Oleh: Muh. Akmal Ahsan
(Kader IMM DIY)
Juli 2020 mendatang Muhammadiyah menggelar Muktamar ke-48 di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Mengusung tema “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”, agenda ini adalah kegiatan sakral untuk kembali mengkaji dan menarasikan ke arah mana sebenarnya gerakan Muhammadiyah menuju. Maka demikian, sangat baik untuk menggunakan momentum ini sebagai ruang untuk secara kontemplatif memikirkan orientasi Muhammadiyah yang sudah barang tentu memiliki tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding awal kehadirannya. Tugas tersebut, dalam jangka waktu yang lebih panjang telah diemban oleh kaum muda Muhammadiyah; mereka yang telah mengisi posisi strategis di Ortom maupun Amal Usaha Muhammadiyah.
Tahun-tahun terakhir kita memang sedang akrab dengan istilah millenial dan generasi Z. Generasi millenial hingga kini paling tidak berada pada kisaran usia 40 (generasi tua millenial), sedangkan generasi Z sedang berada pada kisaran usia 25 (generasi tua generasi Z). Pada posisi inilah sebenarnya generasi muda Muhammadiyah bertengger, mereka telah mengisi posisi strategis di dalam maupun di luar Muhammadiyah. Ada yang merambah dunia politik, kewirausahaan, ekonomi dan lain sebagainya. Sementara lainnya ada jua yang masih setia dalam upaya pembinaan ideologi Muhammadiyah dari dalam tubuh Muhammadiyah itu sendiri; mereka ialah kaum muda yang mengabdikan dirinya di dalam Organisasi Otonom dan Amal Usaha Muhammadiyah.
Keberadaan kaum muda Muhammadiyah adalah realitas historis yang tak dapat dielakkan. Mereka memiliki fungsi dan perannya masing-masing yang tentunya sedikit banyak lebih memiliki pikiran dan gerakan yang lebih segar dibanding para tetua. Bukan hanya itu sebenarnya, perbedaan corak intelektualitas di dalam tubuh cendekiawan muda perlu untuk terus diberikan ruang agar tetap terus mengembangkan diri dan mengembangkan narasi kolektif persyarikatan.
Tantangan Muhammadiyah
Memasuki abad kedua keberadannya, Muhammadiyah memang mendapatkan tantangan yang begitu besar, sementara seringkali tantangan tersebut tak senada dengan kualitas kaum muda saat ini. Arus globalisasi dan modernitas nyatalah telah banyak menggerus upaya pengembangakan kualitas pemuda.
Di tahun-tahun terakhir, sesungguhnya tantangan yang paling berat adalah soal militansi ber-Muhammadiyah. Kita memang sedang berada pada desakralisasi multidimensional, termasuk didalamnya ialah desakralisasi nilai, ideologi dan prinsip persyarikatan. Kita tidak sedang berbicara seberapa hapal pikiran kita dengan tujuan Muhammadiyah dan atau seberapa sering kita membaca Himpunan Putusan Tarjih. Kita sedang menyoal seberapa jauh pemaknaan kita kepada prinsip yang dianut oleh perysarikatan. Luput memaknai berimbas fatal, paling tidak kita akan menjebak diri dalam teknikalisasi dan kuantifikasi akut. Lebih-lebih kepada arus pragmatisme gerakan.
Sementara di tubuh Muhammadiyah sendiri, soliditas dan solidaritas kader kian menunjukkan kelemahan dan pelemahan. Dampak arus eksternal, khususnya soal politik nasional sering menjadi hantu polarisasi yang menakutkan bagi solidaritas persyarikatan, sementara tarikan untuk turut terlibat dalam politik praktis kian mengemuka. Tentu hal ini sangat merugikan bagi agenda Muhammadiyah ke depan yang memerlukan sokongan solidaritas yang kuat.
Sementara itu, tantangan dari dalam lebih banyak berkelindang pada sisi kompetisi untuk mengelola Ortom dan Amal Usaha Muhammadiyah. Kita bisa melihat ini pada pertikaian pragmatis saat perhelatan musyawarah untuk mengisi kepemimpinan di tingkat Ortom maupun Aum. Ini sama sekali tidak menguntungkan orientasi persyarikatan ke depan, bahkan pada posisi paling menakutkan dapat menjadi hantu polarisasi dan egosektoral akut di internal Muhammadiyah.
Dalam konteks global, tantangan Muhammadiyah sesungguhnya adalah upaya untuk tetap bertahan dalam persaingan ideologi dan gerakan transnasional. Tentu dalam hal ini adalah upaya bertahan dari serangan ideologi sekularisme dan konservatisme agama, termasuk ejawantah gerakan radikal yang hingga kini masih terus diperbincangkan secara terang di ruang publik.
Tugas Intelektual Muda Muhammadiyah
Menghadapi tantangan tersebut, saya pikir beberapa agenda yang mesti diperbincangkan adalah: pertama, penguatan ideologi Muhammadiyah dan upaya untuk tetap merekonstruksi daya sakralitas nilai persyarikatan. Termasuk memahami posisi Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi dan dinamisasi. Dalam kaitan itu, saya pernah menuliskan,”ada kontradiksi diameteral, ketegangan antara purifikasi dan agenda dinamisasi Muahmmadiyah, ini adalah kesadaran awal untuk menuju kesadaran selanjutnya, paling tidak untuk memahami bahwa kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah pada hakikatnya berarti sama dengan menuju perubahan dan kemajuan. Maka menurut saya agenda intelektual Muda Muhammadiyah merupakan agenda jangka panjang khususnya dalam mengkaji aspek normativitas dan Islam dan historisitas keberaannya ditengah zaman yang sarat pertarungan narasi dan gerakan”. Pada posisi inilah, kaum muda Muhammadiyah yang berjumlah banyak mesti memiliki pemaknaan yang kuat kepada nilai dan prinsip persyarikatan. Sekali lagi, bukan soal hapalan.penguatan ideologi yang kami maksud berarti upaya untuk merekonstruksi dari dalam upaya membumikan nilai dan prinsip Muhammadiyah.
Kedua, penguatan kompetensi intelektual. Ini adalah bagian penting dalam upaya menjaga ideologi persyarikatan dengan basis intelektual. Ke depan, Muhammadiyah sangat membutuhkan kader dan pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual yang mapan, selain pemahaman ideologi yang kuat. lebih-lebih dalam upaya membaca dan menganalisis keadaan. Muhammadiyah membutuhkan intelektual yang mampu mengucapakan keadaan dan mengargumentasikan gagasan dengan tenang, tidak reaktif-reaksioner.
Ketiga, penguatan soliditas dan solidaritas. Bahwa sedikit gesekan internal ditubuh persyarikatan adalah hal yang wajar, ini adalah implikasi intrpetatif nilai-nilai ideal disetiap pikiran para kader. Namun solidaritas harus tetap terbangun, Muhammadiyah dalam orientasi gerakannya yang kompleks tidak boleh terjebak dalam polarisasi baik yang datang dari internal persyarikatan maupun potensi konflik yang berasal dari luar Muhammadiyah. Kaum muda Muhammadiyah, dalam ragam cara pandangnya masing-masing, harus memiliki titik persimpangan yang menjadi titik acuan untuk menyatukan cara pandang.