Muhammadiyah punya kekayaan khazanah ideologi yang tidak pernah ada habisnya untuk diselami. Namun, banyak warganya justru abai pada manhaj organisasi yang menjadi cita-cita bersama ini. Sesuai risalah Nabi, Muhammadiyah bertekad melahirkan pribadi paripurna dan berkarakter terpuji, serta mampu menjadi teladan dan mewarnai kehidupan.
Pada muktamar ke-44 di Jakarta, dirumuskan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, yang memberi panduan dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. PHIWM adalah seperangkat nilai dan norma yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi pola tingkah laku warga Persyarikatan dalam menjalani kehidupan, sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Konsep ini merupakan amanat Tanwir Jakarta tahun 1992. Muhammadiyah merespons situasi perubahan sosial politik nasional yang penuh dinamika. Perubahan itu berupa alam pikiran yang cenderung pragmatis (berorientasi pada nilai guna semata), materialistis (berorientasi pada kepentingan materi semata), dan hedonistis (berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi sekuler).
PHIWM mengandung rumusan pokok atau prinsip dalam acuan nilai dan norma yang bersifat multiperspektif untuk membentuk keluhuran dan kemuliaan ruhani serta tindakan. Rumusannya bersifat aktual, ideal, memberikan arah bagi tindakan individu maupun kolektif yang bersifat keteladanan, mengandung ajaran dan pesan yang membuahkan kesalihan, serta bersifat taisir atau panduan yang mudah dipahami dan diamalkan.
Dalam akidah, warga Muhammadiyah dituntut memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid kepada Allah, berupa sikap yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukkan, sehingga terpancar sebagai ibad ar-rahman yang menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang paripurna.
Dalam akhlak, warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlak mulia, sehingga menjadi uswah hasanah berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Harus senantiasa menunjukkan akhlak mulia, sehingga disukai dan diteladani, serta menjauhkan diri dari akhlak tercela sehingga dibenci dan dijauhi sesama. Melakukan segala sesuatu dengan ihsan serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf, fasad, fahsya, dan kemunkaran.
Dalam ibadah, warga Muhammadiyah senantiasa membersihkan jiwa dan hati ke arah terbentuknya pribadi mutaqqin dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa atau nafsu yang buruk, sehingga terpancar kepribadian yang shalih, menghadirkan kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesamanya. Ibadah dihiasi dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan amal shalih yang tulus, sehingga tercermin dalam kepribadian.
Dalam muamalah duniawiyah, warga Muhammadiyah menyadari dirinya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan dengan landasan iman, Islam, dan ihsan. Senantiasa berpikir secara burhani, bayani, dan irfani, serta mempunyai etos kerja islami: kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu. (ribas)
————–
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Pediamu” majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 16 tahun 2019