Alpha Amirrachman
Globalisasi tidak terhindarkan terus mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, berbangsa dan bernegara, termasuk kerukunan antar umat beragama. Berbagai literatur telah mengupas pengaruh globalisasi pada budaya, ekonomi, politik dan ideologi bagi suatu entitas negara.
Dalam konteks Indonesia penting untuk melihat bagaimana dan sejauh mana Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa sekaligus sebagai ideologi terbuka mampu menjawab tantangan arus globalisasi dan aspek-aspek apa saja yang perlu mendapatkan perhatian. Timbulnya sikap egosentris, ego sektoral, fanatisme sempit, korupsi, dan merebaknya ketegangan sosial seperti konflik antar umat beragama merupakan indikasi memudarnya pemahaman dan internalisasi nilai-nilai Pancasila.
Dibentuknya UKP PIP tahun 2017 yang kemudian pada tahun 2018 berubah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) nampaknya belum mampu secara optimal menjawab tantangan tergerusnya pemahaman nilai-nilai Pancasila oleh arus globalisasi. Bahkan menjadi bahan perdebatan ketika ada wacana yang terkesan ingin membenturkan Pancasila dengan agama terutama Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia.
Muhammadiyah sendiri telah mengambil sikap yang tegas mengenai negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah. Bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam ridha Allah SWT. Lalu bagaimana Muhammadiyah seyogyanya mengambi peran dalam pusaran tantangan ini?
Tiga Tantangan Utama
Penting bagi bangsa ini untuk senantiasa meningkatkan kewaspadaan nasional dengan melihat globalisasi bukan hanya sebagai peluang yang dapat membawa kemaslahatan, namun juga potensi ancaman yang dapat membawa hal-hal yang tidak kita inginkan bersama, dalam hal ini memudarnya pemahaman akan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Terkait dengan globalisasi, perlu dipahami juga bahwa Pancasila selain sebagai falsafah dan padangan hidup bangsa, sebagai ideologi nasional, sebagai dasar negara, juga sebagai ideologi terbuka di era global. Pancasila sebagai ideologi terbuka menjawab tantangan mempertahankan identitas bangsa dalam kaitan dengan persatuan nasional, namun pada saat yang sama juga mengembangkan dinamikanya agar dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain dengan mengandalkan kemampuan untuk beradaptasi dan berinovasi terhadap proses kehidupan yang baru (Yulianto, Haryo et al. 2020:47).
Tiga aspek tantangan yang menjadi perhatian di dalam tulisan ini, yang pertama, pengaruh globalisasi pada pergeseran ideologi. Yang kedua, pengaruh globalisasi pada semakin terseragamnya hegemoni budaya Barat, yang memberikan konsekuensi tergerusnya keragaman budaya lokal. Yang ketiga, pengaruh globalisasi pada meningkatnya peluang konfrontasi antara kelompok masyarakat. Bagaimana Pancasila dapat menjawab ketiga tantangan yang hadir bersama arus globalisasi ini dan bagaimana Muhammadiyah dapat mengambil peran sentral?
Pertama, pengaruh globalisasi pada pergeseran ideologi. Penelitian yang dilakukan Malek Abduljaber dan Iker Kalin (2019) menganalisis bagaimana globalisasi menyebabkan pergeseran ideologi pada sikap dengan terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat baru dengan kesempatan politik dan ekonomi yang juga baru.
Menurut AA Gde Aryana (2015), di era globalisasi ini “seluruh kehidupan manusia di suatu negara hampir tidak mungkin bersifat ekslusif, karena bagaimanapun upaya untuk mempertahankan kekhasannya tetap tidak mungkin dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh luar.” Seiring dengan terjadinya pergeseran ideologi, maka terbentuk kelompok-kelompok masyarakat baru dengan kesempatan politik dan ekonomi yang juga baru.
Kita melihat peluang-peluang baru ini, seperti misalnya kelompok enterprenuer start-up, selain membawa nilai-nilai baru yang bermanfaat seperti kreatifitas, inovasi dan practicality, juga membawa nilai-nilai ideologi yang bisa jadi tidak selalu akan sesuai dengah falsafah bangsa kita. Interaksi dengan warga belahan dunia lain yang dimungkinan melalui perkembangan teknologi, secara tidak sadar membawa serta paham-paham ideologi lain dari luar yang terlihat lebih menantang dan menarik.
Kita melihatnya, misalya, sebelum dibubarkan oleh pemerintah RI, kelompok Hizbut Tahir dengan gencar menyebarkan paham ideologinya dengan menggunakan media sosial dan perangkat teknologinya lainnya yang dimungkinkan setelah adanya peluang-peluang baru di bidang teknologi dan informasi.
Perlu ikhtiar untuk memperkuat ketahanan ideologi Pancasila dari derasnya arus informasi yang membawa ideologi-ideologi asing melalui perkembangan teknologi. Ketahanan ideologi Pancasila dimungkinkan untuk diperkuat karena, sebagaimana disinggung dalam awal tulisan ini, bahwa Pancasila adalah juga sebuah ideologi terbuka yang dinamis. Ini artinya nilai-nilai Pancasila dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman dalam menjalani kehidipan berbangsa dan bernegara. Sifat diinamis ini menjadi prasyarat dalam menjaga ketahan nasional di tengah arus pusaran modernitas.
Pada saat yang sama, Pancasila juga memiliki sifat sebagai ideologi yang lengkap dan menyeluruh, atau komprehensif. Artinya Pancasila sebagai suatu sistem pemikiran menyeluruh mengenai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Terlebih Pancasila digali dari nilai-nilai yang ada para realitas bangsa Indonesia, karena itu ideologi ini tidak berpihak secara eksklusif pada golongan tertentu dan mampu mengakomodasi berbagai idealisme yang ada pada masyarakat kita yang plural ini sebagai fondasi ketahan nasional kita (Maharani, Surono et al. 2019:280).
Dalam hal ini Muhammadiyah dapat dengan sigap mengambi peran dengan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk menyebarkan standing point Muhammadiyah terhadap Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah dan Islam wasathiyah. Apa yang sudah dilakukan PP Muhammadiyah dengan mendirikan Pusat Syiar Digital Muhammadiyah (PSDM) dan rintisan pembelajaran berbasis teknologi virtual coordinator training yang dilakukan Majelis Dikdasmen PWM Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan lagkah yang tepat namun perlu untuk terus diperluas jangkauannya. Dengan demikian dakwah Muhammadiyah dapat terus diperluas tidak hanya melalui khutbah ritual keagamaan namun dapat tersirat dan tersurat melalui media pembelajaran dan produk budaya. Ini juga menjadi bagian dari implementasi amanah Muktamar ke-47 di Makasar mengenai dakwah komunitas.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah juga perlu mengembangkan digital entrepreneur untuk amal-amal usahanya, sehingga pengembangan artificial intelligence, internet of things, dapat membawa efektifitas dan efisiensi namun dengan output dan dampak yang besar dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dengan kemajuan teknologi, sudah saatnya Muhammadiyah menerjemahkan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila menjadi nilai-nilai operasional yang mudah dipahami dan diimplementasi oleh masyarakat terutama generasi muda. Dialog-dialog yang interaktif, bukan indoktrinasi, akan lebih melekat dalam proses internalisasi. Dengan demikian ancaman globalisasi pada pergeseran ideologi dapat dihindari, justru dirubah menjadi kemaslahatan. (Bersambung).
Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah