Wabah covid-19 telah melahirkan suasana darurat di tanah air. Termasuk dalam urusan peribadatan ummat Islam. Agar tidak menimbulkan kebingungan dan keresahan pada diri ummat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya, pada tanggal 07 Syakban 1441 H yang lalu Pimpinan Pusat Muhammadiyah membuat edaran Tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19. Edaran itu disusun sesuai dengan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Edaran ini setidaknya mencakup 19 hal terkait peribadatan ummat Islam. Mulai dari bagaimana cara kita menyikapi covid-19, shalat fardhu, shalat jum’at, penyelenggaraan jenazah, lafadz azan, sampai pada ketentuan saat nanti bulan ramadhan dan syawal yang segera tiba. Edaran lengkapnya sebagai berikut:
Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19
Fenomena penyebaran wabah Coronavirus Disease (Covid-19) yang merebak di berbagai negara termasuk di Indonesia merupakan pandemik virus yang mengancam kehidupan manusia. Akibat Covid-19 telah banyak yang menjadi korban yaitu ratusan ribu orang terinfeksi positif dan ribuan orang meninggal dunia di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Virus ini menjadi pandemik disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, penyebarannya yang cepat karena proses penularan yang cukup mudah. Kedua, penyebarannya yang tidak mudah dideteksi. Ketiga, sikap abai sebagian masyarakat terhadap potensi penyebaran dan mudarat yang diakibatkan oleh Covid-19.
Dengan demikian kondisi sekarang telah memasuki fase darurat Covid-19 berskala global. Ini berpijak pada pernyataan resmi World Health Organization (WHO) bahwa Covid-19 telah menjadi pandemik dan kriteria KLB (Kejadian Luar Biasa) yang mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia No. 451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa bahwa suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada beberapa unsur, antara lain: (1) timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal; (2) peningkatan kejadian penyakit / kematian terus-menerus selama kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
Berdasarkan hal tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah merasa perlu untuk menindaklanjuti sekaligus menyempurnakan Surat Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 02/MLM/I.0/H/2020 tentang Wabah Coronavirus Disease (Covid-19) dan Nomor 03/I.0/B/2020 tentang Penyelenggaraan Shalat Jumat dan Fardu Berjamaah Saat Terjadi Wabah Coronavirus Disease (Covid-19).
Dalam rangka melaksanakan hal itu, sesuai dengan arahan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, maka Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) telah berkoordinasi dan mengadakan Rapat Bersama pada hari Sabtu, 26 Rajab 1441 H bertepatan dengan 21 Maret 2020 M dan menetapkan beberapa keputusan.
Keputusan-keputusan tersebut diambil dengan berpedoman kepada beberapa nilai dasar ajaran Islam dan beberapa prinsip yang diturunkan dari padanya. Nilai-nilai dasar dimaksud adalah, pertama, keimanan kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Adil serta Maha Rahman dan Rahim bahwa apa pun yang menimpa manusia tidak lepas dari kehendak Allah Yang Maha Kuasa (QS. Al-Hadid [57]: 22-23). Tetapi semua yang menimpa manusia itu bukanlah karena Allah tidak adil. Sebaliknya Allah itu Maha Adil dan tidak berbuat zalim kepada hamba-Nya (QS. Fushilat [41]: 46). Oleh karena itu segala musibah yang terjadi harus dipandang sebagai suatu ujian bagi manusia (QS. Ali Imran [3]: 142) yang di baliknya banyak hikmah dan pelajaran yang harus dipetik. Antara lain kita harus menjaga kualitas lingkungan hidup kita yang baik dan sehat dan menghindari hal-hal yang merusak termasuk mengundang penyakit dan sekaligus mengingat fungsi kosmik manusia yang bertugas memakmurkan alam (QS. Hud [11]: 61).
Kedua, keimanan bahwa Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menuntunkan kepada manusia bahwa dalam menjalani kehidupan agar manusia selalu optimis dan menghindari putus asa. Sikap cepat putus asa itu bukan merupakan sikap orang mukmin, melainkan merupakan tanda ketiadaan iman (QS. Al-Hijr [15]: 56 dan Yusuf [12]: 87). Konsekuensi dari optimisme adalah bahwa kita meyakini bahwa setiap kesulitan selalu ada jalan keluarnya seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah [94]: 5) dan sabda Nabi saw, “… dan beserta bencana itu ada kelapangan dan bersama kesulitan ada kemudahan” (HR Ahmad, al-Musnad, V: 18, no. 2802, disahihkan oleh al-Arna’ūṭ). Optimisme lebih lanjut bukan suatu sikap menunggu dan berpangku tangan, melainkan melakukan ikhtiar maksimal untuk mencari jalan keluar dari berbagai kesulitan dan menghindari berbagai sumber dari kemudaratan sambil bertawakal kepada Allah. Nasib manusia itu ada di tangan manusia itu sendiri dan apa yang diperolehnya tidak lain adalah hasil usahanya dan Allah tidak akan mengubah nasibnya sebelum ia mengubah keadaan dirinya sendiri (QS. Al-Najm 53: 39 dan Al-Ra’d [13]: 11).
Ketiga, keimanan bahwa ajaran agama itu diturunkan dengan tujuan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107) yang oleh para filsuf syariah diterjemahkan sebagai perwujudan maslahat. Kemaslahatan itu adalah perlindungan terhadap manusia baik dalam kehidupan keagamaannya, jiwa raganya, akal pikirannya, institusi keluarganya maupun harta kekayaan yang menjadi sendi kehidupannya. Dalam konteks berkembangnya wabah Covid-10 sekarang perlindungan keberagamaan dan jiwa raga menjadi keprihatinan (concern) kita semua. Dari nilai-nilai dasar ajaran ini diturunkan sejumlah prinsip yang mengutamakan penghindaran kemudaratan dan pemberian kemudahan dalam menjalankan agama yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan.
Dengan mempertimbangkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah yang dipahami sesuai dengan manhaj tarjih dan berpedoman kepada nilai-nilai dasar ajaran Islam dan prinsip-prinsip yang diturunkan darinya serta data-data ilmiah dari para ahli (sebagaimana terlampir) yang menunjukkan bahwa kondisi ini telah sampai pada status darurat, maka Rapat Bersama tersebut menetapkan beberapa keputusan sebagai berikut:
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah swt,
- QS. Al-Baqarah [2] ayat 155-157:
(155) وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (156) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (157) أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ.
[155] Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar;
[156] (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali)”;
[157] Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
- QS. Al-Tagābun [64] ayat 11:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
- QS. Al-Anfāl [8] ayat 25:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
- QS. Al-Baqarah [2] ayat 195:
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
Belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
- QS. Al-Ḥadīd [57] ayat 22-23:
(22) مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ.
(23) لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.
[22] Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah;
[23] (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi saw ketika suatu hari pernah ada wabah penyakit yang menular dan mematikan (al-tha’un)terjadi. Korban wabah penyakit yang bertawakal dan berbaik sangka kepada Allah akan mendapatkan pahala syahid:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَنِي أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ [رواه البخاري].
Dari ‘Aisyah ra, istri Nabi saw, (ia berkata): Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang al-tha’un. Nabi lalu menjawab: Sesungguhnya wabah al-tha’un (penyakit menular dan mematikan) itu adalah ujian yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah juga menjadikannya sebagai rahmat (bentuk kasih sayang) bagi orang-orang beriman. Tidaklah seorang hamba yang ketika di negerinya itu terjadi al-tha’un lalu tetap tinggal di sana dengan sabar (doa dan ikhtiar) dan mengharap pahala disisi Allah, dan pada saat yang sama ia sadar bahwa tak akan ada yang menimpanya selain telah digariskan-Nya, maka tidak ada balasan lain kecuali baginya pahala seperti pahala syahid [HR al-Bukhārī].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ … الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِيقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللهِ [رواه البخاري].
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: … Orang syahid itu ada lima: orang terkena wabah penyakit, orang mati karena sakit di dalam perutnya, orang tenggelam, orang tertimpa reruntuhan bangunan, dan orang syahid di jalan Allah (mati dalam perang di jalan Allah [HR al-Bukhārī].
- .
Hal ini selaras dengan al-Qur’an,
QS. Al-Maidah [5] ayat 32,
مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا.
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang berusaha memelihara eksistensi kehidupan seorang manusia, maka ia seakan telah menjaga eksistensi kehidupan seluruh umat manusia. Sebaliknya, siapa saja yang telah dengan sengaja membiarkan seseorang terbunuh, maka ia seakan telah menghilangkan eksistensi seluruh umat manusia.
Demikian juga hadits Nabi saw,
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ [رواه الترمذي].
Dari Sa’id bin Zaid (ia meriwayatkan): Aku pernah mendegar Rasulullah saw pernah bersabda: Barangsiapa yang terbunuh karena melindungi hartanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi agamanya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi darahnya maka dia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi keluarganya maka dia syahid [HR al-Tirmidzi].
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang berusaha mempertahankan harta, agama, darah (jiwa), dan keluarganya (orang lain) seperti para ahli medis yang berjuang mempertahankan nyawa orang yang terpapar Covid-19, dan orang pada umumnya yang berusaha agar corona tidak menyebar luas merupakan orang yang berada di jalan Allah dalam arti jihad. Itulah mengapa ketika mereka meninggal dalam proses mempertahankan itu mereka diganjar pahala syahid.
Mafhum mukhalafah (argumentum a contrario) dari itu ialah bahwa orang yang justru berperan aktif secara sengaja dan atau menyepelekan wabah Covid-19 sehingga abai dan membahayakan dirinya dan juga orang lain adalah termasuk yang berlawanan dengan upaya jihad mempertahankan nyawa, dan yang demikian itu merupakan bentuk kezaliman (tidak menempatkan sesuatu sesuai keadaannya). Lagi pula orang ini melanggar firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 195,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ.
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan.
Perintah untuk berobat ini sesuai dengan hadits Nabi saw,
عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ [رواه الطبرني].
Dari Ummu al-Dardā’ (diriwayatkan) ia berkata: Dari Nabi saw (ia bersabda): Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit sekaligus obatnya. Oleh karena itu, berobatlah, namun jangan berobat dengan yang harama [HR al-Ṭabrānī].
Adapun kewajiban para ahli dan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan pengobatan selaras dengan QS. Al-Naḥl [16]: 43,
… فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.
… bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Selaras pula dengan kaidah fikih,
تَصَرُّفُ اْلاِمَامِ عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus sesuai dengan kemaslahatan [Al-Asybāh wa an-Nazā’ir oleh as-Sayūṭī, h. 202; oleh Ibn Nujaim, h. 137].
Hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورَدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ [رواه مسلم].
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Jangan orang sakit dicampurbaurkan dengan yang orang sehat [HR Muslim].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ [رواه البخاري].
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Āmir (diriwayatkan) bahwa ‘Umar pergi menuju Syam. Ketika sampai di wilayah Sargh, ia mendapatkan kabar tentang wabah yang sedang terjadi di Syam. ‘Abd ar-Raḥmān Ibn ‘Auf lalu menginformasikan kepada ‘Umar bahwa Nabi suatu ketika pernah bersabda: Apabila kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika wabah itu terjadi di tempat kamu berada, maka jangan keluar (pergi) dari tempat itu [HR al-Bukhārī].
Tindakan ini sejalan pula dengan perintah Rasulullah saw kepada orang yang sakit ketika terjadi suatu baiat. Dalam prosesi baiat umumnya kedua belah pihak saling bersalaman, akan tetapi dalam kasus tersebut Rasulullah saw menyuruh pulang orang yang sakit itu dengan tetap menerima baiatnya.
عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ [رواه مسلم].
Dari ‘Amr bin asy-Syarid, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah ada di dalam rombingan utusan Bani Ṡaqīf seorang lelaki yang mengidap sakit kusta (penyakit menular) ingin berbaiat kepada Nabi. Ketika mengetahui hal tersebut, Rasulullah lalu mengirimkan seorang utusan yang menyampaikan pesan kepadanya bahwa: Sesungguhnya kami (Rasulullah) telah menerima baiatmu, maka pulanglah sekarang [HR Muslim].
Sesuai pula dengan firman Allah pada QS. Al-Taubah [9]: 105,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ.
Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
- Shalat lima waktu merupakan kewajiban agama yang harus dikerjakan dalam segala kondisi.
Hal ini sesuai dengan nas-nas berikut,
- QS. Al-Baqarah [2] ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ.
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.
- Sabda Nabi saw,
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ … سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ مَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ [رواه أبو داود والنسائي وأحمد].
Dari ‘Ubādah Ibn aṣ-Ṣāmit (diriwayatkan bahwa) ia berkata: … Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: lima shalat diwajibkan oleh Allah atas hamba-Nya. Barangsiapa melakukannya tanpa melalaikan sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia mendapat janji dari Allah untuk dimasukkan ke dalam surga, dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka ia tidak mendapat janji dari Allah. Jika Allah menghendaki untuk mengazabnya, Dia akan melakukannya, dan jika Dia menghendaki untuk memasukkannya ke dalam surga, Dia melakukannya [HR Abū Dāwūd, al-Nasā’ī, dan Aḥmad].
- Sabda Nabi saw,
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ [رواه البخاري].
Dari ‘Imrān Ibn Ḥuṣain ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi saw tentang cara shalatnya. Beliau saw lalu menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah [HR al-Bukhārī].
Hadits terakhir ini mengisyaratkan bahwa shalat lima waktu harus dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ [رواه مالك وأحمد واللفظ له].
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan [HR Mālik dan Aḥmad, dan ini lafal Aḥmad].
Nabi saw juga menegaskan bahwa orang boleh tidak mendatangi shalat jamaah, meskipun sangat dianjurkan, apabila ada uzur berupa keadaan menakutkan dan adanya penyakit,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى [رواه أبو داود].
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mendengar azan, lalu tidak ada uzur baginya untuk menghadiri jamaah –para Sahabat bertanya: Apa uzurnya? Beliau menjawab: keadaan takut dan penyakit –, maka tidak diterima shalat yang dilakukannya [HR Abū Dāwūd].
Selain itu agama dijalankan dengan mudah dan sederhana, tidak boleh secara memberat-beratkan sesuai dengan tuntunan Nabi saw,
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ … قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ هَدْيًا قَاصِدًا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّهُ مَنْ يُشَادَّ الدِّينَ يَغْلِبْهُ [رواه أحمد].
Dari Abū Barzah al-Aslamī (diriwayatkan bahwa) ia berkata: …. Rasulullah saw bersabda: Hendaklah kamu menjalankan takarub kepada Allah secara sederhana –beliau mengulanginya tiga kali– karena barangsiapa mempersulit agama, ia akan dipersulitnya [HR Aḥmad].
Nabi saw juga menuntunkan bahwa perintah agama dijalankan sesuai kesanggupan masing-masing,
عن أبي هريرةَ عن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم قَالَ … فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْء فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أمَرْتُكُمْ بأمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ [متفق عليه].
Dari Abū Hurairah, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: … maka apabila aku melarang kamu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakan sesuai kemampuanmu [HR al-Bukhārī dan Muslim].
- Adapun orang yang karena profesinya dituntut untuk berada di luar rumah, maka pelaksanaan shalatnya tetap memperhatikan jarak aman dan kebersihan sesuai dengan protokol kesehatan. Hal ini karena shalat wajib dilaksanakan dalam setiap keadaan sebagaimana ditegaskan di atas (angka 6), di samping harus menghindari sumber-sumber kemudaratan sebagai diingatkan dalam hadits yang telah dikutip di atas yang menyatakan, “Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan.”
- Apabila keadaan amat menuntut karena tugasnya yang mengharuskan bekerja terus menerus memberikan layanan medis yang sangat mendesak, petugas kesehatan dapat menjamak shalatnya (tetapi tidak mengqasar apabila tidak musafir), sesuai dengan hadits Nabi saw,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ. فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ [روا مسلم].
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw pernah menjamak shalat Zuhur dan Asar dan shalat Magrib dan Isya di Madinah tanpa keadaan takut dan tanpa hujan. Dalam hadits Wakīʻ dikatakatan: Aku (Saʻīd Ibn Jubair) bertanya kepada Ibn ‘Abbās mengapa Rasulullah saw melakukan demikian? Ibn ‘Abbās menjawab: Agar tidak menyulitkan umatnya [HR Muslim].
Dalam hadits ini diterangkan bahwa Rasulullah saw pernah menjamak shalat di Madinah (artinya tanpa safar), tanpa takut, dan tanpa hujan. Dalam mensyarah hadits ini Imam an-Nawawī (w.676/1277) menjelaskan berbagai tafsir tentang maksud hadits ini, di antaranya beliau mengatakan,
Sejumlah imam berpendapat bolehnya menjamak shalat di tempat (tidak dalam safar) karena adanya keperluan untuk itu asal tidak dijadikan kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibn Sīrīn dan Asyhab dari pengikut Mālik. Al-Khaṭṭābī meriwayatkan pendapat ini dari al-Qaffāl asy-Syāsyī al-Kabīr pengikut asy-Syāfiʻī dari Isḥāq al-Marważī bahwa ini adalah pendapat sejumlah ahli hadits. Pendapat ini juga dianut oleh Ibn al-Munżir dan didukung oleh zahir pernyataan Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah saw ingin untuk tidak menyulitkan umatnya” (An-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, V: 305].
- Shalat Jumat diganti dengan shalat Zuhur (empat rakaat) di rumah masing-masing.
Hal ini didasarkan kepada keadaan masyaqqah dan juga didasarkan kepada ketentuan dalam hadits berikut bahwa shalat Jumat adalah kewajiban pokok, dan mafhumnya shalat Zuhur adalah kewajiban pengganti (Ini juga adalah kaul jadid Imam asy-Syāfiʻī). Dalam kaidah fikih dinyatakan,
إذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إلَى الْبَدَلِ.
Apabila yang pokok tidak dapat dilaksanakan, maka beralih kepada pengganti [Syarḥ Manẓūmat al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah].
Berdasarkan kaidah ini, karena shalat Jumat sebagai kewajiban pokok tidak dapat dilakukan, maka beralih kepada kewajiban pengganti, yaitu shalat Zuhur empat rakaat yang dikerjakan di rumah masing-masing. Peralihan kepada kewajiban pengganti ini (shalat Zuhur) dapat didasarkan kepada mafhūm aulā (argumentum a minore ad maius) dari hadits berikut. Mafhūm aulā (argumentum a minore ad maius) menyatakan bahwa apabila suatu hal (masyaqqah) yang lebih ringan dapat membenarkan tidak melakukan suatu yang wajib, maka hal (masyaqqah) yang lebih berat tentu lebih dapat lagi membenarkan tidak melakukan yang wajib itu. Hadits dimaksud adalah,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ [رواه مسلم].
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) bahwa ia mengatakan kepada muazinnya di suatu hari yang penuh hujan: Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lā ilāha illallāh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), asyhadu anna muḥammadan rasūlullāh (aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alaṣ-ṣalāh(kemarilah untuk shalat), namun ucapkan ṣallū fī buyūtikum (shalatlah kalian di rumah masing-masing). Rawi melanjutkan: Seolah-olah orang-orang pada waktu itu mengingkari hal tersebut. Lalu Ibn ‘Abbās mengakatan: Apakah kalian merasa aneh dengan ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah saw). Sesungguhnya shalat Jumat itu adalah hal yang wajib (‘azmah), namun aku tidak suka memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin [HR Muslim].
Dalam hadits ini suatu hal (masyaqqah) yang kecil, yaitu hujan yang tidak menimbulkan bahaya dan mudarat, hanya menyebabkan sedikit ketidaknyamanan, dapat menjadi alasan untuk tidak menghadiri shalat Jumat, maka keadaan (masyaqqah) yang jauh lebih berat, seperti penyebaran Covid-19 seperti sekarang yang sangat berbahaya, tentu lebih dapat lagi untuk menjadi alasan tidak menghadiri shalat Jumat. Bahkan penyelenggaraan shalat Jumat ditiadakan dalam rangka menghindari bahaya tersebut. Menghindari mudarat lebih diutamakan dari mendatangkan maslahat, sesuai dengan kaidah,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menghindari kemudaratan lebih diutamakan dari mendatangkan maslahat [Al-Asybāh wa an-Nazā’ir oleh as-Sayūṭī, h. 87; oleh Ibn Nujaim, h. 78].
Penggantian shalat Jumat menjadi shalat Zuhur bagi orang yang uzur juga didasarkan pada hadits panjang yang menceritakan tentang perjalanan haji wada’ Nabi. Ketika itu Nabi berada di Arafah pada hari Jumat, dan beliau tidak melaksanakan shalat Jumat, tetapi menjamak shalat Zuhur dengan Ashar sebagaimana kutipan hadits berikut,
ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا [رواه مسلم].
Kemudian Nabi bangkit lalu melaksanakan shalat Zuhur, dan bangkit kembali untuk melaksanakan shalat Ashar. Di antara dua shalat itu, Nabi tidak melaksanakan shalat yang lain [Lihat selengkapnya pada HR Muslim no. 1218].
- ḥayya ‘alaṣ-ṣalah” dengan “ṣallū fī riḥālikum”atau lainnya sesuai dengan tuntunan syariat.
Hal ini sesuai dengan hadits-hadits Nabi saw sebagai berikut,
عن نَافِعٍ قَالَ أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ ثُمَّ قَالَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ [رواه البخاري].
Dari Nāfi’ (ia meriwayatkan): Ibn ‘Umar pernah mengumandangkan azan di malam yang dingin di Dajnan, lalu ia mengumandangkan: ṣallū fī riḥālikum (shalatlah di kendaraan kalian). Ia mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah saw pernah menyuruh muazin mengumandangkan azan lalu di akhir azan disebutkan: Shalatlah di kendaraan kalian. Ini terjadi pada malam yang dingin atau pada saat hujan ketika safar [HR al-Bukhārī].
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ [رواه مسلم].
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Abbās (diriwayatkan) bahwa ia mengatakan kepada muazinnya di suatu hari yang penuh hujan: Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lā ilāha illallāh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), asyhadu anna muḥammadan rasūlullāh (aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh(kemarilah untuk shalat), namun ucapkan ṣallū fī buyūtikum (shalatlah kalian di rumah masing-masing). Rawi melanjutkan: Seolah-olah orang-orang pada waktu itu mengingkari hal tersebut. Lalu Ibn ‘Abbās mengakatan: Apakah kalian merasa aneh dengan ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah saw). Sesungguhnya shalat Jumat itu adalah hal yang wajib, namun aku tidak suka memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin [HR Muslim].
- Apabila kondisi mewabahnya Covid-19 hingga bulan Ramadan dan Syawal mendatang tidak mengalami penurunan, maka:
- Shalat tarawih dilakukan di rumah masing-masing dan takmir tidak perlu mengadakan shalat berjamaah di masjid, musala dan sejenisnya, termasuk kegiatan Ramadan yang lain (ceramah-ceramah, tadarus berjamaah, iktikaf dan kegiatan berjamaah lainnya) sesuai dengan dalil yang disebutkan pada angka 7 di atas.
- Puasa Ramadan tetap dilakukan kecuali bagi orang yang sakit dan yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik, dan wajib menggantinya sesuai dengan tuntunan syariat.
Ini sesuai dengan ayat al-Qur’an:
QS. Al-Baqarah [2] ayat 185:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ.
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
- Untuk menjaga kekebalan tubuh, puasa Ramadan dapat ditinggalkan oleh tenaga kesehatan yang sedang bertugas dan menggantinya sesuai dengan tuntunan syariat.
Allah swt berfirman dalam,
- QS. Al-Baqarah [2] ayat 195:
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
Belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Ayat di atas menunjukkan larangan kepada umat Islam untuk menjatuhkan diri pada kebinasaan (keharusan menjaga diri/jiwa). Tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 membutuhkan kekebalan tubuh ekstra dan kesehatan baik fisik maupun non-fisik. Dalam rangka itu ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa apabila dikhawatirkan bilamana tetap berpuasa justru akan membuat kekebalan tubuh dan kesehatannya menurun, sehingga mengakibatkan terpapar Covid-19 lebih besar dan berujung pada ancaman kematian.
- Juga didasarkan kepada istidlāl mursal dalam interpretasi al-Gazzālī (w. 505/1111), yaitu argumen maslahat yang selaras dengan tindakan Pembuat Syariah di tempat lain. Tindakan Pembuat Syariah di tempat lain, dalam kaitan ini, adalah memberi keringanan kepada orang sakit, musafir, wanita hamil dan menyusui, orang tua bangka untuk tidak menjalankan puasa Ramadan. Mereka yang masih dapat menggantinya di luar Ramadan, menggantinya di hari lain di luar Ramadan. Mereka yang tidak dapat menggantinya di luar Ramadan karena memang tidak mungkin berpuasa karena sudah sangat tua dan juga wanita muda yang hamil berkesinambungan, menggantinya dengan membayar fidyah. Tindakan pemberian keringanan lainnya adalah memberikan dispensasi qasar dan jamak shalat dan memberi keringanan pembayaran utang hingga saat mempunyai kelapangan.
Berdasarkan tindakan-tindakan Pembuat Syariah di tempat lain yang memberi keringan itu, maka demi kemaslahatan dan untuk menjaga stamina dan kondisi fisik yang prima, tenaga kesehatan dapat tidak berpuasa selama Ramadan dengan ketentuan menggantinya di hari lain di luar Ramadan. Pemberian keringanan bagi tenaga kesehatan (yang bekerja langsung di lapangan) untuk tidak berpuasa selama Ramadan dalam kondisi merebaknya Covid-19 sejalan dengan tindakan pembuat Syariah di tempat lain.
- Shalat Idulfitri adalah sunnah muakkadah dan merupakan syiar agama yang amat penting. Namun apabila pada awal Syawal 1441 H mendatang tersebarnya covid-19 belum mereda, shalat Idulfitri dan seluruh rangkaiannya (mudik, pawai takbir, halal bihalal, dan lain sebagainya) tidak perlu diselenggarakan. Tetapi apabila berdasarkan ketentuan pihak berwenang covid-19 sudah mereda dan dapat dilakukan konsentrasi banyak orang, maka dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan petunjuk dan ketentuan yang dikeluarkan pihak berwenang mengenai hal itu. Adapun kumandang takbir ‘Id dapat dilakukan di rumah masing-masing selama darurat Covid-19 [Lihat dalil pada angka 7].
- Memperbanyak zakat, infak dan sedekah serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19.
Hal ini selaras dengan spirit dari al-Qur’an dan hadits, antara lain:
- QS. Saba [34] ayat 39:
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ.
Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.
- QS. Al-Baqarah [2] ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
- Hadits Nabi saw,
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ مَا خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةً إِلَّا أَمَرَنَا بِالصَّدَقَةِ وَنَهَانَا عَنِ الْمُثْلَةِ [رواه أحمد].
Dari ‘Imrān Ibn Ḥuṣain (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Tiada Rasulullah saw berkhutbah di depan kami, melainkan beliau memerintahkan kami bersedekah dan melarang kami melakukan pemotongan telinga (sebagai hukuman) [HR Aḥmad].
- Menggalakkan sikap berbuat baik (ihsan) dan saling menolong (taawun) di antara warga masyarakat, terutama kepada kelompok rentan, misalnya berbagi masker, hand sanitizer, atau mencukupi kebutuhan pokok dari keluarga yang terdampak secara langsung dan tidak melakukan panic buying (pembelian barang karena panik/ penimbunan barang berdasarkan rasa takut).
Hal ini sebagaimana spirit al-Qur’an,
- QS. Al-Naḥl [16]: 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
- QS. Al-Māidah [5] ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Saling menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan saling menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
- Hadits Nabi saw,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ – وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ [رواه مسلم].
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Muslim, maka Allah akan melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya [HR Muslim].
- Perawatan jenazah pasien Covid-19 sejak meninggal dunia sampai dikuburkan, dilakukan sesuai dengan standar protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang, misalnya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 300/Menkes/SK/IV/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza Butir B. 3. 6). Respon Medik dan Laboratorium: Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, Surveillans, dan Pemulasaraan Jenazah dan Surat Edaran Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor P-002/DJ.III/Hk.00.7/032020 tentang Imbaun dan Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid-19 pada Area Publik di Lingkungan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Butir E.4 Imbauan Pelaksanaan Protokol Pengurusan Jenazah Pasien Covid-19.
- Apabila dipandang darurat dan mendesak, jenazah dapat dimakamkan tanpa dimandikan dan dikafani, dalam rangka menghindarkan tenaga penyelenggara jenazah dari paparan Covid-19 dengan pertimbangan asas-asas hukum syariah bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sejauh yang mampu dilakukannya, apa yang diperintahkan Nabi saw dilaksanakan sesuai dengan kemampuan, tidak ada kemudaratan dan pemudaratan, kemudaratan harus dihilangkan, kesulitan memberikan kemudahan, keadaan mendesak dipersamakan dengan keadaan darurat, dan kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya, dan mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat. Kewajiban memandikan dan mengafani jenazah adalah hukum kondisi normal, sedangkan dalam kondisi tidak normal dapat diberlakukan hukum darurat. Berikut ini dalil-dalil yang menjadi pegangan:
- Pertama, Allah tidak membebani seseorang melainkan sejauh yang mampu dilakukannya (QS. Al-Baqarah [2]: 282),
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
- Kedua, hadits dari Abū Hurairah, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: … dan jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakanlah sejauh kemampuanmu (Hadits muttafaq ‘alaih)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ … وَإِذَا أمَرْتُكُمْ بأمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ [متفق عليه].
- Ketiga, tidak boleh berbuat mudarat dan menimbulkan mudarat.
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
- Keempat, kemudaratan harus dihilangkan.
الضَّرَرُ يُزَالُ
- Kelima, kesukaran dapat mendatangkan kemudahan.
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
- Keenam, Keadaan mendesak dapat dipersamakan dengan keadaan darurat, baik keadaan mendesak itu bersifat umum maupun khusus.
اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
- Ketujuh, kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya.
الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
- Kedelapan, mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
- Penyelenggaraan shalat jenazah dapat diganti dengan shalat gaib di rumah masing-masing. Adapun kegiatan takziah dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan hal-hal yang terkait penanggulangan Covid-19 atau dilakukan secara daring.
Ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى اَلنَّجَاشِيَّ فِي اَلْيَوْمِ اَلَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلىَ الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيْراَتٍ [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah ra (ia meriwayatkan): Sesungguhnya Rasulullah saw pernah menyiarkan informasi kematian Raja an-Najāsyī, lalu beliau keluar ke tempat shalat bersama para sahabat, beliau membariskan mereka (membentuk saf) dan beliau bertakbir sebanyak empat kali takbir (shalat gaib atas kematian Raja al-Najasyi) [HR al-Bukhārī].
- Penyelenggaraan akad nikah dilakukan sesuai dengan standar protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang, misalnya Surat Edaran Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor P-002/DJ.III/Hk.00.7/032020 tentang Imbaun dan Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid-19 pada Area Publik di Lingkungan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia E.3 Protokol Pencegahan Penyebaran Covid-19 pada Layanan Nikah di KUA. Adapun acara resepsi atau walimah dapat diselenggarakan setelah kondisi normal.
- Dianjurkan banyak istigfar, bertaubat, berdoa kepada Allah, membaca al-Qur’an, berzikir, bersalawat atas Nabi, dan kunut nazilah secara individu serta dengan keyakinan dan berbaik sangka akan ketetapan Allah, semoga Covid-19 segera diangkat oleh Allah swt.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam,
- QS. Hūd [11] ayat 3:
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ وَإِن تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ.
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.
- QS. Al-Baqarah [2] ayat 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
- Hadits Nabi saw,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا … [رواه مسلم].
Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Amr Ibn al-‘Āṣ (diriwayatkan) bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda: Apabila kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka tirulah apa yang diucapkan muazin itu kemudian bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali … [HR Muslim].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى رِجَالٍ مِنَ اْلمُشْرِكِينَ يُسَمِّيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْئٌ) الأ ية (ال عمران) [رواه البخاري].
Dari Ibn ‘Umar r.a. (diriwayatkan): Pernah Rasulullah saw mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka sampai Allah menurunkan ayat: Laisa laka minal-amri syai’un (tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu) (Ali Imran ayat 127) [HR al-Bukhārī].
عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُلَيْمَانَ، قُلْنَا لِأَنَسٍ إنَّ قَوْمًا يَزْعُمُونَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ فَقَالَ كَذَبُوا إنَّمَا قَنَتَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُو عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْمُشْرِكِينَ [رواه الخطيب].
Dari ‘Ashim bin Sulaiman (ia meriwayatkan): Lami berkata kepada Anas: Sesungguhnya suatu kaum menganggap Nabi saw itu tidak putus-putus berkunut di (shalat) Subuh, lalu Anas berkata: Mereka telah keliru, karena beliau tidak kunut melainkan satu bulan, yang mendoakan kecelakaan satu kabilah dari kabilah-kabilah kaum musyrikin [HR al-Khatib].
Ayat-ayat al-Qur’an di atas mengajurkan kita untuk banyak berdoa, beristigfar, dan bertaubat kepada Allah. Lalu hadits riwayat Muslim menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak shalawat. Adapun dua hadits lainnya menunjukkan kebolehan kunut nazilah dengan catatan tidak menggunakan kata-kata kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan, akan tetapi memohon perlindungan dan pertolongan kepada Allah atas perilaku kezaliman atau wabah penyakit yang menimpa.
Demikian Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19. Tuntunan ini hanya diberlakukan dalam kondisi darurat, sehingga apabila kondisi sudah normal, maka pelaksanaan ibadah di atas dilakukan sebagaimana biasanya.
Edaran versi Versi pdf dapat diunduh di:
(Mjr8)