Menlu Retno Temui Ketum Muhammadiyah, Bahas Proposal Trump soal Palestina hingga Pemulangan WNI eks ISIS

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi bersilaturahim ke PP Muhammadiyah di Yogyakarta, 12 Februari 2020. Menteri Retno diterima Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah Syafiq A Mughni, dan Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Dalam pertemuan ini, Muhammadiyah dan Kemenlu saling bertukar gagasan, membahas beberapa isu mutakhir dunia global dan peran Indonesia di dalamnya.

Indonesia sangat konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Kita punya dasar konstitusi dan pernah punya pengalaman dijajah dalam waktu yang lama. “Saya ingin menegaskan dukungan Muhammadiyah untuk diplomasi dan perjuangan Pemerintah Indonesia yang dijalankan oleh Menlu kita untuk perjuangan Palestina dalam menghadapi proposal Donald Trump yang tidak menguntungkan Palestina,” tutur Haedar seusai pertemuan.

Tidak hanya pemerintah, Muhammadiyah juga mendorong keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat. “Kami menghendaki parlemen Indonesia, DPR dalam hal ini, untuk mem-back up langkah pemerintah di kancah dunia. Jalinlah dan perjuangkan bersama parlemen dunia.” Haedar mengingatkan tentang pentingnya optimalisasi peran Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen, Fadli Zon, yang menjabat sebagai Wakil Presiden Parlemen untuk Al-Quds.

“Perjuangan untuk Palestina ini makin lama, makin berat. Ini membutuhkan perjuangan politik internasional yang lebih kuat. Artikulasi diplomasi bebas aktif harus diperjuangkan secara proaktif. Indonesia sejak dulu leading,” ujarnya. Perjuangan Palestina, kata Haedar, merupakan perjuangan demi kemanusiaan dan kemerdekaan sebuah bangsa, tak ada kaitannya dengan agama.

Terkait dengan peran Indonesia di tingkat global, Haedar menawarkan gagasan dan praktik moderasi dan modernitas Islam ke tingkat dunia. “Indonesia ini negara Muslim terbesar. Bu Menlu sangat konsen untuk mengembangkan Islam moderat dan Islam modern. Hal ini sejalan dengan alam pikiran Muhammadiyah.” Hal ini harus dijalankan dengan konsisten.

Muhammadiyah tidak hanya berwacana, namun secara nyata mengembangkan Islam Berkemajuan. Muhammadiyah sudah dan terus mengokohkan gerakannya di Malaysia, Mesir, dan Australia. Indonesia, kata Haedar, dekat dan bersahabat dengan Australia dan ASEAN. Secara geneologis, sebagian penduduk Indonesia itu berakar pada ras Austromelanesoid. Relasinya sebagai partner untuk berkolaborasi bagi peradaban, bukan sebagai ancaman. “Jembatan ini perlu terus dibangun.”

Haedar menekankan bahwa Islam Indonesia, yang mayoritasnya berpaham moderat atau disebut juga Islam yang rahmatan lil alamin, harus diwujudkan dalam program strategis. Muhammadiyah membangun sekolah dan community center di luar negeri dalam rangka meluaskan jangkauan rahmatan lil alamin dari ajaran Islam, guna mengajak semua umat manusia untuk maju bersama.

Stuasi dunia global yang sering tidak menentu, membutuhkan tawaran paham yang mencerahkan. “Di tengah politik global yang mengeras dan ancaman perdamaian, kita perlu membangun paradigma baru, di mana multikulturalisme perlu dibangun oleh setiap bangsa dan negara,” ulas Haedar Nashir. Islam Indonesia bisa menjadi tawaran alternatif untuk dunia.

Muhammadiyah membuka diri bekerjasama dengan Kemenlu dalam rangka internasionalisasi Islam Indonesia, termasuk Muhammadiyah di dalamnya, sebagai salah satu kekuatan Islam di Indonesia. “Kami berharap Indonesia bisa memainkan peran yang lebih artikulatif bahwa kita ini negara besar. Kunjungan Presiden ke luar negeri harus memainkan peran untuk perdamaian dunia dan sekaligus juga untuk kemajuan dunia,” ungkapnya.

Terkait eks ISIS, Muhammadiyah dan Kemenlu memiliki kesamaan pandangan. “Bahwa ISIS merupakan paham ekstrem yang kita tolak. Mereka yang terlibat dalam ISIS dan melakukan teror, itu kena hukum internasional,” imbuhnya. Muhammadiyah setuju dengan sikap pemerintah RI yang tidak akan memulangkan WNI yang menjadi bagian dari komplotan ISIS. Di antara mereka bahkan ada yang sengaja membakar pasport dengan alasan Indonesia adalah negara taghut.

Warga Negara Indonesia eks ISIS yang tersebar di Suriah, kata Haedar, harus dilakukan pendataan terlebih dulu. Jika ada isu mereka ingin pulang, perlu didata yang ingin pulang ada berapa orang. Terutama anak-anak dan perempuan yang telah terindoktrinasi ideologi ISIS, harus diperhatikan dengan seksama. “Jika dipulangkan, harus melalui karantina ideologis. BNPT bisa membina mereka. Mereka ini manusia, bukan virus,” ujarnya.

“Muhammadiyah siap membantu untuk memoderasi. Muhammadiyah melawan radikal dengan moderat, tidak dengan radikal. Terkait dengan pensikapan terhadap berbagai kecenderungan radikal tersebut, Haedar mengingatkan supaya ditempuh pendekatan dan cara yang komprehensif. Muhammadiyah menawarkan blocking area. Kasus kecil jangan dibesar-besarkan. Jangan digeneralisir.” Menurutnya, hal ini menjadi penting supaya energi bangsa tidak terserap untuk urusan yang tidak esensial.

Serupa dengan ini, Haedar mengingatkan pejabat publik untuk lebih arif mengurus urusan publik supaya tidak menimbulkan kegaduhan baru. Semisal tentang pernyataan salah satu pejabat di lingkup unit pembinaan Pancasila. Haedar menjelaskan,  “Agama itu positif untuk Pancasila. Bung Karno sebagai penggali Pancasila itu bertuhan. Pandangan yang salah tentang agama menimbulkan salah pandang tentang Pancasila. Perlu kita memperluas horison kita memandang agama dan Pancasila. Kalau agama dan Pancasila dipertentangkan, maka yang muncul konflik.” (ribas, bahan: adam)

Baca juga:

PP Muhammadiyah Desak PBB, OKI dan Liga Arab Tangani Kekerasan di Palestina

Trump Membuka Kotak Pandora Konflik Palestina-Israel

Kunjungi PP Muhammadiyah, Menlu Retno Bahas Langkah Indonesia untuk Palestina

Jihad Selfie, Kisah Perekrutan ISIS Melalui Sosial Media dan Peran Orang Tua

 

Exit mobile version