Muhammadiyah Kurang Tegas?

Muhammadiyah Kurang Tegas?

Muhammadiyah Kurang Tegas?

Oleh: Dr Pradana Boy ZTF

“Kurang keras dan tegas.” Begitu jawaban seorang tokoh Muhammadiyah di sebuah propinsi di luar Jawa ketika saya bertanya tentang seorang da’i muda Muhammadiyah yang selama beberapa minggu berceramah di berbagai komunitas Muhammadiyah di wilayahnya. Jawaban itu adalah simpulan atas respons rerata anggota Muhammadiyah. Tokoh itu bertutur bahwa dalam mengurai  jawab atas ragam soalan keagamaan yang diajukan, da’i muda itu memberikan aneka alternatif. Setelah memaparkan sejumlah pandangan ulama secara perbandingan, dia mengembalikan kepada jama’ah untuk mengikuti sikap mana yang paling sesuai dengan pilihan dan kondisi masing-masing.

Sikap memberikan alternatif seperti itu, menurut saya, bagus. Lebih dari upaya mendidik jama’ah untuk bersikap moderat, memberikan pilihan dalam perspektif muqaranah atau perbandingan itu adalah metode literasi jitu dalam situasi saat ini. Tokoh lokal itupun setuju dengan pola demikian. Tetapi, sikap jamaah yang menganggap da’i itu sebagai “kurang keras dan tegas,” adalah sebuah fakta yang menarik untuk jadi bahan perenungan. Sejujurnya, situasi seperti inipun sering saya jumpai dalam berbagai pengalaman pribadi. Di sejumlah pengajian Ahad pagi, seringkali anggota jama’ah meminta jawaban yang hitam putih atas berbagai persoalan. Respons moderat dan komparatif kurang disukai, karena dianggap menyeret umat pada wilayah abu-abu.

Sikap ini rupanya menjadi akar dari sejumlah sikap lainnya. Belakangan ini, sikap keras mencirikan model beragama sementara kalangan di Muhammadiyah. Pengerasan sikap ini sebenarnya bukan hanya menimpa Muhammadiyah. Muslim Indonesia secara umum, belakangan mengalaminya. Meskipun fakta ini mencengangkan, tetap saja bisa difahami. Mitsuo Nakamura menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat multi-wajah (dzu-wujuh). Maka, adanya kalangan yang “keras” seperti itu bisa ditelusuri akar sosiologisnya. Misalnya, sejak awal Muhammadiyah bersifat terbuka, sehingga keberadaan aneka orientasi di dalamnya bisa dikaitkan dengan keterbukaan itu.

Ruh Agama

Masalahnya, seringkali aneka orientasi yang berkompetisi itu mengusung “sifat bawaan” dari luar dan hendak menerapkannya ke Muhammadiyah, dan bukan menyesuaikan diri dengan langgam dan corak dasar keagamaan Muhammadiyah. Contoh kesalahfahaman itu adalah munculnya sementara tuduhan dari sementara kalangan “internal” Muhammadiyah sendiri bahwa Muhammadiyah telah berhenti melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kesalahfahaman seperti ini lahir dari dua hal.

Pertama, ketidakfahaman tentang hakikat gerakan Muhammadiyah. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4 ayat 1 tentang “Identitas dan Asas”, disebutkan: “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan al-Sunnah.” Ada kecenderungan mereduksi Muhammadiyah semata-mata sebagai gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar tadi, dan melupakan dimensi Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Pada Pasal 7 ayat 1 juga disebutkan: “Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.”

Ini bermakna bahwa Muhammadiyah dalam menjalankan aktivitas dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar menggunakan pendekatan yang progresif. Maka, kecenderungan mereduksi Muhammadiyah semata-mata sebagai gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan melupakan dimensi tajdid ini telah melahirkan anggapan bahwa Muhammadiyah telah berhenti melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Pada wilayah yang berbeda, Muhammadiyah adalah gerakan yang menggabungkan pemurnian dan kemajuan. Kegagalan memahami kombinasi ini akhirnya melahirkan kesan di atas.

Kedua, pemahaman yang sempit tentang nahi munkar. Mencegah kemunkaran bisa dilakukan dengan aneka metode. Dalam hal ini, Muhammadiyah melalui “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad ke-2” hasil Muktamar 2010 di Yogyakarta menyebutkan keharusan bagi Muhammadiyah untuk mengubah strategi dakwah dari pola li al-mu’aradhah ke pola li al-muwajahah, yakni dari konfrontasi ke dialog dan atau persuasi. Dua contoh yang bisa dihadirkan di sini adalah pewujudan ruh agama dalam praktik kehidupan sosial dan tajdid intelektual.

Kiai Dahlan adalah prototipe tokoh dengan kecenderungan seperti itu. Tajdid atau pembaruan Kiai Dahlan oleh banyak sarjana, misalnya Munir Mulkhan dan Sukidi, disebut sebagai api pembaruan. Justru karena berhasil menyalakan api pembaruan yang dipetik dari ruh Qur’an dan Sunnah inilah, maka Muhammadiyah hingga hari ini terus melakukan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar untuk melakukan pencerahan kepada masyarakat tanpa peduli apapun identitas mereka.

Proyek-proyek kemanusiaan Muhammadiyah yang terinspirasi pemaknaan Kiai Dahlan atas ruh Surah al-Ma’un, misalnya, memberikan manfaat secara terbuka kepada semua kelompok manusia tanpa ada pembeda dan batas. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di banyak tempat penerima manfaat pendidikan Muhammadiyah tidak selalu anggota Muhammadiyah, bahkan tidak selalu kalangan Muslim. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, sebagaimana direkam oleh penelitian Abdul Mu’ti dan Fajar Riza ulHaq, mayoritas mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kupang adalah kalangan Kristiani. Atas dasar kenyataan inilah, lalu Mu’ti dan Fajar menyebut mahasiswa itu sebagai Krismuha atau Kristen Muhammadiyah.

Refleksi atas ruh kitab suci dan implementasi nilai-nilainya dalam praksis kehidupan merupakan ciri utama keberagamaan Kiai Dahlan. Maka, para ahli lalu ada yang menyebut corak keberagamaan Kiai Dahlan ini sebagai ortopraksi, atau gabungan dari ortodoksi dalam makna keteguhan berpegang teguh kepada kitab suci dan praksis, yakni pewujudan ruh dan nilai “ortodoks” tadi ke dalam aksi nyata. Dalam perkembangan sejarah, Muhammadiyah terus menjaga daya refleksi ini. Pada bidang aksi sosial, refleksi atas ruh agama itu terus diwujudkan.

Tajdid Intelektual Muhammadiyah

Wajah tajdid Muhammadiyah, lebih jauh juga bisa dilihat pada individu-individu yang terus-menerus memberikan sumbangan pada dunia keilmuan. Betapapun dalam berkarya, mereka berkiprah sebagai individu, sangatlah sulit memisahkan mereka dari dimensi tajdid Muhammadiyah. Maka, tidaklah berlebihan jika disebut bahwa dalam bidang pengetahuan, Muhammadiyah juga melahirkan pemikir-pemikir yang mengampanyekan pentingnya tajdid sebagai prinsip bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Sebut saja salah satunya adalah almarhum Kuntowijoyo. Pada masa hidupnya, Pak Kunto memproduksi gagasan-gagasan otentik tentang masyarakat Islam. Pak Kunto tahu betul bahwa Al-Qur’an adalah kitab ilmu pengetahuan. Oleh itulah, lalu ia mengusulkan agar umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai paradigma perumusan pengetahuan. Menurut Pak Kunto, Al-Qur’an sebagai paradigma adalah sebuah konstruksi yang memungkinkan umat Islam untuk memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya. Lebih jauh, Kuntowijoyo meyakini bahwa dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai paradigma, maka pengembangan eksperimen baru dalam dunia pengetahuan sangat dimungkinkan.

Selain Kuntowijoyo, sejarah pengetahuan Muhammadiyah kontemporer juga mencatat nama Amin Abdullah yang berusaha mewujudkan ruh agama dalam teori-teori ilmiah. Salah satunya adalah integrasi dan interkoneksi. Garis besar teori ini adalah bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang dalam kehidupan manusia saat ini, betapapun terpisah oleh spesialisasi yang fakultatif, tetap harus memiliki kesinambungan. Jika dibawa ke dalam konteks beragama yang mencerahkan ini, maka gagasan-gagasan brilian dalam ilmu pengetahuan seperti yang dicetuskan oleh Amin Abdullah ini mustahil lahir jika agama hanya difahami sebagai identitas dan bukan sebagai ruh.

Belakangan, muncul nama Agus Purwanto, yang dengan basis kepakaran dalam bidang fisika teori, juga berusaha mengembangkan ruh Al-Qur’an untuk perumusan teori-teori saintifik. Melalui karyanya Ayat-Ayat Semesta, Agus Purwanto meyakini bahwa dalam perumusan teori-teori saintifik, harus merujuk kepada Al-Qur’an. Maka jika terjadi pertentangan formulasi ilmiah antara teori kontemporer (Barat) dengan rumusan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an harus dimenangkan.

Maka di sinilah bisa disimpulkan bahwa dalam menjalankan dakwahnya, Muhammadiyah tidak pernah berhenti menggabungkan amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, tak terkecuali tajdid dalam bidang intelektual. Kegagalan memahami kombinasi ini hanya akan membawa Muhammadiyah pada wajah dakwah yang kaku, buta pada realitas sosial dan anti-perubahan.

Dr Pradana Boy ZTF, Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Mantan Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur

Exit mobile version