Elegan dalam Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar
Ketika kekuasaan umat Islam beralih dari Ali bin Abi Thalib kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, Muawiyah bermaksud membangun pandangan masyarakat bahwa kekuasaan yang diperolehnya merupakan wujud qadha dan qadar Allah. Ia pun menyebarluaskan ide fatalisme, bahwa semua terjadi karena takdir. Fatalisme dijadikan dalih atas perbuatan zalim mereka. Fakta ini menjadi contoh ketika penguasa menggunakan atau menafsirkan agama demi kekuasaan. Politisasi agama juga dilakukan oleh mereka yang beroposisi dan menginginkan kekuasaan.
Ahmad Syafii Maarif menyebut bahwa peristiwa Perang Jamal dan Perang Shiffin di antara para kader inti Nabi sebagai awal mula the misunderstood religion dan misguided Arabism. Perselisihan kepentingan dengan mengatasnamakan agama diwariskan hingga hari ini. Mereka yang gagal membaca sejarah masa lalu akan juga gagal membaca realitas kekinian dan kedisinian. Realitas ini menyadarkan kita bahwa agama merupakan sesuatu yang sakral, namun pemahaman terhadap agama merupakan sesuatu yang profan.
Kebenaran agama adalah apa yang ditemukan manusia dalam pemahaman terhadap kitab suci, sehingga kebenaran agama menjadi sangat beragam. Kelemahan manusia terkadang berupa semangatnya yang menggebu-gebu untuk mengupayakan seluruh dunia menjadi satu pendapat. Padahal Allah sendiri memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih jalannya sendiri (Qs. 18: 29). Kebebasan ini menjadi titik ujian bagi manusia.
Perselisihan para kader inti Nabi Muhammad menunjukkan bahwa persoalan politik berbeda dengan persoalan teologi. Perselisihan Ali dan Muawiyah terjadi di wilayah politik. “Itu situasi politik, bukan situasi teologis. Membawa masalah teologis ke urusan politik (maupun sebaliknya) itu tidak pas,” ungkap Guru Besar UIN Ar Raniry Banda Aceh, Al Yasa Abubakar. Demi kepentingan politik, tokoh agama kerap membajak ayat dan hadis supaya dipahami sesuai keinginan nafsunya.
Politik itu wilayah yang kompleks dan tidak linier. Di dunia politik praktis, ungkap Haedar Nashir, semua pihak memiliki kepentingan pragmatis, sebagian ada yang idealis. Politik merupakan wilayah muamalah duniawiyah, hukumnya mubah, sifatnya luwes. Politik dan pemerintahan merupakan wilayah ijtihad, bukan qat’iy. Islam hanya menetapkan nilai pokok dan universal. Bahtiar Effendy dalam Islam dan Negara (1998) menyatakan bahwa Islam tidak mengkodifikasikan satu sistem bernegara yang baku. Islam hanya memberi wawasan, panduan nilai, moral, dan etika secara global.
Dalam perilaku berpolitik, orang kerap “menghalalkan segala cara, menebar kebencian dan permusuhan, politik pembelahan, dan yang mengakibatkan rusaknya sendi-sendi perikehidupan kebangsaan yang majemuk dan berbasis pada nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa” (Risalah Pencerahan Tanwir Bengkulu 2019). Perilaku semisal itu tentu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menyuruh untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian.
Menurut Al Yasa, prinsip dasar amar makruf nahi munkar dalam politik dan dalam urusan teologis berbeda. Dalam amar makruf bidang politik, dalam konteks kita, menggunakan ukuran standar konstitusi Indonesia. Sementara amar makruf dalam bidang akidah, menggunakan ukuran standar Al-Qur’an dan Hadis. Dalam urusan politik di Indonesia, konstitusi yang telah disepakati harus dipedomani bersama. Jika tidak setuju, maka cara untuk memperbaiki kontitusi harus ditempuh sesuai dengan aturan bersama. Misalnya melalui amandemen UUD 1945 dan cara lainnya yang sah.
“Karena kita berada dalam sistem, maka amar makruf nahi mungkar harus dilakukan dalam kerangka sistem. Jika saya melihat ada orang yang melawan arus di jalan, sebagai ilmuwan, maka saya akan tulis itu. Saya tidak bisa berdiri di tengah jalan memantau dan menyuruh mobil yang melawan arus untuk balik. Saya bisa menelepon polisi, saya bisa juga menyampaikan ini melalui ceramah,” kata Al Yasa yang juga mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh ini. Amar makruf nahi mungkar dilakukan sesuai peran dan posisi.
Sebagai warga negara yang baik, umat Islam perlu mendedikasikan diri untuk membangun tanah airnya, menghormati hak dan kewajiban setiap warga negara, serta menaati sistem hukum yang berlaku. “Setiap Muslim di negeri ini, sebagai warga negara yang baik, wajib hukumnya (fardu ‘ain) membela, melindungi, dan membangun Indonesia, agar menjadi Indonesia yang berkemajuan,” tutur Hasnan Bachtiar, Dosen Fakultas Agama Islam UMM.
Negeri ini merupakan hasil konsensus. “Melalui proses integrasi keislaman dan keindonesiaan yang positif itu, maka umat Islam Indonesia sebagai kekuatan mayoritas dapat menjadi uswah hasanah dalam membangun Negara Pancasila menuju cita-cita nasional yang sejalan dengan idealisasi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” (PP Muhammadiyah, Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa al-Syahadah, 2015).
Landasan Amar Makruf Nahi Munkar
Qs Ali Imran: 104 dan 110 sering dirujuk sebagai landasan amar makruf nahi munkar. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh pada yang makruf dan mencegah dari kemunkaran.” Perintah ini ditujukan kepada umat terbaik dengan predikat khairu ummah. Hanya umat yang maju dan unggul, yang dapat menjadi umat tengahan, adil, dan rujukan. Umat terbaik adalah yang paling bermanfaat, menjalankan peran khalifah di muka bumi. Tanpa pengetahuan dan keunggulan, tak mungkin mampu mempengaruhi opini publik dan tak efektif melaksanakan amar makruf nahi munkar.
Kata ‘min’ dalam Ali Imran: 104, menurut sebagian ulama, menunjukkan makna bahwa yang diseru adalah ‘sebagian’ umat Islam. Sehingga perintah amar makruf nahi munkar masuk kategori fardu kifayah. Kewajiban ini misalnya tidak diwajibkan bagi orang yang tidak berilmu dan tidak memenuhi syarat untuk melakukan amar makruf nahi munkar. Menurut paham Muktazilah, amar makruf nahi munkar sifatnya wajib sebagai salah satu prinsip dasar mereka, yang dikenal dengan al-usul al-khamsah.
Pada ayat selanjutnya, Allah melarang umat Islam bertasyabbuh atau menyerupai Ahli Kitab yang berpecah belah dalam beragama, terlebih perpecahan yang terjadi setelah datang keterangan yang jelas. Jika amar makruf nahi mungkar justru melahirkan kemungkaran baru, melahirkan perpecahan dan kemudaratan, maka perlu dipertanyakan ulang tentang dakwah amar makruf nahi munkar, yang seharusnya dijalankan secara sistematis melalui strategi dakwah komunitas, misalnya.
Amar makruf nahi munkar Muhammadiyah dijalankan dengan prinsip dakwah yang berkemajuan dalam matarantai tajdid. Identitas Muhammadiyah dalam pasal 4 Anggaran Dasar: dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid. Jadi, jangan hanya amar makruf nahi munkar, tetapi juga tajdid. Amar makruf nahi munkar pun bagian dari aplikasi dakwah.
Muhammadiyah dengan dakwah dan tajdidnya membangun infrastruktur pusat-pusat keunggulan, mendidik masyarakat supaya rasional dan berakhlak, memberikan penyadaran bagi publik, mengajak warga negara menyalurkan hak politiknya dan aspirasinya sesuai konstitusi. Perjuangan non-politik praktis ini jika dijalankan secara konsisten dan penuh dedikasi, akan menghasilkan buah: terwujudnya masyarakat atau peradaban unggul di semua bidang, termasuk dalam percaturan politik.
“Adalah suatu kewajiban umat Islam untuk membangun kehidupan dunianya yang bermartabat dan berkemajuan. Namun hal itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan menguasai dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dan perlu,” (At-Tanwir, 2016: 193). Segenap usaha Muhammadiyah untuk membangun sekolah dan perguruan tinggi, mendirikan rumah sakit, dan seterusnya, merupakan bagian dari dakwah dan wasilah untuk mencapai tujuan amar makruf nahi munkar.
Dakwah amar makruf nahi munkar Muhammadiyah dilakukan secara bertahap dengan berbagai cara atau strategi yang tepat sasaran. Amar makruf nahi munkarpun jangan berdasarkan pikiran sendiri, melainkan terikat dengan prinsip organisasi dan kepribadian Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak punya tendensi untuk mendisiplinkan orang Muhammadiyah dengan keras, tetapi mestinya semua berpatokan pada prinsip-prinsip Muhammadiyah.
Dalam berdakwah harus dipahami objek secara tepat, tidak sembarangan. Nabi Muhammad mengubah pola pikir masyarakat Arab jahiliyah secara bertahap. Ayat-ayat yang turun di Mekkah dan Madinah berbeda. Semisal dalam hal pengharaman minuman keras dilakukan dengan bertahap. Dengan pendekatan ini, kata Malik bin Nabi dalam Le Phenomene Quranique, Islam lebih berhasil mengubah masyarakat untuk meninggalkan tradisi minum minuman keras, sementara Amerika Serikat dengan pendekatan aturan Acte Volstead (1919) justru gagal.
Islam datang merubah pola pikir dan membangun kesadaran baru. Dalam menyajikan materi dakwahnya, kata Quraish Shihab, Al-Qur’an terlebih dahulu meletakkan suatu prinsip bahwa manusia yang dihadapi adalah makhluk hidup yang terdiri dari unsur jasmani, akal, dan jiwa, sehingga ia harus dipandang dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsurnya secara simultan. Manusia bersifat kompleks, tidak bisa dihadapi secara intrumental layaknya robot yang tidak punya aspek emosional.
Menurut Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1994), tidak ada satu pun tingkah laku, sikap, atau pola pikir yang hendak diberantas oleh Al-Qur’an atau sebaliknya ingin diteguhkan, kecuali semuanya diuraikan dengan argumen rasional, sentuhan psikis, serta teladan dari Nabi. Inilah faktor kunci keberhasilan dakwah Nabi. Bermula dari teladan pribadi dan berakhir pada terbentuknya masayarakat islami. Pola pikir dan sikap perseorangan akan menular kepada masyarakat.
Amar makruf nahi munkar memang ajaran utama. Al-Maududi dalam Capitalism, Socialism, and Islam (1995) menyatakan, “the main objective of the Shariah is to construch human life on the basis of ma’rufat and to cleanse it of the munkarat” (tujuan yang utama dari syari’at ialah untuk membangun kehidupan manusia di atas ma’rufat dan membersihkannya dari hal-hal yang munkarat). Menurut Ibnu Taimiyyah, dalam al-Qur’an ada tiga puluh delapan kata al-ma’ruf dan enam belas kata al-munkar.
Al-Qur’an banyak memerintahkan amalan makruf, kebaikan, dan ihsan. Dalam perkembangan dakwah di tengah masyarakat, kata Nucholish Madjid, laku umat Islam cenderung mengarah pada nahi munkar semata. Mereka cenderung melakukan perjuangan reaktif (fight againts), dan kadang kurang menerapkan perjuangan amar makruf (fight for), yang sifatnya mengajak pada upaya membangun kebaikan, kebersamaan, kemajuan, dan cita-cita perjuangan proaktif (Madjid, 1999:97).
Dakwah adalah usaha mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia di tataran individu dan masyarakat dalam semua bidang sehingga sesuai dengan nilai dan norma Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Salah satu tugas pokok dakwah Nabi adalah menyampaikan amanah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Standar akhlak yang dimaksudkan adalah Al-Qur’an. Kata Aisyah, “Akhlak Nabi adalah al-Qur’an.” Beliau laksana Qur’an berjalan.
Dakwah amar makruf nahi munkar harus dilakukan dengan kemuliaan akhlak. Dakwah yang merangkul dan penuh empati akan mengundang simpati dan sampai ke hati. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Ali Imran:159)
Kebaikan dan keburukan ada di mana-mana. Surat Al-Syams ayat 8 menyatakan, “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.” Sebelum melakukan dakwah amar makruf nahi munkar, kita dituntut untuk mengenali dan memahami terlebih dahulu tentang hakikat kebaikan dan keburukan di dalam masyarakat. Setelah memiliki pemahaman, barulah orang bisa untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah tindakan-tindakan keburukan. Semua itu dilakukan dengan adil, tidak dengan politisasi.
Kata al–ma’ruf berasal dari kata ‘arafa, yaitu dikenal atau disepakati sebagai standar umum kebaikan. Dari kata ini, para ulama ushul fikih merumuskan prinsip urf menjadi salah satu sumber hukum Islam. Menurut Hamka, makruf adalah sesuatu yang dikenal, dapat dimengerti, dipahami, diterima oleh manusia, dan dipuji. Perilaku ini hanya dilakukan oleh manusia berakal. Sementara munkar adalah sesuatu yang dibenci, tidak disenangi, ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak pantas dikerjakan. Objek amar makruf nahi munkar haruslah pada wilayah yang telah disepakati kebaikan dan keburukannya. Adapun perbuatan yang masih mengandung khilafiyah, tidaklah dikenai amar makruf nahi munkar.
Menyeru yang makruf dan mencegah yang munkar merupakan aktivitas dakwah. Asasnya harus dakwah. Bukan pikiran sendiri-sendiri tanpa prinsip dakwah. Amalan ini dijalankan dengan prinsip An-Nahl ayat 125: bil-hikmah, wal-mauidhatul hasanah, wa-jadilhum billati hiya ahsan. Dilakukan secara elegan dan perlahan untuk memberi pemahaman. Nabi Musa dan Harun ketika berdakwah kepada Fir’aun yang sangat kufur dan zalim sekalipun, diperintahkan bersikap lembut. Qs Thaha ayat 43: 44, menyatakan, “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (ribas)