Judul : Jejak-Jejak Filsafat Pendidikan Muhammadiyah
Penulis : Alim Roswantoro, Sumartono, Aditya Pratama, Mohamad Ali, Subhi Mahmashony Harimurti, Muhammad Sulaiman
Editor : Abdul Munir Mulkhan dan Robby Habiba Abror
Penerbit : Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dan Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, Oktober 2019
Ukuran, tebal : xii + 312 hlm, 15 x 23 cm
ISBN : 978-602-74900-6-2
Lebih dari seabad, Muhammadiyah bergelut dengan dunia pendidikan. Banyak prestasi telah diraih. Alumninya tersebar berkiprah di berbagai bidang di seluruh penjuru. Namun, apakah Muhammadiyah sudah dapat berpuas diri? Apakah Muhammadiyah sudah menyelenggarakan pendidikan secara tepat? Bagaimana landasan berpikir Muhammadiyah dalam menyelenggarakan pendidikan? Bagaimana konsep paradigma pendidikan Muhammadiyah?
Pertanyaan-pertanyaan itu coba dijawab dalam buku ini. Rumusan utuh filsafat pendidikan Muhammadiyah yang berbasis IPTEKS masih menjadi tanda tanya. Pada muktamar seabad, Muhammadiyah mengeluarkan dokumen “Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah” yang berusaha menyempurnakan dan menggali khazanah pemikiran pendidikannya secara komprehensif, untuk diturunkan dalam kebijakan pendidikan yang kontekstual.
Abdul Munir Mulkhan menuturkan bahwa gagasan filsafat pendidikan Muhammadiyah dapat dirujuk pada tiga sumber. Pertama, pidato Kiai Ahmad Dahlan dalam Kongres Muhammadiyah pada Desember 1922 berjudul “Kesatuan Hidup Manusia” (dokumen lain berjudul: “Tali Pengikat Hidup”). Naskah ini diterbitkan tahun 1923 oleh HB Majlis Taman Pustaka. Kedua, Praeadvies HB Muhammadiyah pada Kongres Al-Islam di Cirebon tahun 1921. Ketiga, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta tentang Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah.
Kiai Dahlan dalam Kongres Al-Islam di Cirebon menyatakan, “Jadi orang Islam itu bersifat dua, yaitu sifat guru dan sifat murid” yang menunjukkan peran untuk terus belajar dan berbagi pengetahuan. Di bagian lain, “Manusia wajib mencari tambahnya ilmu pengetahuan, jangan sekali-kali merasa telah cukup pengetahuannya, apalagi menolak pengetahuan orang lain… Manusia itu perlu dan wajib menjalankan dan melaksanakan pengetahuannya yang utama, jangan hanya sekedar sebagai pengetahuan semata.” (hlm 2-3)
Akal, kata Kiai Dahlan, bagaikan biji atau bibit yang terbenam dalam bumi. Supaya bibit akal tumbuh menjadi pohon besar, perlu upaya merawat dan menyiramnya dengan pengetahuan. Pendidikan Muhammadiyah bersifat holistik, yang memberi keluasaan pada akal sehat. Robby Abror menyebutnya sebagai upaya “membangun proyek ulil albab” (hlm 284). Ulul albab berkarakter terbuka terhadap berbagai pemikiran dan pandangan, namun selektif memilih yang benar, baik, dan patut (Qs Az-Zumar: 18).
Pendidikan Muhammadiyah berusaha melahirkan manusia yang sukses dan bahagia di dunia dan akhirat. Peserta didik diarahkan untuk menyadari makna hidup dan diberi bekal untuk mengembangkan potensi diri yang sesuai norma. Kehendak bebas setiap manusia diarahkan untuk bertanggung jawab atas jalan hidup yang dipilihnya. (ribas)