Oleh: Ahmad Soleh
IMM kini sudah menginjak usia 56 tahun. Artinya, sedang dalam proses menuju satu abadnya. Tak sedikit alang rintang yang menjadi batu sandungan gerak dakwah Ikatan di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa ini. Termasuk godaan demi godaan yang datang dan mampir dari berbagai sisi. Tapi, IMM harus teguh pada khittah dan tujuannya berdiri semula!
Ketika mengetik tulisan ini, saya sedang berada dalam gerbong kereta ekonomi jurusan Jakarta-Malang. Saya akan turun di Stasiun Tegal, dengan tujuan hendak menyambangi PC IMM Brebes yang sedang mengadakan agenda pelatihan kepenulisan dalam rangka memperingati milad 56 tahun Ikatan tercinta ini.
Pekan sebelumnya, saya sempat mampir ke pelantikan IMM Bandung Timur yang mengangkat tema diskusi mengenai intelektualisme profetik: narasi intelektual yang sudah lama jadi bahan diskusi kader IMM. Dalam forum itu saya tegaskan, nilai-nilai profetik yang diramu Prof Kuntowijoyo itu mesti kita terjemahkan ke dalam bahasa yang konkret, jika ingin menamai diri kita (IMM) sebagai intelektual profetik.
Dari forum diskusi itu, ada dua kegelisahan para kader. Pertama, masuknya ideologi dan paham keagamaan yang tidak sesuai dengan Muhammadiyah. Kedua, adanya sikap pragmatisme-politik yang menjangkit kadernya, sehingga membuat gerak IMM terjebak pada kepentingan sempit. Dua hal ini menjadi refleksi mendasar untuk kemudian IMM meneguhkan jati dirinya sebagai “anak panah peradaban” dan “basis gerakan intelektual”.
Memajukan Bangsa
Kolaborasi Memajukan Bangsa adalah tema yang diusung dalam milad IMM kali ini. Sebelum berbicara kolaborasi, perlu ditegaskan apa dan bagaiman peran kebangsaan IMM sebenarnya.
Ada tiga peran IMM dalam hal kebangsaan. Saya mengutip pendapat Prof Kunto mengenai peran kaum muda Muslim dalam ranah kebangsaan. Ketiga peran itu, di antaranya peran ideologis, kultural, dan politis.
Secara ideologis, IMM memiliki peran penting dalam menyemai nilai-nilai Islam yang hanif, rahmatan lil alamin, berkemajuan, dan wasathiyah. Munculnya ideologi dan paham gerakan transnasional menjadi tantangan tersendiri bagi tugas ideologis ini. Pasalnya, membendung suatu paham, pemikiran, dan ideologi gerakan tidak bisa dilakukan dengan otot atau massa versus massa. Melainkan dengan mengembangkan dan menyebarkan apa yang menjadi paham Islam IMM-Muhammadiyah, yakni tidak bertentangan dengan asas dan filosofi negara: Pancasila.
Dalam konteks kultural, IMM sebagai kaum cerdik-cendekia memiliki tugas mengembangkan nalar kebudayaan yang maju. Jika Prof Kunto membagi fase dari mitos, ideologi, kemudian ilmu. Maka, IMM mesti menjadi agen dalam mengembangkan dan menghidupkan fase ilmu tersebut dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Memang berat, tapi itulah tugas cendekiawan Muslim. Apalagi, kita saat ini hidup di era digital, di mana kebudayaan masyarakat telah mengalami kompleksitas yang makin rumit.
Dengan nalar ilmu tersebut, maka IMM mesti terbuka terhadap berbagai kemajuan, baik itu pengetahuan maupun teknologi. Bahkan, mesti segera beranjak dari tradisi literasi tekstual keilmuan ke literasi digital dan literasi teknologi. Karena ke depan mesti digalakkan aktivisme hibrida yang menggabungkan antara gerakan di dunia riil dengan gerakan di dunia cyber.
Sementara untuk peran politis, di sini konteksnya tidak dalam politik-pragmatis. Melainkan sebagai sumber penekan dan pemengaruh sebuah kebijakan. Dalam konteks ini IMM menjadi mediator antara kepentingan publik dengan regulasi penyelenggara kebijakan negara.
Di samping itu, IMM memiliki basis massa yang besar. Ini menjadi modal sosial yang besar seandainya seluruh kader IMM mampu disiapkan untuk mengisi berbagai lini kehidupan bangsa. Tak menutup kemungkinan pemimpin-pemimpin bangsa di masa mendatang lahir dari kawah perkaderan IMM.
Apakah tiga peran ini sudah cukup untuk memajukan bangsa? Saya cenderung memaknai “memajukan bangsa” sebagai proses menyemai pemikiran dan peradaban yang maju, baik secara etis, moral, maupun sosial. Sebab itulah tiga peran ini jadi fondasi awalnya. IMM perlu menguatkan hal ini, sebelum nantinya berkolaborasi dengan berbagai pihak.
Geliat Intelektual di Akar Rumput
Geliat intelektualisme di aksr rumput sejauh yang saya amati, saat ini sedang dalam fase yang lumayan menggembirakan. Bermunculan ide-ide dan gagasan kreatif dari kader IMM dalam berbagai hal, seperti dakwah, sosial, ekonomi, politik, dan seni budaya menjadi salah satu wujud upaya IMM di akar rumput untuk senantiasa menjaga bara intelektualisme tetap menyala dalam gerakan IMM. Adanya forum-forum intelektual hingga lahirnya buku-buku di tangan kader IMM menjadi bukti fondasi ini tengah terbangun secara pelan tapi pasti.
Namun, kita tak boleh terlampau berbangga diri. Sebab, apabila geliat itu tidak terus digalakkan, bisa saja redup dalam waktu singkat. Meski kita yakini ide-ide itu akan tetap hidup.
Untuk selanjutnya, tentu jangan pula segera berpuas diri. Karena tantangan IMM tidaklah berhenti di situ. Semangat intelektualisme mesti pula membuat kita beranjak pada fase yang lebih kompleks, rumit, dan besar. Yakni, menuju digitalisasi gerakan.
Di sini, literasi digital dan melek terhadap teknologi menjadi poin yang penting. Salah satu ciri khas watak Muhammadiyah adalah tidak berhenti di wacana. Tapi sampai pada tahap membuat, mencetus, melakukan.
Sebab itulah menjadi penting bagi kader IMM hari ini untuk tidak terjebak dalam wacana-wacana intelektual menara gading. Modalitas iman dan ilmu dalam nilai ikatan, mesti terejawantah dalam amal. Untuk selanjutnya melakukan transformasi sosial. Dan percayalah penguasaan akan teknologi akan semakin memudahkan gerak IMM dalam mewujudkan itu semua. Tinggal tentukan kapan kita akan memulainya.
Ahmad Soleh, Sekbid RPK DPP IMM.