Pertimbangan untuk Menikah

Pertimbangan untuk Menikah

BANTUL, Suara MuhammadiyahMas, Aku Gak Mau Coklat, Aku Maunya Akad menjadi tema yang sedikit berbeda untuk Kamastu (Kajian Malam Sabtu), yang bertepatan dengan tanggal 14 Februari 2020 lalu. Kajian yang digagas oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY dan bertempat di aula Gedung PWM DIY ini berlangsung tanpa menyentuh perdebatan yang berkaitan dengan cokelat dan bulan Februari. Kamastu kali ini hadir bersama ustaz Restu Sugiharto semata-mata untuk menanggapi keresahan yang hadir ketika mengimpikan sebuah pernikahan.

Restu Sugiharto menekankan di awal bahwa selama tidak benci terhadap gagasan pernikahan, jika tidak sempat menikah hingga akhir hayat sebenarnya tidak masalah. Banyak ulama yang menghabiskan umur dengan berkarya sehingga tidak sempat menikah. “Sekarang yang terjadi di luaran sana banyak yang satu sisi tidak pengen menikah, sisi lain tidak jelas pekerjaannya apa,” ungkap Sugiharto.

Kebanyakan orang tidak sungguh-sungguh memikirkan untuk menikah. Seiring waktu berjalan, semakin lama akan semakin ragu untuk menikah. Salah satu alasan menunda adalah soal penghasilan. Padahal, orang tua zaman ini seringkali hanya melihat usaha apa yang dimiliki oleh seorang yang melamar, bukan penghasilannya. Tidak perlu ragu ketika merasa belum mapan, asal sudah ada usahanya, serta mampu meyakinkan orang tua dan calon mertua.

Sugiharto merekomendasikan Teori Seribu milik Buya Hamka untuk membantu memilih. Teori Seribu mengumpamakan agama sebagai angka satu, sedangkan penampilan, harta, dan keturunan diibaratkan dengan nol. Perumpamaan yang sedemikian rupa mencoba menyatakan bahwa penampilan, harta, dan keturunan tidak berarti apa-apa tanpa adanya agama.

Niat untuk menikah yang belum lurus juga menjadi penghambat. Syarat niat ada dua. Yang pertama adalah menyebutkan apa yang ingin dilakukan, dalam hal ini adalah menikah. Kemudian yang kedua adalah niat ikhlas karena Allah. Sugiharto mengungkapkan bahwa kekakuan mengenai urusan keduniaan, seperti paras, fisik, harta, pekerjaan, dan lain sebagainya juga turut menjadi faktor terhambatnya pernikahan.

Doa adalah senjata orang beriman. Untuk memperkuat doa, beliau menyarankan untuk berdoa dengan detail dan terus-menerus, memanfaatkan waktu-waktu mustajab seperti sebelum subuh maupun pada sujud terakhir, dan memperluas pula peluang dengan memperbanyak sedekah.

Pada sesi tanya jawab, perihal pilihan orangtua dan pilihan sendiri, beliau menyarankan untuk memusyawarahkan dengan membuka diri terhadap pilihan orang tua sebelum menawarkan pilihan sendiri. Sementara tentang perjodohan yang belum berhasil, Sugiharto menyatakan bahwa orang yang gagal adalah yang berhenti selangkah sebelum sukses.

Beliau menekankan bahwa sikap tidak bisa move on menghalangi jodoh yang seharusnya datang. Orang yang sudah berjodoh dengan orang lain, maka ia bukan jodohnya. Sehingga jika ada seseorang yang tidak bisa move on, beliau berpesan bagi saudara atau temannya untuk mendoakan dari jauh.

Mengenai usia pernikahan ideal untuk perempuan, dengan pertimbangan batas sehat hamil di usia 30, beliau menyarankan usia pernikahan bagi perempuan di angka 25. Namun, jika pada usia tersebut belum menikah, maka hal tersebut bukanlah sebuah masalah.

Untuk menutup acara, panitia membagikan enam bungkus cokelat. Empat untuk para penanya dan dua untuk pasangan suami-istri serta kakak-adik yang hadir. Dengan demikian, jamaah yang datang mungkin menginginkan akad, tapi juga tidak menolak cokelat. (LHHS)

Exit mobile version