Muhammadiyah dan Salafi Wahabi

Muhammadiyah dan Salafi Wahabi

Dr Agung Danarto MAg

Secara geneologis, salafi wahabi berakar pada Ahmad Ibn Hanbal, seorang Imam mazhab yang juga ahlu hadis. Paradigmanya adalah meneliti hadis (sanad dan matannya). Hadis atau sunnah Nabi tersebut diikuti secara literal. Legitimasinya adalah QS. Al-Ahzab ayat 21. Jika dilakukan nabi, maka diikuti (ittiba’) secara apa adanya. Salaf dimaksudkan sebagai orang-orang yang mendahului yaitu para sahabat dan thabi’in.

Pola pemikiran ahlu hadis ini di kemudian hari diteruskan oleh Ibnu Taimiyah dan dikembangkan secara lebih luas oleh Muhammad Ibn Wahab. Ibnu Wahab menggunakan metode ahlu hadis dengan penekanan pada aspek tauhid (akidah) dan melahirkan paham agama yang kaku. Ada yang menyebut bahwa salafi wahabi mengikuti Imam Ahmad dalam bidang fikih dan mengikuti Ibnu Taimiyah dalam bidang akidah.

Ajaran Ibn Wahab yang bersinggungan dengan Ibn Sa’ud menghasilkan dakwah yang keras. Perilaku takhayul, bid’ah, dan khurafat dilawan secara keras. Makam dan situs sejarah banyak dihancurkan secara paksa. Ibn Wahab sebagai syeikh dan Ibn Sa’ud sebagai amir berperan penting bagi Arab Saudi modern.

Baca juga : Anatomi Gerakan Wahabiyah

Dekade 1970-an, Saudi membangun banyak perguruan tinggi. Karena keterbatasan SDM, didatangkan banyak doktor Mesir yang berpaham Ikhwanul Muslimin. Mereka kemudian memadukan paham ikhwan dan wahabi, melahirkan salafi haraki/sururi. Di antara tokohnya adalah Muhammad Surur al-Nayyef Zainal Abidin, Safar al-Hawwali, Salman al-Audah, Aiman Zuwahiri, dan tokoh Gerakan al-Sahwah al-Islamiyah.

Salafi haraki ini memiliki ciri: menggabungkan pilar sentral pemikiran salafi berupa tauhid dengan pemikiran sentral Ikhwanul Muslimin berupa hakimiyah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah); mengawinkan ideologi Sayyid Quthb dengan keyakinan Wahabisme; menghubungkan ekslusivisme salafi dengan oposisi Ikhwan terhadap rezim sekuler; menolak semua rezim Muslim kecuali Saudi sebagai representasi negara Islam murni.

Salafi haraki, terbagi dua. Pertama, revolusioner ala Sayyid Quthb. Kelompok ini menjadi pendukung organisasi jihad, seperti Al-Qaeda, Jama’ah Islamiyah, ISIS. Kedua, non-revolusioner ala Hasan al-Banna. Kelompok ini mendirikan partai politik berbasis salafi di Kuwait, Yaman, dan Mesir.

Pemahaman keagamaan yang hitam-putih dan kebenaran tunggal di dalam teks, menjadikan pengikut Salafi Wahabi saling klaim kebenaran dan tahzir. Yang benar-benar Islam hanya kelompoknya, bahkan bekerjasama dengan kelompok lain dianggap sebagai penyimpangan dari manhaj salaf. Ada kelompok salafi yang menerima dana funding dari luar kelompoknya, lalu dikafirkan. Salafi haraki yang dekat dengan pengusaha dan penguasa di Saudi, mendapat banyak sokongan dana untuk meluaskan dakwah.

Ketika salafi haraki membesar, muncul kelompok puritan yang ingin memurnikan Wahabi dari pengaruh Ikhwan yang dikenal dengan salafi yamani.

Salafi yamani umumnya alumni Madrasah Salafiyah Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, yang terletak di desa Dammaj, kota Sa’dah, Yaman. Mereka bergerak di bidang dakwah. Politik dan organisasi dipandang sebagai bid’ah, namun realitasnya justru taat pada ulul amri. Salafi yamani ini menganggap siapa pun yang ingin menggoyang pemerintahan sebagai tindakan bughat. Mereka mengkritik keras salafi haraki dan tokoh Ikhwanul Muslimin.

Salafi jihadi berpandangan (1) Orang hidup harus bertauhid. Tidak bertauhid berarti kafir dan boleh dibunuh, (2) Laa hukma illa lillah. Negara sekuler harus diganti, (3) Al-wala’ wal barra’. Harus setia kepada pemimpin Muslim dan menolak pemimpin kafir, (4) Jihad, (5) Takfiri. Tokohnya antara lain Abdullah Azzam, Abu Muhammad al-Maqdisi, Abu Mush’ab al-Zarqawi, Abu Umar al-Baghdadi, Abu Hamza al-Muhajir.

***

Muhammadiyah mengedepankan sikap moderat dalam paham keagamaan. Islam yang mengandung nilai-nilai kemajuan tidak harus diformalisasi dalam bentuk negara Islam, namun diaktualkan nilai ajarannya dalam semua bidang kehidupan. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid menggunakan manhaj tersendiri.

Pada tahap ekstrem, wahabi memandang orang yang beribadah kepada selain Allah adalah kafir, dan boleh dibunuh. Allah Maha Esa dalam menerima ibadah, maka tidak boleh berdoa melalui perantara (wasilah). Meminta pertolongan kepada syekh atau wali yang sudah mati adalah syirik.

Wahabi berpandangan bahwa berdzikir dan membaca wirid dengan menggunakan tasbih adalah haram. Cukup dengan menghitung ruas jari. Bidah, takhayul, dan khurafat wajib dibasmi. Termasuk bid’ah adalah memperingati maulid nabi saw, menyelenggarakan halaqah dzikir, membaca kitab manaqib, kitab tawassulat, dan dalail al-khoirot.

Pintu ijtihad, menurut wahabi, tidak tertutup. Tidak boleh taqlid dalam beragama. Sumber ajaran Islam hanya al-Quran dan Sunnah yang dipahami literal. Ijtihad bukan sebagai sumber, melainkan metode. Jika terdapat pertentangan antar imam mazhab, maka diambil penegasan dari Quran dan Sunnah. Dalam prakteknya, wahabi dekat dengan mazhab Hanbali.

Ketika penghasilan minyak Arab Saudi sedang berjaya dan dikenal sebagai negara petro dolar, sebagian dananya digunakan untuk kampanye Wahabisme. Lembaga funding di Indonesia antara lain Kuwaiti Charitable Foundation, Jam’iyat Ihya’ al-Turats al-Islamiy, dan The Qatari Sheikh Eid Charity Foundation.

Fenomena dakwah salafi modern di Indonesia terutama sejak era 1980-an dipelopori lulusan LIPIA Jakarta dan perguruan atau ma’had di Saudi Arabia, Yordan, dan Yaman. Mereka menyebarkan dakwah di tengah masyarakat, pesantren, dan kampus, melalui forum pengajian. Mereka juga eksis melalui Majalah As Sunnah dan Majalah Al-Furqon. Mereka mengklaim salafi sebagai kegiatan dakwah, bukan organisasi. Jaringan salafi di Indonesia beragam, dan tergantung pada ulama Timur Tengah yang dijadikan rujukan. Semisal ketika Syeikh Yahya al-Hajuri (menantu sekaligus pengganti Syeikh Muqbil di Dar al-Hadis) terlibat perselisihan dengan Syeikh Rabi’ al-Madkhali, berdampak pada perselisihan pengikutnya di Indonesia.

Pada mulanya, tokoh salafi tersebut merupakan kolega, namun seiring waktu, perselisihan doktrinal di antara mereka menjadi permasalahan serius hingga terfragmentasi menjadi beberapa faksi. Masing-masing faksi mengklaim sebagai yang paling selamat dan berjalan di atas manhaj salaf, sebagai firqah najiyah dan thaifah mansurah. Perselisihan di antara mereka sering membingungkan publik.

Gerakan salafi di Indonesia umumnya bercorak salafi yamani dengan ma’had dan lembaga yang dirintisnya. Salafi yamani tegas terhadap kelompok Islam yang dianggap menyimpang dari manhaj salaf dengan mengambil parameter fatwa Syaikh Rabi’ al-Madkhali dan Muqbil al-Wadi’i. Mereka misalkan menyebut Yusuf Qardhawi sebagai musuh Islam.

Salafi yamani di Indonesia dipimpin oleh Muhammad Umar as-Sewed dan Luqman Ba’abduh, serta alumni Dar al-Hadis Dammaj, Yaman. Para penggerak dakwahnya adalah Ja’far Umar Thalib (FKAW/Laskar Jihad), Yusuf Baisa (Ma’had al-Irsyad, Tengaran, Semarang), Abu Nida’ Khamsaha (Ma’had Bin Baz Yogyakarta), Yazid Abdul Jawwaz (Bogor), Ahmad Fais Asifuddin (Ma’had Imam Bukhari, Surakarta), Aunur Rafiq Ghufron (Ma’had al-Furqan, Gresik), Abdurrahman al-Tamimi (Ma’had Al-Irsyad, Surabaya).

Sementara tokoh semisal Abu Bakar Ba’asyir, Aman Abdurrahman, Jamaah Anshorut Tauhid, Jamaah Anshorud Daulah, merupakan para pengikut Salafi Jihadi. Sebagian besar mereka memiliki pengalaman jihad di Afghanistan.

Baca juga : Muhammadiyah dan Salafisme di Masa Transisi Demokrasi Indonesia

Gerakan pembaharuan Muhammadiyah memadukan gagasan besar: Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, hingga Ibn Wahab, yang diramu oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah melakukan purifikasi aspek akidah dan ibadah, dalam muamalah melakukan modernisasi atau dinaminasi. Wahabi penekanannya pada purifikasi.

Muhammadiyah memahami Qur’an dan Sunnah dengan akal pikiran yang sesuai jiwa ajaran Islam, sementara Salafi memahami secara literal. Muhammadiyah menerima kemoderenan serta melakukan modernisasi. Salafi menolak modernisasi, tapi menerima teknologi. Muhammadiyah menerima budaya Barat dan lokal yang sesuai ajaran Islam, serta melakukan islamisasi terhadap budaya lokal yang tidak islami. Salafi menolak budaya Barat dan lokal, serta mengacu pada budaya Arab yang tergambar dalam hadis.

Baca juga : Sering Dituduh Wahabi, Muhammadiyah Perlu Tunjukkan Sisi Kultural

Muhammadiyah berdakwah kepada Muslim dan non-Muslim dengan prinsip hikmah. Kepada non-Muslim didakwahi agar mengerti Islam, kepada Muslim agar menjadi muslim ideal. Salafi berdakwah kepada muslim saja agar bermanhaj salaf, non-Muslim dipandang kafir. Muhammadiyah ber-amar makruf nahi munkar. Secara individual melalui pengajian dan tabligh. Secara kelembagaan dilakukan sistematis melalui AUM dan filantropi. Salafi melakukannya dengan tahzir dan hajr al-mubtadi’ (mengisolasi atau menyingkirkan pelaku bid’ah).

Muhammadiyah turut mendirikan Indonesia dan memperjuangkan negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Indonesia sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah, tinggal mengisinya agar sesuai ajaran Islam. Salafi yamani patuh pada pemerintah, tetapi pasif. Salafi yamani berprinsip apolitik, tetapi mengidolakan kehidupan berbangsa seperti zaman Nabi. Salafi haraki dan jihadi menyimpan harapan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Muhammadiyah berpandangan bahwa akal adalah perangkat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk bisa survive serta memahami alam semesta dan teks keagamaan. Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Akal digunakan karena Islam diturunkan untuk semua manusia dengan berbagai latar budaya dan peradaban. Salafi mengabaikan peran akal dalam menafsirkan teks keagamaan. Bagi mereka, kebenaran itu tunggal dan terletak dalam wahyu dan respons manusia terhadap wahyu: taat dan ingkar.

Muhammadiyah berpandangan bahwa rasionalitas dan pengembangan ilmu sosial diperlukan untuk memahami teks dan untuk  membangun peradaban manusia yang maslahah. Salafi mengharamkan filsafat dan tasawuf.

Menurut Muhammadiyah, perempuan punya peran domestik dan publik. Perempuan boleh menjadi pejabat publik dan bepergian tanpa mahram bila aman dan terjaga dari fitnah. Muhammadiyah memfasilitasi perempuan berorganisasi melalui Aisyiyah. Perempuan sebagaimana laki-laki, harus mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya di semua bidang. Muhammadiyah mendukung pernikahan monogami untuk menciptakan keluarga sakinah, walaupun tidak mengharamkan poligami.

Menurut salafi, peran perempuan di sektor domestik. Perempuan bepergian harus didampingi mahram. Perempuan perlu mendapatkan pendidikan keagamaan dan bidang yang menopang peran domestiknya. Salafi mendukung poligami.

Bagi Muhammadiyah, berpakaian yang penting adalah menutup aurat. Boleh memakai pakaian tradisional, lokal, Arab ataupun Barat. Cara berpakaian salafi membiasakan empat identitas:  jalabiya (baju panjang terusan atau jubah), tidak isbal (celana di atas mata kaki), lihya (memelihara jenggot), dan niqab (memakai cadar bagi perempuan).

Bidang seni semisal aktivitas bermusik, bernyanyi, bermain drama, menurut Muhammadiyah, bisa menjadi media dakwah. Bagi salafi, seni adalah bid’ah dan haram. Menonton TV, bermusik, dan hiburan adalah terlarang.

Dalam penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, menurut Muhammadiyah,  metodenya ilmu hisab. Salafi menggunakan metode rukyat dan Idul Adha mengikuti ketentuan wukuf di Arafah. Muhammadiyah membolehkan zakat fitrah dengan uang dalam keadaan tertentu. Menurut salafi, zakat fitrah harus makanan pokok. Muhammadiyah berpandangan zakat bisa diberikan untuk kesejahteraan umum. Menurut salafi, zakat harus kepada 8 asnaf.

Peringatan maulid Nabi, menurut Muhammadiyah, boleh dilakukan jika membawa mashlahat. Maulid termasuk bidang muamalah. Menurut salafi, peringatan maulid Nabi mutlak haram. (ridha)

————————————–

Dr Agung Danarto, Sekretaris PP Muhammadiyah.

Catatan Redaksi:

Tulisan ini disarikan dari hasil wawancara wartawan SM dan paparan materi Agung Danarto dalam acara Rapat Konsolidasi PWM Aceh Bersama PDM se-Propinsi Aceh, Majelis, Lembaga dan Ortom tingkat wilayah Propinsi Aceh, tanggal 27-28 Juli 2019.

Tulisan ini dimuat pertama kali di Majalah Suara Muhammadiyah secara berseri pada rubrik Pedoman, edisi nomor 20 (16-31 Oktober 2019), nomor 21 (1-15 November 2019), dan nomor 22 (16-30 November 2019).

Tulisan ini dimuat kembali di Majalah Matan Edisi 162 Januari 2020, dan website pwmu.co pada 18 Februari 2020.

Exit mobile version