Pesan Penting Bagi Cendekiawan Muda Muhammadiyah

MALANG, Suara Muhammadiyah-Cendekiawan Muda Muhammadiyah mengadakan Kolokium Nasional Interdisipliner dengan tema “Konsolidasi Kaum Muda Muhammadiyah untuk Memajukan Indonesia dan Mencerahkan Semesta”, pada 6-7 Maret 2020, di Komplek Wisata Sengkaling Universitas Muhammadiyah Malang.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah bangga dan memberi apresiasi pada forum intelektual tersebut. “Ini merupakan komunitas kaum muda yang punya peran strategis bagi keberadaan dan keberlangsungan Muhammadiyah ke depan,” tuturnya dalam Pidato Pembukaan acara yang mengundang para intelektual muda Muhammadiyah dari seluruh Indonesia.

Jika kita sebut Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid, kata Haedar, maka Kiai Dahlan telah memulai dakwah dan tajdid yang kharijul ‘adah (out of the box). Ketika Kiai Dahlan melakukan gebrakan mengubah arah kiblat, menginisiasi sistem pendidikan modern, hingga merealisasikan teologi al-Ma’un, itu usianya sekitar 20-21 tahun. “Ini usia yang cukup muda. Kita termasuk orang-orang terlambat yang berpikir maju.”

Sejak usia muda, Kiai Dahlan melakukan pembahruan tanpa prakondisi sebelumnya. “Kiai Dahlan membaca teks al-Qur’an yang ditafsirkan sesuai konteks zaman. Kiai Dahlan lahir dan tumbuh dalam struktur santri tradisional. Namun dia keluar dari struktur itu dan melakukan pembaharuan,” ulasnya. Ketika naik haji dua kali, yang saat itu Saudi sedang ranum dengan paham Wahabisme, Kiai Dahlan tidak terpengaruh Wahabisme dan pulang menjadi pembaharu dengan paham agama moderat.

“Menjadi penting bagi para cendekiawan Muhammadiyah duduk di sini, agar dari sini lahir jiwa kecendekiawanan Anda dan mampu membaca realitas dengan pendekatan interdisipliner,” katanya. Cendekiawan, inteligensia, ulul albab, pemikir, itu adalah mereka yang punya ilmu dan kecerdasan yang dikapitalisasi untuk mampu memahami dan membaca realitas zaman yang dihadapi, lalu dikonstruksi menjadi pikiran yang substantif dan sampai pada hakikat.

Haedar Nashir menekankan bahwa para cendekiawan harus mampu menangkap substansi isi, apa yang ada di balik cangkangnya. Dalam realitas hari ini, kata Haedar, banyak orang yang tidak mampu melihat realitas secara mendalam dan cenderung melakukan simplifikasi. Jean Baudrillard dengan konsep dunia simulasi menggambarkan tentang tampilan sarat rekayasa. Dalam fenomena simulacra, terjadi daur ulang objek dan peristiwa yang seolah mencerminkan realitas aslinya, tetapi sesungguhnya maya. Jika salah menangkap bayangan, maka penyelesaian masalah hanya sekadar memblok rasa sakit, tanpa menyentuh substansi di balik itu.

Haedar Nashir kemudian menyebut beberapa pokok pikiran yang harus menjadi perhatian kaum muda Muhammadiyah. Pertama, membaca dan mencari jalan keluar tentang perdebatan klasik agama dan negara, relasi antar agama dan Pancasila. “Muhammadiyah telah menghasilkan darul ahdi wa syahadah. Poin utamanya adalah bahwa para pendiri negara telah bersepakat dengan NKRI dan sesuai dengan nilai-nilai agama.” Muhammadiyah telah memproduksi pikiran darul ahdi wa syahadah untuk menghindari tarik-menarik di kiri dan kanan.

Rumusan itu harus mencerminkan tujuan Indonesia merdeka yang berdaulat, bersatu, adil, dan makmur. Kita bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, yang dalam pandangan Muhammadiyah masuk kerangka Islam Berkemajuan.” Muhammadiyah dengan ijtihad politik ini memiliki guidence supaya tidak terbawa arus.

Meskipun sudah punya konsep besar, Haedar meminta para kader muda Muhammadiyah untuk terus memperkaya dan mengelaborasi konsep ini supaya bisa diterapkan dalan kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, salah satu yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan keragaman latar belakang warganya. “Terkait dengan pluralitas, perlu ada pandangan yang memberi perspektif.” Misalnya Muhammadiyah memahami pluralitas sebagai sunnatullah, tetapi menolak pluralitas yang singkretisme.

Kedua, terkait isu radikalisme dan terorisme. Isu ini harus dilihat secara menyeluruh dan mendalam untuk dicarikan solusi yang tepat. “Tawaran Muhammadiyah adalah moderasi. Alam pikiran radikal ekstrem tidak hanya pada Islam, tetapi ada pada pandangan agama lain, pikiran primordial lain, kesukuan, dan seterusnya,” ujar Haedar.

Benih puritanisme jika tidak mengalami pengayaan dan bersenyawa dengan faktor lain, akan menjadi virus radikalisme. Dalam konteks ini diperlukan pengayaan aspek paham agama di Muhammadiyah. Mukti Ali, misalnya, menawarkan konsep asmaul husna dalam paham teologi. Sisi lain, diperlukan bacaan yang memandu doktrin tengahan. Haedar misalnya menyebut semisal Kitab al-Tauhid karya Muhammad Abduh, karya Said Hawa, dan karya Ibnu Taimiyyah yang perlu diperkaya.

Ketiga, strategi politik Islam. Energi kita habis ketika terus memperdebatkan antara agama dan politik. “Kita terima itu, tapi tawarkan bagaimana konstruksi, relasi, strategi, dan porsinya. Tawarkan strategi politik Islam yang akomodatif yang mengakomodasi umat Islam tanpa mengganggu kelompok lain.” Politik Islam perlu konsensus baru, ijtihad politik baru, yang bisa menyalurkan energi umat Islam dan kompatibel dengan Indonesia.

Keempat, perlu elaborasi produk pikiran Muhammadiyah. Seluruh instrumen pemikiran Muhammadiyah sudah lengkap: MADM, MKCH, Kepribadian, Langkah, Khittah, manhaj, dan seterusnya hingga produk semisal Keluarga Sakinah, GJDJ, Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua. Muhammadiyah punya berbagai produk ideologis, yang perlu dibumikan. Diperlukan strategi kebudayaan untuk memajukan Indonesia, mencerahkan semesta.

Di saat yang sama, Muhammadiyah harus menggunakan pendekatan pespektifisme. Perdebatan sering terjadi karena tidak adanya Integrasi-interkoneksi. Indonesia sedang berada di dalam perangkap ini. Kita mencoba bereklektik dengan banyak pandangan yang melahirkan paradigma yang substantif dan komprehensif.

Haedar melihat bahwa belakangan ini sering digunakan paradigma positivistik yang parsial. Menurutnya, dalam membaca realitas tidak cukup hanya dengan pendekatan Durkheim, Weber, Marx, tetapi harus mulai melintas. “Dalam membaca realitas, harus baca dengan detail. Perlu memperkaya bacaan, memperluas pergaulan,” tukasnya.

Rektor UMM, Fauzan berharap Cendekiawan Muda Muhammadiyah yang tumbuh dari UMM, mampu memberi resonansi yang luas ke masyarakat. Kaum muda cendekia ini diminta membangun komitmen bersama untuk menjadikan Muhammadiyah semakin besar dan berkualitas serta menjadikan Muhammadiyah berkonstribusi besar dalam hal pemikiran.

“Saya berharap kawan-kawan muda Muhammadiyah tidak hanya pintar menggagas dan menghasilkan ide, tetapi juga mampu mewujudkan ide dan merealisasikannya,” ujarnya. Melalui acara ini, kata Fauzan, bisa menjadi ajang untuk memperbarui cara berpikir kita sebagaimana cara berpikir Muhammadiyah yang terbuka.

Sementara itu, Menko PMK Muhadjir Effendy menyatakan bahwa Indonesia masih mengalami kemiskinan intelektual yang berbanding lurus dengan kemiskinan atau ketimpangan struktural dan spasial. Dalam situasi ini, posisi anak muda Muhammadiyah di mana? Muhadjir mempertanyakan apakah anak muda Muhammadiyah sudah benar-benar mencerahkan, atau hanya kita saja yang merasa mencerahkan. Berlaku mirror theory. “Kita melihat orang lain berdasarkan kita melihat diri kita sendiri. Padahal, belum tentu orang lain melihat kita seperti itu. Jangan sampai kita salah membaca,” ulasnya.

Muhadjir secara khusus mengingatkan anak-anak muda Muhammadiyah supaya merebut kesempatan belajar. Menurutnya, rumpun ilmu yang penting dikuasai saat ini adalah (1) Bahasa Inggris, Arab, mungkin suatu saat Mandarin; (2) sains, teknologi, egineering, matematika; dan (3) komunikasi. “Intelektual itu umurnya panjang. Sekarang eranya anak muda yang pandangannya harus mendunia.” Pandangan yang mendunia ini semakin penting dalam suatu masyarakat yang semakin terbuka dan plural. Ketika Muhammadiyah tidak bisa melebarkan image, maka semakin banyak orang menjauh.

Terakhir, Muhadjir Effendy berharap Muhammadiyah semakin inklusif. Semua orang yang bertradisi Islam modernis harusnya diwadahi dalam Muhammadiyah. Baru-baru ini, Muhadjir baru saja bertemu cucu salah satu mantan Ketua Umum Muhammadiyah yang menjadi dokter di RS Siloam dan “tidak lagi mengenal” Muhammadiyah, namun dia sangat bangga dengan kakeknya. (ribas)

Baca juga:

Lima Komitmen Generasi Milenial Muhammadiyah untuk Masa Depan

Ketua PP Muhammadiyah: Gerakan Intelektual di Muhammadiyah Tak Boleh Mati

Intelektual Muhammadiyah Harus Kembangkan Karya Berbahasa Inggris

Exit mobile version