YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih yang ke-31 pada tanggal 14-17 April 2020 di Universitas Muhammadiyah Gresik, Jawa Timur. Sebagai forum tertinggi di lingkungan tarjih Muhammadiyah, Munas bertujuan menetapkan ketentuan atau kebijakan dalam persoalan agama melalui perspektif tarjih. Para ulama dari setiap utusan daerah di Indonesia diundang untuk membahas persoalan yang telah ditentukan Dalam Munas kali ini, beberapa isu dan tema penting akan dibahas.
Tema pertama adalah tentang fikih zakat kontemporer. Zakat merupakan ibadah ijtima‘iyah (berorientasi sosial) yang berbeda dengan ibadah mahdlah lainnya. Sebagai ibadah sosial, konsep zakat dapat mengalami perkembangan dengan memberlakukan kias sebagaimana para fukaha terdahulu. Aneka ragam variasi zakat modern banyak ditemukan, dibandingkan dengan jumlah klasifikasi zakat dalam fikih klasik.
Hal ini karena posisi strategis zakat sebagai ibadah sosial, terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan dalam Islam. Zakat menjadi piranti utama yang diberikan Allah untuk mewujudkan salah satu tujuan syariah (maqashid asy-syariah), yaitu menjaga harta manusia agar tercapai suatu keadilan distributif yang nyata. Oleh sebab itu, potensi-potensi ekonomi seperti profesi, pertanian dan perkebunan, termasuk perdagangan, lembaga dan perusahaan layak dimasukkan dalam dimensi yang perlu di-tasharuf-kan zakatnya.
Memperhatikan potensi filantropi warga Muhammadiyah yang mencapai 365 milyar per tahun, diperlukan usaha-usaha kreatif dan efektif agar potensi tersebut dapat diberdayakan untuk meningkatkan kesejahteran umat. Lazismu sebagai salah satu trisula baru gerakan Muhammadiyah sesungguhnya telah menyusun suatu pedoman zakat, namun diperlukan reintepretasi dan revisi untuk menampung berbagai persoalan baru yang memerlukan solusi segera. Dengan alur di atas, dipandang perlu melakukan kajian terhadap perkembangan manifestasi dan praktik zakat di Indonesia, yang dinilai sebagai ikhtiar implementasi nilai-nilai Islam di segala bidang, termasuk ekonomi keumatan.
Tema kedua adalah tentang isu yang akhir-akhir ini sedang hangat, terutama setelah peristiwa perundungan siswa difabel di Purworejo, Jawa Tengah. Karena itu fikih difabel akan menjadi isu kontemporer yang akan diangkat di Munas Tarjih ke-31. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam berkemajuan yang selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman sehingga bersifat kekinian, relevan dengan keadaan dan selalu melakukan usaha-usaha dakwah pencerahan, dituntut untuk lebih perhatian kepada kelompok rentan.
Dalam hal ini kelompok difabel dengan menggali nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi asas gerakannya untuk dituangkan dalam suatu rumusan yang dapat menjadi pedoman bagi anggota masyarakat secara umum dan bagi warga Muhammadiyah secara khusus. Untuk merealisasi kepentingan tersebut perlu disusun suatu pedoman yang memuat pandangan Islam terhadap disabilitas, pemenuhan dan perlindungan haknya, dalam fikih difabel yang mencakup aspek ibadah, muamalah dan akhlak, dan lainnya.
Tema ketiga adalah soal fikih agraria. Majelis Tarjih memandang problem agraria yang selalu melibatkan kompleksitas persoalan, karena berkaitan dengan tanah dan segala sesuatu yang ada di dalam dan di atasnya, perlu pula untuk dikaji. Tanah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena di atas tanah itu lah manusia bertempat tinggal dan melangsungkan hidupnya.
Oleh karenanya tanah dapat dilihat dari semua dimensi kehidupan manusia; ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Dalam perspektif Islam, tanah banyak dibicarakan dalam al-Quran dan hadis baik kedudukannya sebagai awal penciptaan manusia (Q.S. Shaad [38] ayat 71, kedudukan tanah, fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan manusia, dan lainnya. Sementara di Indonesia, sejak awal kemerdekaan Pemerintah telah mengeluarkan beberapa aturan tata kelola agraria, baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah lainnya yang terus mengalami perubahan. Namun demikian, problem agraria di Indonesia masih terus saja membutuhkan penyelesaian.
Konflik agraria terus terjadi dan pengurangan ketimpangan dalam struktur penguasaan lahan masih jauh dari harapan. Indonesia adalah negara yang berdasar ketuhanan, dan muslim menjadi populasi mayoritas, sehingga perspektif Islam dalam pembaruan dan tatakelola agraria sangat dibutuhkan. Panduan tatakelola agraria yang bersumber dari ajaran Islam, diperlukan untuk melengkapi dan memperkuat implementasi kebijakan pemerintah tentang pembaruan dalam tata kelola agraria. Pada titik inilah perumusan Fikih Agraria menemukan urgensi dan relevansinya.
Tema keempat adalah risalah akhlak Islamiyyah. Muhammadiyah sebagaimana ditegaskan dalam Anggaran Dasarnya, adalah gerakan Islam dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, [dan] berasaskan Islam [ADM, ps. 4 ayat (1) dan (2)]. Gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar dilakukan oleh Muhammadiyah dalam semua aspek kehidupan, yang dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah (ARTM) dipadatkan dalam 14 butir usaha.
Dalam butir keempat berupa usaha meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumber daya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlak mulia. Sebagai konkretisasi dari usaha-usaha itu, Muhammadiyah dituntut untuk menggali nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi asas gerakannya untuk dituang dalam suatu rumusan yang dapat menjadi pedoman bagi anggota masyarakat secara umum dan bagi warga Muhammadiyah secara khusus. Pembinaan akhlak adalah suatu unsur penting dalam pembangunan sumber daya insani yang berkualitas dan secara teologis kesempurnaan akhlak merupakan bagian dari kesempurnaan iman. Secara sosial akhlak juga merupakan unsur penting dalam pergaualan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial) antar sesama dan lingkungannya yang tak terelakkan.
Dalam konteks ini terjadi saling memerlukan dan karena itu tidak mustahil terjadi perbenturan kepentingan. Karenanya perlu disusun suatu pedoman yang memuat norma-norma akhlak, atau risalah tentang akhlak. Risalah akhlak ini mengambil dua bentuk: Pertama, risalah akhlak reflektif/filosofis dengan pendekatan filosofis persuasif dengan pendekatan burhani kum irfani, yang lebih bersifat rasional-reflektif, dengan tetap menekankan sentuhan kalbu yang kuat yang dapat memberikan efek psikologis dan moril yang impresif. Kedua, risalah akhlak praktis sebagai pedoman tingkah laku dengan pendekatan bayani, dengan tujuan risalah ini dapat menjadi bahan pengajian, khutbah, ceramah, kultum dan semacam itu. Kedua bentuk risalah ini bukan dua pedoman yang berbeda, melainkan satu kesatuan yang saling melengkapi dan saling berkeselarasan.
Tema kelima adalah tentang isu euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan medis kepada pasien yang menghadapi kematian untuk mengakhiri hidupnya dengan tindakan aktif dan disengaja. Dalam perspektif Islam, segala sisi kehidupan manusia memiliki arti, termasuk di saat mengalami sakit sebagai proses pengguguran dosa. Karenanya, bagi pasien yang mengalami kondisi sakit yang sangat parah pun harus mendapatkan perawatan paliatif yang sah dan profesional di mana saja dan untuk siapa pun. Bahkan ketika upaya-upaya untuk melanjutkan pencegahan kematian tampak sangat berat, seseorang secara moral dan keagamaan tetap wajib untuk memberikan kenyamanan, pengurangan rasa sakit dan gejala penyakit, memberikan pendampingan, bantuan perawatan dan spiritual kepada pasien yang menghadapi kematian dan kepada keluarganya. Atas dasar inilah, maka kajian tentang Eutanasia perlu dilakukan dan diputuskan dengan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan aspek bayani, burhani dan irfani.
Tema terakhir yang tidak kalah penting adalah tentang pengembangan dan penyempurnaan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Dalam rangka itu, akan dikaji beberapa persoalan, yaitu; Pertama, tentang Kriteria Waktu Subuh yang masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan khususnya kalangan ahli fikih dan pakar astronomi yang menurut hasil penelitian disimpulkan bahwa awal waktu subuh di Indonesia terlalu cepat yang dapat berimplikasi pada banyak aspek dalam masalah agama. Kedua, tentang puasa Ayyamul Bidh dan puasa tiga hari setiap bulan sebagai salah satu bagian dari puasa tatawwuk, untuk memenuhi aspek legalitas formal sebagai sebuah putusan resmi organisasi dan dimasukkan ke dalam bagian dari puasa sunah sebagaimana telah diputuskan pada Munas Tarjih sebelumnya. Demikian pula tentang sujud sahwi dan shalat sunah sesudah wudu. Ketiga, tentang Kaifiyah Shalat Istisqa’ untuk mendapatkan kejelasan tata cara pelaksanaannya, yang oleh sebagian kalangan dianggap sama dengan tata cara pelaksanaan shalat ‘Idain yang didasarkan pada pemahaman terhadap teks matan hadis, Kaifiyah Shalat Gaib serta tentang status Shalat Jumat yang dijamak dan diqasar dengan shalat Asar yang pada Munas Tarjih sebelumnya belum tuntas diputuskan. (Niki Alma)