SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Masa lalu selalu aktual. Demikian dikutip dari Historia oleh Ahmad Muarif dalam Majelis Reboan, Rabu, 12 Februari 2020 yang bertempat di Rumah Baca Komunitas, Kanoman, RT.04/RW.05, Banyuraden, Gamping, Sleman.
Majelis Reboan yang digagas oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) berupaya memberi ruang diskusi untuk evaluasi internal Muhammadiyah dan membicarakan keresahan-keresahan yang muncul di Muhammadiyah. Selain itu Majelis Reboan juga diharapkan dapat menstimulus munculnya ide-ide dan gagasan baru untuk Muhammadiyah di masa depan.
Masa depan tidak pernah lepas dari masa lalu. Bukan peristiwanya yang berulang, namun gagasannya yang muncul kembali. Oleh karena itu untuk mempersiapkan diri di masa depan, masa lalu tidak bisa serta-merta dilupakan.
Untuk menjawab kegelisahan tersebut maka Majelis Reboan mengambil tajuk Memuliakan Arsip, Memulihkan Sejarah Muhammadiyah untuk didiskusikan pada Rabu (12/2/2020) lalu. Pertemuan tersebut mengangkat isu pengarsipan dan kesadaran terhadap penulisan sejarah di Muhammadiyah. Diskusi dipantik oleh Ahmad Muarif (Redaktur Suara Muhammadiyah) dan David Efendi (Majelis Pustaka dan Informasi, Ketua Serikat Taman Pustaka).
Pengarsipan di Muhammadiyah, seperti disampaikan oleh Muarif, dianggap masih sangat kurang. Barang-barang seperti buku, majalah, dan dokumen yang seharusnya disimpan secara sistematis oleh Muhammadiyah malah tidak terlacak keberadaannya. Arsip yang dimiliki oleh perseorangan maupun lembaga di luar Muhammadiyah pun belum mampu diakuisisi. Berbagai pihak merasa ragu dalam mengarsipkan ke Muhammadiyah karena sistem yang kurang canggih.
David Efendi berharap agar arsip di Muhammadityah dapat dipulihkan dengan lebih canggih. Efendi juga menilai kesadaran penulisan sejarah di Muhammadiyah masih kurang. Hanya ada dua jurusan sejarah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di Indonesia, yaitu di Lampung dan Purwokerto. Selama ini sejarah Muhammadiyah sangat Jogjasentris. Sementara itu sejarah di ranting, cabang, daerah, maupun wilayah nyaris tidak terdokumentasi. Padahal sejarah Muhammadiyah bisa dirunut mulai dari sejarah lokal. Muarif menyampaikan bahwa ketiadaan penulis sejarah menjadi masalah ketika sejarah diceritakan di akhir hayat para pelakunya. Keterangan-keterangan sejarah menjadi terlupakan dan tidak akurat akibat tidak dicatat. Sejarah Muhammadiyah menjadi susah untuk dipahami secara mendalam karena sumber yang kredibel tidak mudah didapat.
Arsip yang diam tidak memiliki arti. Sama halnya dengan tulisan, tidak berharga jika tidak dimaknai. Majelis Reboan mewacanakan beberapa gagasan seperti penghidupan arsip lewat Museum Muhammadiyah. Arsip-arsip Muhammadiyah yang tersebar juga harus diakuisisi secara revolusioner. Untuk penyimpanan arsip dapat dimulai dengan pengadaan record center, optimalisasi PTM sebagai penyimpan arsip, serta pengadaan lembaga khusus pustaka atau pengarsipan. Selain itu penulisan sejarah di pimpinan lokal seperti ranting, cabang, daerah, dan wilayah harus didorong sejak dini. Sebab, hari ini suatu saat akan menjadi masa lalu.
Muktamar ke-48 sudah nampak di depan mata. Akan sangat disayangkan jika Muktamar hanya menjadi sebuah acara rutin yang mempertemukan berbagai komponen, pengurus, dan simpatisan secara fisik. Di sisi lain, ide-ide dan gagasan yang muncul dan tumbuh di Majelis Reboan hanya akan menjadi ide dan gagasan jika tidak dieksekusi. Hasil-hasil diskusi oleh AMM khususnya Majelis Reboan diharapkan dapat didokumentasikan untuk kemudian diberikan sebagai bekal dan disampaikan dalam forum Muktamar. Apalagi, Muktamar semestinya menjadi sebuah ajang dipertemukannya ide serta gagasan demi perkembangan Muhammadiyah di masa depan. (Labibah Hanoum Hanif Salsabila)