satu raja dagang di Kotagede, dan memiliki lisensi untuk mengimpor dan mendistribusikan kain katun halus, mori, pula zat pewarna kimia di Jawa Tengah (atau Vorstenlanden). Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Haji Muchsin pula yang menyeponsori studi Abdul Kahar di Kairo dari 1925 hingga 1936.
Tahun-tahun di Kairo memberi pengalaman penting bagi Abdul Kahar, demikian pula bagi para perantau Indonesia yang lain. Meski sarjana-sarjana lain berpendapat bahwa ajaran Islam reformis di Indonesia berasal dari Universitas Al-Azhar dan para tokoh reformis seperti Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rida, saya tidak menemukan bukti bahwa kehadiran reformisme Islam langgam Mesir berdampak langsung terhadap perkembangan awal gerakan Muhammadiyah di Jawa (Kerr, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Ridha, 1966; Geertz, The Religion of Java, 1960:137–138). Elemen yang pertama kali terpapar oleh pengaruh reformisme Islam Mesir adalah generasi kedua Muhammadiyah—yang dilambangkan oleh orang seperti Abdul Kahar Muzakkir. Di samping itu, perlu pula diperhatikan bahwa kebanyakan pelajar Jawah di Kairo (yang jumlah keseluruhannya mencapai sekitar 200 orang di akhir 1920-an) lebih tertarik pada Kota Kairo yang “tradisional” ketimbang Al-Azhar sendiri. Para pelajar Jawah lebih tertarik pada Universitas Kairo lantaran kurikulumnya yang tersistematis, mencakup banyak mata kuliah sekuler yang diajarkan menggunakan bahasa Arab modern dan juga Inggris (Roff, 1970:74). Fakta itu dapat diamati dari pengalaman para pemuda Kotagede di Kairo. Antara 1925–1936 enam pemuda Kotagede menghabiskan beberapa tahun untuk belajar di Kairo. Abdul Kahar menimba ilmu di Darul Ulum. Dua saudara sepupunya (putra Haji Muchin sendiri) pun segera menyusulnya, yang satu menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas dalam bidang perniagaan, sedangkan yang satunya lagi menyelesaikan pendidikan vokasi (certificate) dari sekolah persiapan untuk mengenyam pendidikan di The American University in Cairo (kemudian juga memperoleh gelar dokter di Universitas Amsterdam). Seorang anak raja dagang lainnya memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang perbandingan agama dari Universitas Kairo. Jika dibandingkan dengan reformisme Islam langgam Indonesia, reformisme Islam langgam Mesir sifatnya lebih teologis, elitis, dan berorientasi intelektual.
Tentu saja, Tafsir Qur’an karangan Muhammad ‘Abduh pernah—dan masih—memengaruhi reformisme Islam langgam Indonesia. Tetapi, dalam hal aktivitas organisasi yang aktual gerakan reformisme Islam langgam Indonesia mengungguli model gerakan Islam langgam Mesir, baik menyangkut keragaman maupun besarnya basis massanya. Jadi, reformisme Islam langgam Indonesia dikembangkan secara mandiri dari dalam, dan peran komunitas pelajar Indonesia di luar negeri bukan sekadar berperan sebagai penghubung semata. Reformisme Islam langgam Mesir disaring dan ditafsirkan ulang oleh mereka. Di samping itu, yang lebih penting adalah pengalaman dan keterlibatan para pelajar Indonesia dalam kehidupan politik riil dengan nasionalisme Mesir dan internasionalisme Muslim. Sebagaimana telah kita lihat, di Kairo pula cita-cita persatuan umat Islam se-Nusantara (yang mencakup Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina) diwujudkan dalam bentuk organisasi (Roff, 1970). Akan tetapi, pada medio 1930-an, para pelajar Indonesia mulai menghadapi kesulitan keuangan dan, kemudian, ancaman perang memutus aliran perantau dari Indonesia ke Mesir. Namun demikian, reformisme Islam Indonesia mampu terus berkembang, dan itu membuktikan bahwa utamanya reformisme Islam Indonesia mampu bergerak secara mandiri dengan daya sendiri.
Pada 1930-an Jawa sepi dari hiruk-pikuk politik, tetapi 1930-an adalah dekade ketika kaum Muslim reformis bertarung habis-habisan dalam urusan keagamaan guna memapankan kedudukan mereka sebagai umat yang merdeka. Di Kotagede proses ini dicerminkan oleh konflik antara para pejabat keraton dan Muhammadiyah dalam memperebutkan hak penggunaan Masjid Ageng Mataram. Sebelumnya, Masjid Ageng Mataram adalah lembaga yang mendominasi kehidupan penduduk Kotagede. Dipayungi oleh sepasang pohon beringin raksasa, dengan dikelilingi oleh dinding dan gapura bergaya Hindu-Bali yang menaungi pemakaman Kerajaan Mataram, terang sekali kompleks Masjid Ageng Mataram adalah situs yang paling keramat di antara berbagai situs keramat lain di Kotagede. Kompleks Masjid Ageng Mataram adalah salah satu tempat amat penting untuk menyelenggarakan pusparagam upacara resmi Kerajaan Mataram, dan untuk menyelenggarakan upacara-upacara itu sumber daya manusia dan material dikerahkan dan dimanfaatkan dalam bentuk kerja bakti, pajak, dan berbagai layanan pribadi lainnya.
Masjid Ageng Mataram pun tak pelak menjadi target serangan gencar reformisme Muhammadiyah. Dipelopori oleh Haji Masyhudi (salah satu paman Abdul Kahar dari pihak ibu) para pegiat Muhammadiyah di Kotagede mengajukan permohonan untuk menggulirkan reformasi Islam di hadapan para pejabat keraton yang mengurusi Masjid Ageng Mataram. Adapun permintaan Muhammadiyah antara lain adalah, (1) agar masjid dapat dibuka dengan bebas dan dimanfaatkan secara sukarela oleh penduduk setempat, (2) agar shalat Jumat dibuka untuk khalayak dan khotbahnya disampaikan dalam bahasa Jawa, (3) agar kebiasaan “tak Islami” seperti pembagian uang kepada pada jamaah shalat tarawih selama bulan puasa segera ditinggalkan, (4) agar praktik perdukunan di kompleks masjid dilarang, dan seterusnya. Perlawanan pihak keraton terhadap reformasi Islam pun tak kalah sengitnya, sebagian akibat adanya dukungan laten dari pemerintah Belanda yang berusaha mempertahankan kekuasaan para raja bumiputra.
Akhirnya, di penghujung 1930-an Muhammadiyah memutuskan untuk memisahkan diri dari Masjid Ageng Mataram dan mendirikan masjid baru atas biaya sendiri, yang pembangunannya selesai pada 1939. Masjid baru ini dinamai Masjid Perak, dan namanya mencerminkan bahwa sebagian besar sumbangan untuk pendiriannya mengalir dari kantong-kantong para juragan perak yang luar biasa makmur pada 1920-an dan 1930-an. Kata perak merupakan kata serapan dari bahasa Arab, firaq, yang berarti ‘pemisahan’ dan ‘kemerdekaan,’ yang menyiratkan kemerdekaan kaum Muslim reformis dari Kesultanan Yogyakarta dan para pejabat agama tradisional. Haji Muzakkir (ayah Abdul Kahar Muzakkir) menjadi salah satu anggota takmir masjid tersebut.
Tak lama kemudian, kaum Muslim reformis menghadapi keadaan yang sama sekali baru, yakni keadaanya yang muncul akibat menyerahnya Belanda ke tangan Jepang. Tak lama berselang, kaum Muslim reformis kembali menghadapi tantangan yang dihadirkan oleh perang kemerdekaan pada 1945. Tokoh-tokoh Muhammadiyah, yang kala itu begitu berpengaruh dalam Partai Masyumi, kian dalam terlibat dalam politik nasional. Di waktu yang bersamaan Abdul Kahar Muzakkir pun mulai banyak terlibat dalam politik nasional. Kemunculan dramatis Masyumi sebagai kekuatan politik utama tak berlangsung lama, partai itu meredup secara dramatis pula di medio 1950-an, adapun alasannya sudah cukup banyak disinggung dalam sumber lain (bandingkan dengan Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, 1962; Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, 1971). Tenggelamnya Masyumi seringkali digambarkan hanya sebagai kekalahan politik para tokoh Islam, meski sebetulnya lebih rumit dari itu—itu akan kita saksikan dalam bahasan tentang hubungan antara agama dan politik di Indonesia.
Meski Kahar Muzakkir adalah salah satu begawan politik Indonesia di masa revolusi kemerdekaan dan demokrasi parlementer, ketika bertemu dengannya saya begitu heran lantaran tak tampak dalam dirinya ciri-ciri politisi pada umumnya. Abdul Kahar Muzakkir yang saya kenal bukanlah tokoh yang lapar kekuasaan dan tidak pula dia senang memamerkan kekuasaannya. Baginya, signifikansi politik masih jauh di bawah komitmennya pada pendidikan agama dan dakwah. Manakala keadaan memaksanya untuk terjun ke arena perkelahian politik, Abdul Kahar Muzakkir tidak ragu-ragu untuk bertarung, tetapi jika keadaannya sedang tenang, dia pun tidak aktif dalam urusan politik. Anggapan kita soal homo politicus sama sekali tidak berlaku bagi tokoh Muslim seperti Abdul Kahar Muzakkir, orang yang telah menemukan sesuatu hal yang jauh lebih berharga ketimbang kekuasaan dan gengsi. Ketika orang-orang semacam itu tersingkir dari arena politik, mereka tidak panik, tidak pula putus asa atau frustrasi, melainkan mereka memilih untuk mengurusi hal yang menjadi perhatian utamanya, agama.
Ben Anderson pernah menunjukkan aspek diplomatis dari hubungan antara umat Islam dan politik sekuler (Anderson, 1972:61–62). Paparannya tampak cukup menarik. Tetapi, saya perlu menambahkan bahwasannya para diplomat jarang berasal dari eselon tertinggi pemimpin sebuah negara, demikian pula “diplomat” umat Islam, mereka tidak menduduki struktur tertinggi dalam umat Islam. Para “diplomat” umat Islam yang berpolitik jamaknya adalah tokoh periferi atau kelas dua, namun mereka memiliki keterampilan “diplomatik” sehingga mereka dipercaya untuk mengemban kepentingan umat dalam berurusan dengan pemangku kekuasaan. Umat Islam membiarkan “politisi Muslim” tersebut berbuat semaunya, sekalipun itu pekerjaan kotor. “Biarlah,” kata mereka, meski mereka tidak begitu percaya dan menghormati para “politisi Muslim.” Jadi, dukungan yang diterima para politisi dari umat Islam memang agak lemah, dan hubungan antara mereka pun dangkal. Alhasil, tak jarang ada politisi Muslim kelas dua—yang komitmennya terhadap umat Islam tidak teguh—yang dibutakan oleh kekuasaan dan gengsi yang sama sekali sekuler hingga akhirnya meninggalkan umat Islam demi orang yang berkuasa.
Di sini, saya akan menyajikan pandangan umum tentang Islam dan politik. Jika pengamatan saya sejauh ini dapat dipertahankan, maka pandangan saya berseberangan dengan pendekatan Benda-Geertz di beberapa poin penting. Benda memandang politik Indonesia pascakolonial sebagai perkelahian politik segitiga antara golongan priayi (bangsawan dan birokrat), nasionalis sekuler, dan umat Islam (Benda, 1958:195–204). Geertz merevisi pendekatan itu sebagai perkelahian antar aliran dengan orientasi nilai dan pandangan dunia yang berkorelasi dengan basis institusional, komitmen politik, dan afiliasi organisasi (Geertz, “The Javanese Village,” 1959; The Social History of an Indonesian Town, 1965). Ia menemukan ada empat aliran yang sejalan dengan empat partai politik, yakni PNI, PKI, NU, dan Masyumi. Geertz sendiri kemudian berusaha menyesuaikan situasi terkini dengan memperkenalkan gagasan perihal perkembangan denominalisasiisme; di bawah kuasa militer yang tak tertandingi, aliran-aliran lama pun mulai melunak dan tak lagi bersikap eksklusif antara satu sama lain, mereka berjuang mencari cara untuk dapat hidup bersama dengan damai (Geertz, “Religious Change and Social Order in Soeharto’s Indonesia,” 1972:62–68).
Terlepas dari kebenaran pandangan ini dalam hal-hal detail, salah satu ciri fundamental dari pendekatan aliran-aliran itu adalah mereka dibangun di atas premis bahwa politik Indonesia adalah permainan kekuasaan yang dapat dipahami sebagai kompetisi antar kelompok dalam memperebutkan kekuasaan dengan berbekal hak yang kira-kira setara. Bagi saya, premis ini dapat dipertanyakan. Kendati kita boleh menggunakan metafora bahwa politik adalah permainan, kontes, kompetisi, yang digulirkan berdasarkan aturan yang telah disepakati oleh orang banyak, terkadang politik bukanlah permainan yang adil, khususnya di Indonesia. Berbagai kelompok yang saling bersaing—jika mereka memang benar-benar bersaing—tidak mulai di posisi yang sama antara satu sama lain. Pada kenyataannya, permainan politik ini umumnya sudah tidak adil sejak awal, pasalnya beberapa kelompok sebelumnya sudah punya kekuasaan, sedangkan kelompok lain tidak. Mozaik politik Indonesia pascakolonial selalu diwarnai oleh pembagian antara penguasa dan yang dikuasai, atau antara penggede dan wong cilik.
Lantas, apa relevansi Islam dalam situasi seperti itu? Menurut hemat saya, pada umumnya Islam utamanya selalu memikat perhatian wong cilik. Inilah ironi sejarah. Tidak walaupun, tetapi melainkan karena pernah ditolak sebagai ideologi Negara Republik Indonesia (penolakan Piagam Jakarta) maka Islam mampu menjadi inspirasi sekaligus menjelma menjadi ungkapan keluhan orang-orang tak berdaya di pinggiran kekuasaan, khususnya tatkala korupsi, penyelewengan wewenang oleh penguasa, dan amat timpangnya pendistribusian kemakmuran merajalela. Dalam situasi seperti ini, Islam menjadi pedoman untuk menegakkan kejujuran, mempererat ikatan antarmanusia, dan tempat mencari nasihat etis, pedoman yang diambil dari Sang Absolut, Sang Maha Kuasa tempat berlindung bagi orang-orang lemah. Inilah mengapa aspirasi rakyat akan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sering dijiwai oleh semangat Islam. Inilah mengapa keluhan khalayak berulang kali diungkapkan dalam bahasa Islam, dan yang demikian itu sulit dicegah.
Namun demikian, dari yang telah saya katakan di awal tidaklah tepat jika kita menganggap bahwa ungkapan politik umat Islam berusaha membentuk elite tandingan atau elite alternatif yang tujuannya adalah menumbangkan pemerintah petahana. Aspirasi politik umat Islam yang sejati belum pernah, dan tidak pernah, diarahkan untuk memperebutkan kekuasaan dalam pengertian sekuler. Mereka tidak berusaha untuk merebut kekuasaan sekuler, melainkan berjuang keras menciptakan dan mengalami kekuasaan dalam bentuk yang berbeda. Politik hanyalah salah satu aspek (aspek sekunder) dari kehidupan umat Islam, dan menerjemahkan perilaku politik mereka menggunakan bahasa sekuler hanya akan dapat menghadirkan kebenaran yang setengah benar saja. Tujuan mereka berbeda, dan aturan main mereka—atau permainan mereka sendiri—pun juga berbeda, maka seyogianya harus dilihat melalui perspektif mereka sendiri.
***
Sesungguhnya, saya dapat melukiskan poin di atas dengan memaparkan kepribadian Prof. Kahar Muzakkir sendiri. Jelaslah sekarang bahwa saya begitu terkesan padanya dan menghormatinya secara pribadi. Guna meminimalkan subjektivitas yang muncul akibat kekaguman saya kepadanya, dalam menggambarkan kepribadiannya bolehlah kita menggunakan istilah yang biasa digunakan oleh orang Jawa (Hamka, 1973; Tjiptoning, “Over Prof. Abdul Kahar Muzakkir,” 1952; Rusdy, “Prof. Abdul Kahar Muzakkir,” 1957; Agustjik, “Prof: Abdul Kahar Muzakkir fi zimmatillah,” 1973; Rasjidi, “Mengenang Almarhum Prof. A. Kahar Muzakkir,” 1973). Tiga istilah itu, yakni sederhana, ramah tamah, dan ikhlas, adalah istilah yang umumnya dipakai untuk menggambarkan kepribadian dan gaya hidupnya. Rumahnya, yang diwariskan kepadanya oleh Haji Muzakkir, berdiri di atas sebuah lahan luas dan bangunannya sendiri pun besar. Tetapi, tidak ada barang-barang mewah lagi bergaya di dalamnya. Begitu masuk ke dalam rumah itu, kita dapat melihat furnitur ruang tamu sederhana di pendopo, yang belakang hari disulap menjadi kamar tamu berdinding. Dahulu, salah satu sentong rumah yang sederhana dengan ukuran kira-kira 2,5 meter x 3,5 meter dan berlantai kayu digunakan sebagai kamar studinya dan ruang penginapan tamu. Di sana dia biasa duduk di atas tikar, tanpa ada furnitur lainnya selain meja pendek dan beberapa bantal. Buku-buku yang ditimbun menghadap dinding hanyalah barang-barang berharga yang ditemukan di sana.
Satu-satunya kendaraan “modern” milik Abdul Kahar Muzakkir hanyalah motor skuter bekas yang diberikan oleh salah satu mahasiswanya beberapa tahun yang lampau, itu pun kerap rusak. Saat skuternya mogok, untuk pergi menuju Universitas Islam atau Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah (yang berjarak lima atau enam kilometer dari Kotagede) dia pun harus bersepeda atau naik andong atau becak. Sambil mengenakan pakaian sederhana (kemeja putih tua tak berdasi, sarung, sepasang sandal, dan selalu mengenakan peci) Abdul Kahar Muzakkir membalas sapaan orang-orang yang dijumpainya di sepanjang jalan.
Abdul Kahar Muzakkir benar-benar seorang sosok yang ramah tamah, bersahabat, “informal”, dan murah hati. Meski saya cukup jarang bertemu dengannya saat saya tinggal di Kotagede, dia selalu meluangkan waktu untuk menerima tamu di Jumat pagi, baik itu tamu lokal, nasional, maupun internasional. Dia bertemu dengan mereka dalam satu kelompok, mendiskusikan masalah atau permintaan yang diajukan tamu-tamunya satu per satu, meminta komentar dari orang lain yang hadir dalam pertemuan itu. Lalu, ketika waktu shalat Jumat tiba, sang tuan rumah dan tamu-tamunya bergegas melangkahkan kaki menuju Masjid Ageng Mataram yang berjarak seputaran 200 meter dari rumahnya dan shalat di sana (meski pada 1930-an Muhammadiyah sempat memisahkan diri dari masjid ini, tak lama selepas kemerdekaan hubungan antara keduanya kembali baik). Lepas itu, tamu-tamunya kembali ke rumahnya dan makan siang bersama. Rumah yang saya tempati kala itu hanya berjarak 150 meter dari rumahnya, dan sebetulnya saya dapat dengan mudahnya pulang untuk makan siang, tetapi Prof. Abdul Kahar Muzakkir tidak pernah mengizinkan saya untuk “nuwun pamit”.
Kebanyakan tamunya adalah mahasiswanya, baik dari UII, Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, ataupun perguruan tinggi dan universitas lain di Jawa Tengah. Salah satu pemandangan khas adalah kerap kali pelajar Muslim dari Malaysia, Thailand, dan Filipina pun ikut bertamu ke rumahnya. Solidaritas Muslim se-Nusantara yang tercipta saat dia belajar di Kairo masih terpelihara dan dihidupkan kembali di pendoponya. Tamu-tamu yang menghampirinya juga mencakup mantan mahasiswanya yang kini bekerja di sekolah menengah atas, perguruan tinggi, universitas, atau di kantor urusan agama (KUA) di berbagai sudut Jawa dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Sekarang kita beralih ke istilah ketiga, ikhlas. Istilah ini jamak digunakan oleh kolega Muslim Abdul Kahar Muzakkir untuk melukiskan kepribadiannya. Contohnya, Suara Muhammadiyah menggambarkannya sebagai “pejuang yang iklhas dan sederhana” dalam orbituarinya. Ikhlas—yang artinya tulus hati—adalah kata yang diambil dari Al-Qur’an dan ada salah satu surat yang bertajuk “Al-Ikhlas”. Sebagai istilah berkenaan etika yang bersifat umum, iklas berlawanan dengan pamrih (bandingkan dengan Anderson, 1961:39-40; Anderson, 1972:5–6). Kehidupan Prof. Abdul Kahar Muzakkir tentu dapat digambarkan sebagai kehidupan penuh keikhlasan, diwarnai oleh usaha yang tiada putus untuk mengabdi kepada Allah, membuang segala keinginan untuk memikirkan kepentingan pribadi. Demikianlah yang diakui oleh lawan politiknya dan umat agama lain.
Kini muncullah masalah yang menantang dari pengamatan ini. Jika kehidupan Almarhum Prof. Abdul Kahar Muzakkir dapat dikatakan penuh ikhlas dan tanpa pamrih, kita perlu menyadari bahwa istilah-istilah itu berasal dari bahasa yang berbeda. Secara etimologis, ikhlas adalah kata dari bahasa Arab yang lekat dengan Islam, sedangkan pamrih adalah kata dari bahasa Jawa dan merupakan kata jadian dari dunia epos Hindu-Jawa. Dengan meninggalkan pamrih seseorang dapat mencapai peringkat kesatria. Kedua istilah itu dapat dipandang sebagai istilah kunci dalam dua pandangan dunia (worldview) yang berbeda, yakni Islam dan Hindu-Jawa. Jika demikian, beberapa pengamat boleh jadi kebingunan ketika mengetahui bahwa Prof. Kahar Muzakkir yang seorang Muslim reformis digambarkan sebagai sosok yang ikhlas tanpa kenal pamrih oleh kolega-koleganya yang agaknya telah memurnikan Islam dari elemen-elemen tak Islami. Sekarang, masalahnya lebih eksplisit seperti ini, pengamat asing jamak melukiskan bahwa Islam—khususnya Islam reformis—adalah berseberangan, antitesis, atau tidak sesuai dengan kejawaan yang tulen (Benda, “Continuity and Change in Indonesian Islam,” 1965:123–138, khusunya 133). Akan tetapi, Prof. Kahar Muzakkir dan tokoh-tokoh lain asal Kotagede yang sekaliber dengannya adalah orang Jawa tulen sekaligus Muslim yang taat. Jika pikiran kita dipenuhi oleh konsep semu tentang antagonisme antara Islam dan kejawaan, mustahil bagi kita untuk memahami sosok seperti Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Dia bukanlah seorang penderita skizofrenia budaya. Dan dia bukanlah kasus istimewa. Terang sekali, “sepi ing pamrih, rame ing gawe” (tidak berpamrih, banyak bekerja)—kata-kata yang oleh Ben Anderson disebut sebagai motonya kaum priayi Jawa—merupakan moto Pergerakan Muhammadiyah juga (HB Muhammadijah, Verslag Moehammadijah, 1923:11; Pringatan Congres Moehammadijah, 1932:42). Lantas, melalui pengamatan ini saya ingin menegaskan bahwa ada bias yang besar dalam lensa pengamatan kita. Lensa yang dirancang untuk memilah asal-usul budaya mungkin cocok untuk mengklasifikasi benda mati, tetapi tidak sesuai untuk memahami manusia yang hidup.
Satu hari setelah wafat, jenazah Prof. Abdul Kahar Muzakkir ditempatkan di serambi Masjid Ageng Mataram di Kotagede, dan ribuan orang datang melayat. Kemudian jenazahnya dikebumikan di permakaman kampungnya, dekat makam keluarga dan kerabatnya, termasuk Haji Muzakkir, Haji Muchsin, dan Haji Masyhudi. Jumlah para pelayat itu begitu banyak, dan kiranya selama beberapa tahun belakangan Kotagede belum pernah dipadati oleh para pelayat sebanyak itu. Garibnya, tiada seorang pun perwakilan pemerintah pusat yang hadir kala itu. Prosesi pemakaman itu sifatnya sama sekali swasta (tanpa peran pemerintah), sekaligus menjadi saksi atas kesatuan dan kemerdekaan umat Islam yang sejenak muncul untuk acara ini. Besarnya jumlah pelayat menunjukkan betapa Prof. Abdul Kahar Muzakkir begitu dihormati sebagai tokoh dan penasihat oleh banyak orang. Dari luar dia boleh tampak tak terkenal, tetapi di tengah umat Islam dia adalah sosok cemerlang pemelihara silaturahmi tiada putus antara masyarakat.
Kini, mohon izinkan saya mengemukakan poin akhir tentang implikasi kehidupan Prof. Abdul Kahar Muzakkir bagi pengetahuan kita tentang Indonesia. Jika Prof. Abdul Kahar Muzakkir terlupakan, maka kitalah yang kurang berpikir panjang dan melupakannya, tetapi bukan Muslim Indonesia. Jika kita terheran-heran akan keuletan Islam di Indonesia saat ini (sebagaimana dicerminkan oleh kisah kehidupan dan kematian Prof. Abdul Kahar Muzakkir), kitalah yang silap karena telah mengambil fenomena kulit luar untuk dicerna secara mendalam. Jika kisah tentang kehidupan Almarhum Prof. H. Abdul Kahar Muzakkir ini entah bagaimana berhasil membagikan refleksi saya kepada Anda sekalian akan kekurangan pengetahuan kita tentang studi Indonesia, maka tercapailah maksud utama pembicaraan saya.
——————————-
[1] Abdul Kahar Muzakkir (1908–1973) kerap kali dirancaukan dengan Kahar Muzakkar (Qahhar Mudzakkar, sekitar 1919–1965), pemimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Sulawesi Selatan di sepanjang 1950-an dan awal 1960-an. Contohnya, Legge (1973) awalnya membedakan ada dua Kahar yang berbeda, tetapi kemudian di bagian indeks yang dimunculkannya hanyalah satu Kahar saja. William R. Roff (1970) juga silap mata dalam membaca penulis dokumen yang ditelitinya sebagai Abdul Kahar Muzakkar, yang betul adalah Abdul Kahar Muzakkir. Kerancauan ini sebagian adalah akibat dari beragam cara yang sah dalam mentransliterasikan kata dari bahasa Arab, yang biasanya membuat pilihan huruf vokal menjadi ambigu ketika dituliskan dalam transkrip Inggris atau Indonesia. Kerancauan ini juga disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan pengamat asing soal Kahar Muzakkir (yang belakangan hari undur diri dari panggung politik nasional), sementara nama Kahar Muzakkar justru melesat dan mendapatkan perhatian sebagai pemimpin pemberontakan. Terkait Kahar Muzakkar, lihat Harvey (1974).
——————————
*Tulisan ini diterjemahkan oleh Aditya Pratama