YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Salafisme merupakan istilah yang masih debatable. Istilah salafisme terkadang dikaitkan dengan pandangan wahabisme, suatu paham yang menginginkan ajaran Islam murni, merujuk pada al-Qur’an, Hadis, dan pandangan tafsir ulama salaf al-saleh. Lebih sempit lagi, merujuk pada pandangan akidah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Wahab, yang membagi akidah menjadi tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat.
Muhammad Hilali Basya menjelaskan perihal salafisme dalam acara bedah buku Muhammadiyah dan Salafisme, pada Kajian Malam Sabtu di Gedung PWM DIY (21/2/2020). Buku tersebut adalah hasil dari penelitian studi magister Basya di Universitas Leiden tentang Muhammadiyah dan Salafisme, khususnya tentang perlawanan cendekiawan Muhammadiyah terhadap revivalisme Islam pada masa awal reformasi.
Menurutnya, istilah salaf sebenarnya diperebutkan oleh banyak kelompok, dikarenakan salaf menggambarkan komunitas Islam ideal di masa awal. Bahkan beberapa pesantren klasik milik gerakan tradisional juga menggunakan nama ponpes salaf. Salaf dalam pandangan NU adalah ulama-ulama klasik yang sanadnya bersambung hingga Nabi.
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta Hilali Basya menyebut bahwa salafisme sebenarnya bisa bermakna lebih luas dari wahabisme. Hal ini karena salafisme berangkat dari Ibnu Taimiyyah, penganut mazhab Hanbali, namun menggunakan nalar dalam meresons persoalan. Hanbali lebih banyak menggunakan hadis, yang berbeda dengan ahlu ra’yu yang dipraktekkan Imam Hanafi.
Madawi Al-Rasheed sebagaimana dirujuk oleh Hilali Basya, mengklasifikasikan salafi menjadi salafi puritan-revivalis dan salafi reformis-modernis. Salafi revivalis cenderung intoleran, tekstual, dan konservatif. Salafi revivalis ada yang terlibat dalam politik, ada yang jihadis dan memerangi pemimpin yang dianggap keluar dari Islam.
Salafi reformis-modernis menafsirkan semangat Islam pada zaman Rasulullah secara kontekstual. Salafi reformis-modernis merujuk pada paham yang dikembangkan Muhammad Abduh, berupa kembali ke masa Nabi dengan memunculkan nilai-nilai utama di masa Nabi, semisal keadilan, memuliakan harkat perempuan, dan seterusnya. Kelompok ini tidak bermaksud mendisiplinkan orang lain agar shaleh dengan cara yang ekstrem.
Salafi yang mulanya dikembangkan Ibnu Taimiyah dinilai bersifat progresif. “Ibnu Taimiyyah berusaha membangkitkan kembali pikiran ahlu hadis dengan tafsir baru yang lebih rasional. Ibnu Taimiyyah hidup dalam situasi yang carut-marut. Islam kalah oleh bangsa Mongol. Kebudayaan bangsa Mongol ikut berpengaruh pada umat Islam, semisal gemar menaklukkan banyak wilayah dan penguasanya tidak adil. Maka pernyataan Ibnu Taimiyyah banyak mengkritisi hal ini,” tutur Hilali.
Pada abad 18, Muhammad Ibnul Wahab mengembangkan ajaran ini dengan lebih kaku lagi dibanding Ibnu Taimiyah. Apalagi ketika Ibnu Wahab beraliansi dengan gerakan politik dan menjadikan agama sebagai isu utama. Gerakan Wahabi mendapat simpati luas karena keinginan menegakkan agama. Dari tanah Hijaz dan Mesir, salafisme berkembang ke seluruh dunia.
Di Muhammadiyah, kata Hilali, KH Ahmad Dahlan merupakan sosok awal yang bersentuhan dengan ajaran salafisme karena belajar di Mekah. Di antara gurunya adalah Imam Nawawi al-Bantani, Syech Khatib al-Minangkabawi. Keduanya bermazhab Syafii, tidak Salafi. Namun, keponakan Al-Minangkabawi, Syech Thahir Jalaludin Al-Azhari ini belajar juga ke Al-Azhar dan bertemu langsung dengan Rasyid Ridha dan Abduh. Semua murid Al-Minangkabaui ikut belajar pada Al-Azhari. Kiai Dahlan banyak menimba dan mengadopsi ajaran salafisme dari Al-Azhari.
“Di masa Kiai Dahlan, pengurus Muhammadiyah adalah kelas aristokrat Jawa, yang di masa itu sedang hangat-hangatnya berupaya memodernisasi masyarakat Jawa. Mereka terdidik. Mereka memajukan dan menstabilkan masyarakat. Mereka, para aristokrat yang tidak terlalu religius ini dilibatkan dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah,” ungkap Hilali. Terlebih kemunculan Muhammadiyah berada di pusat kejawen Jawa.
Yang dilakukan Muhammadiyah awal adalah modernizing Islam, bukan Islamizing modernity. Ketika kelas menengah pedagang mulai berkontribusi di Muhammadiyah, terdapat persaingan dengan pedagang pendatang sehingga identitas agama menguat. Sementara itu, elit Muhammadiyah yang bersentuhan dengan ulama yang belajar di Mekah ketika Wahabi menguasai Tanah Hijaz, turut berperan pada masuknya salafi revivalis ke Muhammadiyah.
Penelitian Hilali Basya mengacu pada perkembangan salafisme di era transisi reformasi di Indonesia. Reformasi menimbulkan euforia ideologi akibat kebebasan berpendapat yang dilindungi, yang berpotensi memunculkan ekstrimitas di tubuh Indonesia. Termasuk di antaranya adalah gagasan-gagasan negara Islam. Sementara di kutub berlawanan muncul gagasan sosialis dan komunis.
Mengutip Fathurrahman Djamil, Hilali menyebut bahwa yang membedakan Muhammadiyah dan gerakan salafi lainnya adalah Muhammadiyah sangat memperhatikan kemaslahatan umum. Dalam hal ini, Muhammadiyah menolak misalnya gagasan negara Islam dan khilafah, karena berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan status warga negara. (LHHS/ribas)
Baca juga:
Muhammadiyah dan Salafi Wahabi
Penetapan Awal Bulan Kamariah dengan Model Salafiah, Mazhabiah dan Tajdidiah