Majelis Tarjih: Shalat Dluhur di Rumah Sebagai Pengganti Shalat Jum’at

Majelis Tarjih: Shalat Dluhur di Rumah Sebagai Pengganti Shalat Jum’at

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pada tanggal 29 Rajab 1441 / 23 Maret 2020, Pimpinan Pusat Muhmmadiyah menerbitkan Surat Edaran Nomor 02/Edr/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19 surat edaran itu disusun berdasarkan Fatwa Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dikeluarkan tanggal 26 Rajab 1441 H/21 Maret 2020 M.

Salah satu yang ada termaktub di dalam edaran dan fatwa tersebut adalah penggantian Shalat Jum’at dengan Shalat Dluhur di rumah masing-masing.

Alasan yang menjadi dasar Majelis Tarjih tentang ketentuan hukum shalat Jum’at diganti dengan shalat Dluhur empat rakaat di rumah masing-masing adalah berdasarkan pertimbangan keadaan masyaqqah dan juga didasarkan kepada ketentuan dalam hadits bahwa shalat Jum’at adalah kewajiban pokok. Mafhumnya adalah shalat Dluhur adalah kewajiban pengganti (Ini juga adalah kaul jadid Imam asy-Syāfiʻī).

Dalam kaidah fikih dinyatakan

إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل

Apabila yang pokok tidak dapat dilaksanakan, maka beralih kepada pengganti (Syarḥ Manẓūmat al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah).

Berdasarkan kaidah ini, karena shalat Jum’at sebagai kewajiban pokok tidak dapat dilakukan, maka beralih kepada kewajiban pengganti, yaitu shalat Dluhur empat rakaat yang dikerjakan di rumah masing-masing.

Peralihan kepada kewajiban pengganti ini yaitu shalat Dluhur dapat didasarkan kepada mafhūm aulā (argumentum a minore ad maius) dari hadits berikut. Mafhūm aulā (argumentum a minore ad maius) menyatakan bahwa apabila suatu hal (masyaqqah) yang lebih ringan dapat membenarkan tidak melakukan suatu yang wajib, maka hal (masyaqqah) yang lebih berat tentu lebih dapat lagi membenarkan tidak melakukan yang wajib itu.

Hadits dimaksud adalah

أن عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ قال لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلاَ تَقُلْ حَيّ عَلَى الصَّلاَةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ، فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قَالَ: فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ، فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ

Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) bahwa ia mengatakan kepada muazinnya di suatu hari yang penuh hujan: Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lā ilāha illallāh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), asyhadu anna muḥammadan rasūlullāh (aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alaṣ-ṣalāh (kemarilah untuk shalat), namun ucapkan ṣallū fī buyūtikum (shalatlah kalian di rumah masing-masing).

Rawi melanjutkan: Seolah-olah orang-orang pada waktu itu mengingkari hal tersebut. Lalu Ibn ‘Abbās mengakatan: Apakah kalian merasa aneh dengan ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah saw). Sesungguhnya shalat Jum’at itu adalah hal yang wajib (‘azmah), namun aku tidak suka memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin. (HR Muslim)

Dalam hadits ini suatu hal (masyaqqah) yang kecil, yaitu hujan yang tidak terlalu menimbulkan bahaya dan mudarat, (hanya menyebabkan sedikit ketidaknyamanan), dapat menjadi alasan untuk tidak menghadiri shalat Jum’at, maka keadaan (masyaqqah) yang jauh lebih berat, seperti penyebaran Covid-19 yang sangat berbahaya seperti sekarang, tentu lebih dapat lagi untuk menjadi alasan tidak menghadiri shalat Jum’at.

Peniadaan penyelenggaraan shalat Jum’at ini untuk menghindari bahaya tersebut, karena menghindari madharat lebih diutamakan dari mendatangkan maslahat, sesuai dengan kaidah.

دَرْءُ الْفاسِدِ أوْلى مِنْ جَلبِ الْصَالِحِ

Menghindari kemudaratan lebih diutamakan dari mendatangkan maslahat (Al- Asybāh wa an-Nazā’ir oleh as-Sayūṭī, h. 87; oleh Ibn Nujaim, h. 78).

Penggantian shalat Jum’at menjadi shalat Dluhur bagi orang yang uzur juga didasarkan pada hadits panjang yang menceritakan tentang perjalanan haji wada’ Nabi. Ketika itu Nabi berada di Arafah pada hari Jum’at, dan beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at, tetapi menjamak shalat Dluhur dengan Ashar sebagaimana kutipan hadits berikut

ثم أذَّن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا. رواه مسلم

Kemudian Nabi bangkit lalu melaksanakan shalat Dluhur, dan bangkit kembali untuk melaksanakan shalat Ashar. Di antara dua shalat itu, Nabi tidak melaksanakan shalat yang lain. (Lihat selengkapnya pada HR Muslim no. 1218).

Oleh karena itu, di dalam suasana penularan Covid-19 di mana semua orang masih berpotensi sebagai pembawa virus tanpa diketahui dan bisa menularkan ke orang lain, maka pengumpulan massa seperti shalat ju’mat, lebih baik tidak dilakukan. Red

Fatwa dan edaran lengkap dapat dibaca di Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Wabah Covid-19

Exit mobile version