PANGKALPINANG, Suara Muhammadiyah– Gelaran Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 di Pangkalpinang, Bangka Belitung, turut dihadiri Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, yang mengemukakan tentang pentingnya pembaharuan strategi dan orientasi umat Islam Indonesia ke depan.
Hal utama yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah terkait dengan perdebatan relasi antara agama dengan Negara Kesatuan Republik Idonesia. Haedar menuturkan bahwa semua kekuatan umat Islam penting merumuskan posisi dan pandangan resminya mengenai pengakuan NKRI sebagai negara hasil kesepakatan bersama. Dalam Muhammadiyah dikenal sebagai darul ahdi wa syahadah.
“Keberadaan NKRI harus menjadi kesepakatan kolektif yang qath’iy serta tidak boleh diingkari. Bersamaan dengan itu harus diisi atau dibangun menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sejalan dengan cita-cita nasional yang diletakkan fondasinya oleh para pendiri negara tahun 1945,” tutur Haedar.
Ketua Umum PP Muhammadiyan ini lantas menyebut lima strategi perjuangan umat Islam guna menuju negara Indonesia yang maju, adil, dan berkeadaban.
Pertama, diperlukan rekonstruksi kehidupan kebangsaaan. Reformasi merupakan momentum penting yang membawa bangsa Indonesia berhasil menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India.
Reformasi yang melahirkan agenda amandemen UUD 1945 di sisi lain juga membawa dampak lain. “Reformasi politik yang sangat terbuka tersebut telah membawa Indonesia menjadi negara dengan praktik demokrasi yang liberal, yang diikuti dengan ekonomi liberal dan liberalisasi budaya yang luar biasa terbuka,” ulasnya. Praktik ini dipandang telah mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa.
Dengan spirit ekonomi liberal, maka kemajuan yang dicapai tidaklah sejati. “Jikalau maju, kemajuannya tidak sejalan dengan jiwa, pemikiran, dan cita-cita awal berdirinya NKRI tahun 1945, terbatas pada kemajuan pragmatis dan kehilangan jati diri keindonesiaan yang autentik. Indonesia harus melakukan rekonstruksi kehidupan politik, ekonomi, dan budaya, sejalan dengan jiwa Pembukaan UUD 1945 dan prinsip dasar yang diletakkan para pendiri negara.”
Dalam konteks ini, Pancasila tidak cukup sekadar menjadi slogan dan retorika tanpa diinternalisasikan dan diinstitusionalisasikan secara objektif dan tersistem dengan pengamalan yang konsisten oleh elite dan warga bangsa. “Dalam rekonstruksi kehidupan kebangsaan tersebut, Pancasila dan NKRI harus tetap dijaga agar tetap berada dalam relnya sebagaimana telah menjadi kesepakatan nasional 18 Agustus 1945, tidak dibawa ke ‘kanan’ atau ke ‘kiri’, serta tidak dipertentangkan dengan agama dan kebudayaan luhur bangsa yang menjadi sumber nilai yang hidup di tubuh Pancasila itu sendiri.”
Kedua, pemberdayaan ekonomi umat. Gagasan ekonomi Islam semestinya berbanding lurus untuk mengangkat martabat ekonomi umat yang masih dhu’afa, tidak berhenti pada kemegahan konsep. “Dari ekonomi Islam semestinya bertumbuh kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisnis umat, menggairahkan kewirausahaan, memperbanyak pengusaha/saudagar dan manajer-manajer muslim, ke depan melahirkan para konglomerat muslim papan atas. Menurut Pak Jusuf Kalla, kegiatan bisnis seperti belajar berenang, jangan banyak teori tetapi langsung praktik,” ujar Haedar.
Ketiga, transformasi politik Islam dan relasi keislaman keindonesiaan. Jika umat Islam Indonesia ingin berdaya secara politik dan masuk dalam pemerintahan, maka diperlukan transformasi politik. Dimulai dengan pemetaan politik bahwa umat Islam sebagai entitas politik harus merangkul semua segmen masyarakat, baik kalangan santri maupun abangan.
Sisi lain, kata Haedar, perlu juga melakukan moderasi politik Islam yang mampu adaptif dan negosiatif dengan budaya politik Indonesia untuk memperluas preferensi politik Islam ke ranah sosiologis kebangsaan yang lebih inklusif. Politik Islam juga meniscayakan proses integrasi keislaman dan keindonesiaan untuk mengakhiri Islam versus negara, yang memerlukan ijtihad politik yang mengindonesia. Umat Islam juga perlu memperbarui strategi politik dari model dogmatis-konfrontatif ke model aktual-akomodatif.
Keempat, pengembangan pendidikan dan SDM. Jika umat Islam sebagai mayoritas jumlah ingin meraih posisi dan peran strategis yang sama kuat secara kualitas di Indonesia, maka jalan utamanya adalah melalui transformasi pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia yang unggul. “Lembaga-lembaga pendidikan Islam penting diakselerasikan untuk naik kelas, sekaligus memanfaatkan lembaga pendidikan negeri sebagai wahana pendidikan anak-anak muslim yang berkualitas untuk melahirkan generasi muslim yang kelak menjadi elite strategis di berbagai institusi penting di ranah nasional maupun global,” ujar Haedar.
Kelima, perubahan strategi dakwah. Organisasi keagamaan di lingkungan umat Islam penting memperbarui strategi dakwah dari sikap reaktif-konfrontatif ke strategi dakwah yang proaktif-konstruktif. Hal ini akan memperluas daya jangkau penyebarluasan dan penanaman nilai-nilai Islam ke semua segmen masyarakat yang sangat majemuk.
“Apalagi dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam dinamika perubahan sosial dan kehadiran media sosial yang kompleks. Strategi dakwah konvensional memerlukan pembaruan ke dakwah yang lebih aktual dan kontemporer. Dakwah Islam perlu pembaruan. Penting adanya pengarusutamaan pendekatan dakwah sebagai penejerjemahan dari bil-hikmah, wal-mauidhat al-hasanah, wa jadil-hum billati hiya ahsan (QS Al-Nahl: 125) dalam beragam model dakwah seperti dakwah komunitas, dakwah digital/medsos, dan sebagainya.”
Dakwah Islam juga penting menawarkan konsep pemikiran alternatif yang bersifat pembaruan dan berkemajuan, yang tidak terjebak pada ortodoksi dan dogmatik-apologik. Jika menolak liberalisme-sekukarisme, maka tawarkan pemikiran alternasi yang memancarkan Islam sebagai agama yang mengandung kemajuan bagi peradaban manusia (din al-hadlarah), bukan sebaliknya yang justru kembali ke ortodoksi yang konservatif. (ribas/ppmuh-adam)