Muhammadiyah dan Hamka di Dunia Melayu

Judul               : Reformisme Islam di Nusantara

Penulis             : Khairudin Aljuneid

Penerjemah      : Dian Faradila

Penerbit           : Suara Muhammadiyah

Cetakan           : 1, November 2016

Tebal, ukuran  : xxii + 150 hlm, 13 x 20 cm

 

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, dari jumlah 4 jutaan penduduk Singapura, 15 persen di antaranya merupakan umat Islam. Sebagian besar Muslim berasal dari etnik Melayu Sunni, minoritasnya merupakan Muslim etnik India, Arab, Cina, Eropa, Eurasia, dan sekelompok kecil Syiah yang umumnya keturunan India (hlm 9-10).

Muslim Singapura merupakan komunitas Muslim minoritas yang tinggal di negara sekuler. Mereka tidak punya kesempatan besar berpartisipasi dalam kegiatan politik dan menghasilkan kebijakan publik. Mereka perlu menyesuaikan diri dengan konteks ideasional, politik, sosial, budaya yang berkembang. Suasana psikologi semisal ini tidak dialami oleh Muslim Indonesia yang mayoritas.

Di antara komponen Muslim minoritas itu adalah Muhammadiyah Singapura yang menganut paham keagamaan reformis. Pada awal mula, pandangan mereka banyak dipengaruhi pemikiran Hasan Bandung dan Buya Hamka. Gerakan Muhammadiyah Singapura berawal dari dakwah yang dilakukan oleh tiga ulama dari Sumatra daratan dan Kepulauan Riau: Rijal Abdullah, Abdul Rahman Harun, dan Amir Esa. Mereka merupakan migran dari Indonesia pasca-revolusi tahun 1949 (hlm 11).

Rijal Abdullah mengajar di Masjid Paya Goyang, Amir Esa dan Abdul Rahman Harun berdakwah di Kampung Melayu dan Lorong Tai Seng. Mereka mengajak pada pemurnian Islam, kembali ke Sunnah, dan mengusung modernitas. Pertengahan 1950-an, semakin banyak yang menimba ilmu pada tiga ulama muda ini. Bersamaan dengan semakin banyak penentangan dari masyarakat Muslim secara umum. Ketiga ulama ini dituduh penganut heterodoks, Ahmadiyah, aliran sesat yang tidak bermazhab Syafii.

Banyaknya penentangan ini, mendorong seorang guru dan peserta kajian, Ali Hainin untuk menyatukan peserta kajian dalam sebuah gerakan. Pada pertemuan 25 Mei 1957, disepakatilah pembentukan organisasi dakwah, Persatuan Muhammadiyah Singapura. Dinyatakan bahwa organisasi ini memiliki persamaan ide-ide reformasi dan modernisasi seperti Muhammadiyah Indonesia, namun Muhammadiyah Singapura bukanlah cabang resmi Muhammadiyah Indonesia. Pada 25 September 1958, Muhammadiyah Singapura didaftarkan secara resmi di Registry of Societies (hlm 16-18).

Para pendiri gerakan ini menyerukan bahwa Singapura bukanlah darul Islam atau darul harb, namun darul dakwah. Nama Muhammadiyah dipilih untuk menunjukkan komitmen berpegang pada ajaran Nabi Muhammad. Pemerintah kolonial Inggris mengawasi secara ketat. Bahkan, petugas intelijen Inggris menyebut Muhammadiyah Singapura sebagai turunan dari gerakan puritanisasi agama Wahabi di Arab Saudi (hlm 17).

Bagian selanjutnya, buku ini menggambarkan tentang kiprah dan pemikiran Buya Hamka, salah satu tokoh penyebar ideologi reformis di Asia Tenggara. Sosok pembelajar otodidak ini yang tidak mengeyam bangku sekolah ini mampu menyemaikan banyak gagasan pembaharuan yang diterima secara luas oleh Muslim Melayu. Salah satu gagasan Hamka yang dipotret buku ini adalah terkait dengan paradigma gender. (ribas)

Exit mobile version