Kiai Bedjo Darmoleksono, Organisatoris Pejuang dari Malang

Kiai Bedjo Darmoleksono, Organisatoris Pejuang dari Malang

Ahmad Fatoni

Kiai Bedjo tidak pernah ragu membawa bendera Muhammadiyah dalam berdakwah. Ia selalu menunjukkan dengan tegas siapa dirinya dalam berinteraksi, terlebih saat berhadapan dengan komunitas lain. Itu sebabnya, ia sangat marah ketika ada aktivis Pemuda Muhammadiyah yang suatu sore datang ke rumahnya dan meminta Kiai Bedjo agar tidak membawa bendera organisasi saat berdakwah dan mengembangkan Muhammadiyah di Batu, Malang.

Kiai Bedjo terkadang memang menampakkan sikap yang temperamental. Namun dalam kehidupan rumah tangga, ia mampu menampilkan sosok teladan dan pemimpin yang sabar. Kendati tidak memiliki keturunan, ia tidak pernah berpoligami. Ia juga tidak pernah terlihat bertengkar atau berkata kasar kepada istrinya.

Kiai Bedjo Darmoleksono—demikian panggilan lengkapnya—terlahir dengan nama Muhammad Bedjo pada Rajab 1327 H atau tahun 1908 M di Malang, Jawa Timur. Bagi kalangan warga Muhammadiyah Malang Raya; Kota Malang, Kapubaten Malang, dan Kota Batu, nama Kiai Bedjo Darmoleksono sangat melegenda. Dalam berbagai forum, nama Sang Kiai masih sering disebut-sebut terutama oleh generasi awal yang pernah bergaul dengannya.

Buku Sufi Tanpa Tarekat Praksis Keberagamaan Muslim Puritan (2013) yang ditulis Drs. Khozin, M.Si. (Dr.), menjelaskan bahwa Kiai Bedjo lahir dari pasangan Bapak Waturin dan Ibu Sarinah. Muhammad Bedjo adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Tak seorang pun mengetahui asal usul panggilan Darmoleksono di belakang nama Muhammad Bedjo. Bahkan sejak terlibat aktif di partai politik Masyumi dan Muhammadiyah, namanya lebih populer dengan panggilan Bedjo Darmoleksono.  

Dalam catatan sejarah, pendidikan dasar Kiai Bedjo dilalui di Malang selama lima tahun, dan dilanjutkan ke pendidikan tingkat menengah pada wustho Muballighin Malang selama tiga tahun. Di antara teman-temannya, Bedjo muda tergolong murid yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.

Kiai Bedjo mencerminkan karakter pembelajar yang sangat gigih dalam menyelami samudera pengetahuan. Saat melanjutkan ke pendidikan lanjutan di Tabligh School Muhammadiyah, Yogyakarta, ia tetap menjaga tradisi thalabul ilmi dalam hidupnya. Selama tiga setengah tahun di Tabligh School, ia memiliki pergaulan yang dekat dengan ulama (ahli ilmu).

Selain itu, profil Kiai Bedjo juga dikenal sebagai pejuang yang tangguh sejak usia belia. Mulai tahun 1930-an, Kiai Bedjo bergabung dalam Kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhammadiyah. Adalah Fatimah (saudara ayahnya) dan suaminya H. Ridwan melihat bakat kepemimpinan dan kemampuan berorganisasi dalam diri Bedjo muda begitu menonjol di kalangan teman-teman susianya.    

Tidak banyak yang tahu apakah Kiai Bedjo pernah mengenyam pendidikan agama secara intensif di pondok pesantren. Namun menurut H. Djamal Zakariah, bendahara Panti Asuhan Muhammadiyah Malang dan mantan anak kos di rumahnya selama 18 tahun, Kiai Bedjo pernah menimba ilmu agama di sebuah pondok pesantren yang berada di daerah Gading Kasri, Malang.

Setelah lulus dari pesantren itu, Kiai Bedjo langsung memulai perjuangannya dengan menjadi guru di beberapa sekolah. Sumbermanjing Kulon adalah pelabuhan pertama titian karirnya sebagai guru Madrasah Diniyah Muhammadiyah. Ia juga menularkan ilmunya di sejumlah sekolah seperti HIS Jalan Kawi, Wustho Muballighin, HIS Negeri, MULO Wilhelmina, dan Suster School (Sekolah Menengah Tinggi Negeri). Tak pelak, hampir seluruh waktunya terkuras untuk mengajar baik pagi, siang sampai malam hari.

Pejuang Dakwah yang Tangguh

Kiai Bedjo sebagai ulama yang alim, memiliki konsentrasi penuh terhadap kondisi masyarakat, terutama dalam aspek keagamaannya. Ia mempunyai stamina ruhani di atas rata-rata, sehingga langkah perjuangannya senantiasa mantap dan kokoh dari awal sampai akhir hayatnya. Pergerakan dakwahnya dapat dicandra dari loyalitasnya yang tanpa batas demi mencerdaskan umat.

Hidup adalah perjuangan. Demikian kiranya simpul hidup Kiai Bedjo yang penuh totalitas di dunia dakwah. Kenyataannya, semasa ia berposisi sebagai bawahan atau pimpinan, perjuangannya sama saja, tak berkurang sedikit pun. Ia memiliki sifat yang mirip dengan ulama-ulama Muhammadiyah lainnya yang rela dan telaten memberi pencerahan bagi warga Muhammadiyah.

Masa itu, kendati ia menjadi ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Malang, Kiai Bedjo biasa berkeliling dari ranting ke ranting. Hal ini tentu memberi kesan yang kurang baik bila dilihat dari sudut pandang profesionalitas organisasi. Namun menjadi sangat baik jika ditilik dari sisi konsep dakwah yang senyatanya mengedepankan keteladanan dan kepeloporan seorang pemimpin.

Dengan kedalaman ilmunya, Kiai Bedjo sering menjadi tempat rujukan warga Muhammadiyah Malang setiap ada masalah keagamaan, sosial, dan kehidupan rumah tangga. Sebagai mubaligh, selain disibukkan dengan kerja harian, jadwal ceramahnya cukup padat. Hanya, kepandaiannya dalam mengatur waktu yang membuatnya bisa seimbang dalam menjalani semua amanah.

Di mata para murid dan teman-temannya, Kiai Bedjo adalah juru dakwah yang pantang mengeluh. Semangat juangnya tidak kenal lelah oleh apapun. Semangat dakwah itu ia jaga hingga akhir hayatnya. Pernah pada suatu malam, Kiai Bedjo diundang kader pemuda Muhammadiyah untuk mengisi kajian. Undangan itu sebenarnya mendadak, sudah malam, dan tempat pengajiannya cukup jauh. Pihak pengundang tidak berharap banyak sebab sudah malam dan dadakan. Namun di luar dugaan, Sang Kiai dengan tegas langsung menyanggupi undangan tersebut. Ia pun berangkat sendiri tanpa minta dijemput dan lebih memilih kendaraan umum.

Pada kesempatan lain, sebagaimana dituturkan Maryam, salah seorang anak kos  Kiai Bedjo, walaupun sakit Sang Kiai tetap memenuhi undangan ceramah, di manapun tempatnya. Suatu saat ia pernah dicegah oleh salah seorang aktivis persyarikatan sekaligus muridnya, agar lebih memerhatikan kesehatannya. Tetapi, Kiai Bedjo berkata, “Apa kamu bisa menjamin andai tidak ceramah saya bisa sembuh?” Hal ini menggambarkan kesungguhan tekad dan ketangguhan sikapnya dalam perjuangan di medan dakwah.

Dalam buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur (2007), disebutkan dalam berdakwah Kiai Bedjo tidak hanya di mimbar-mimbar masjid, tetapi juga di sekolah, kampus, dan radio serta tulisan di media massa. “Salah satu tulisannya ‘Islam Sontoloyo’ di makalah Suara Muhammadiyah sempat membuat majalah itu dibreidel oleh presiden Soekarno,” papar buku tersebut.    

Organisatoris yang Kharismatik

Menurut H. Zainal Abidin (PCM Batu periode: 1982-2000), selain dikenal sebagai pendakwah, Kiai Bedjo adalah seorang organisatoris sejati. Ia sosok yang mudah tunduk pada kebijakan organisasi daripada putusan perorangan. Konon, Kiai Bedjo yang agak temperamental pernah memarahi salah seorang peserta rapat gegara perbedaan pendapat. Tetapi perselisihan itu dapat diredam setelah pimpinan sidang mampu menjelaskan persoalan dengan merujuk pada AD/ART serta ketetapan yang berlaku dalam persyarikatan. Akhirnya Sang Kiai dapat menerima penjelasan pimpinan sidang.

Tulis Khozin (2013:146-147), waktu pemilihan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 1977, terpilih suara terbanyak adalah Drs. Masyfuk Zuhdi. Namun, kemudian PP Muhammadiyah ternyata menetapkan Drs. Moh. Kasiram yang bukan suara terbanyak. SK PP tersebut kemudian menyebabkan pendukung Drs. Masyfuk Zuhdi menggelar unjuk rasa menentang Drs. Moh. Kasiram. Menyikapi kasus semacam itu, Kiai Bedjo menyarankan kepada Pimpinan Daerah Muhammadiyah Malang agar menagamankan SK dan kebijakan PP Muhammadiyah.

Senioritas dan kharisma yang melekat dalam diri Kiai Bedjo, rupanya tidak terlalu sulit baginya untuk mempengaruhi kebijakan PDM setempat. Tak berlebihan bila ia disebut sebagai tokoh Muhammadiyah yang kharismatik sehingga mudah mengarahkan dan membimbing jajaran birokrat di PDM Malang. Selain faktor senioritas, Kiai Bedjo hakikinya adalah seorang organisatoris yang sangat memahami rute dan karakter birokrasi Muhammadiyah di Malang Raya.

Dalam sejarah keorganisasian, bakat kepemimpinan Kiai Bedjo diketahui sejak memimpin HW. Pimpinan Muhammadiyah menilainya sebagai pemimpin yang sangat berpengaruh, sehingga ia kemudian dipercaya menjadi pimpinan Muhammadiyah Cabang Malang. Dedikasi yang ditunjukkan Kiai Bedjo menjadikan karir organisasinya kian bersinar. Sejak tahun 1942-1957 ia diberi kepercayaan sebagai Pimpinan Konsul Muhammadiyah Daerah Malang. Tahun 1965-1968, ia tercatat sebagai anggota Majelis Tanwir mewakili wilayah Jawa Timur.

PDM Kota Malang berada dalam kepengurusan Kiai Bedjo pada periode 1968-1971. Masa itu adalah masa-masa sulit karena keterbatasan fasilitas dan jumlah kader yang sangat sedikit dibandingkan luasnya area binaan Muhammadiyah. Belum lagi banyaknya benteng-benteng tradisi yang harus dibongkar. Namun, gerak laju kepemimpinan Kiai Bedjo tetap berjalan dengan segenap energi. Semboyannya “sedikit bicara banyak bekerja”, menjadi charger spirit yang mujarab bagi para kader persyarikatan.

Lantaran endapan darah pergerakan yang selalu bergelora dalam tubuh Kiai Bedjo, menjadikannya begitu mudah melakukan transmisi energi kepada pada murid dan teman-teman seperjuangannya. Intensitas pergaulannya yang luas dengan masyarakat Malang, membuatnya paham betul tentang anatomi sosial kemasyarakatan sehingga ia cukup disegani oleh kalangan pemerintah daerah Malang.

Karir organisasi Kiai Bedjo dalam persyarikatan mencapai puncaknya pada tahun 1979-1985 tatkala ia dipercaya menjadi pimpinan Majelis Tarjih Jawa Timur dan anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Adapun karir akademiknya juga menunjukkan grafik yang cemerlang. Dalam dokumen sejarah Universitas Muhammadiyah Malang, nama Kiai Bedjo tercatat pernah sebagai Pembantu Rektor IV pada tahun 1977.

Sebagai aktivis organisasi keagamaan maupun pejuang dakwah, Kiai Bedjo telah berkontribusi besar dalam mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah dan mencerdaskan umat Malang Raya. Hingga akhirnya, ia wafat pada 6 Oktober  1986 dalam usia sekitar 78 tahun. Sebagai organisatoris yang kharismatik dan juru dakwah yang tangguh, namanya akan terus dikenang.

Kiai Bedjo telah meninggalkan karya nyata dan keteladanan yang selalu terekam dalam ingatan sejarah persyarikatan Muhammadiyah. Kini, nama Kiai Bedjo diabadikan sebagai nama masjid “KHM. Bedjo Darmoleksono” yang berlokasi di dalam kompleks RSU Universitas Muhammadiyah Malang. Sebab tokoh Sang Kiai memiliki kaitan sejarah yang sangat erat dengan Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Malang. 

Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab FAI-UMM

Exit mobile version