Nurjanah Wijayanti
Tajdid atau pembaruan berasal dari bahasa Arab “jaddada-yujaddidu-tajdiidan,” yang bermakna “memperbarui.” Sedang secara istilah, tajdid dalam Persyarikatan Muhammadiyah dimaknai menjadi dua. Pertama, tajdid dimaknai sebagai pemurnian atau purifikasi, yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan ar-ruju’ ila al-qur’an wa as-sunnah, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah. Kedua, tajdid dimaknai sebagai pembaruan atau reformasi.
Tetapi, pemaknaan Muhammadiyah atas jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah bukan spirit untuk kembali ke masa lalu, melainkan berorientasi untuk masa depan yang lebih baik. Di sinilah titik temu antara tajdid sebagai purifikasi dengan tajdid sebagai reformasi.
Maka disadari atau tidak, sebenarnya melalui gerakan tajdidnya, Muhammadiyah ingin menyebarkan dan melahirkan jiwa pembaharu pada banyak pribadi Muslim. Yaitu yang ditandai dengan melekatnya daya kreatif dan daya inovatif. Kemampuan memecahkan masalah (problem solver) dan kemampuan melahirkan sesuatu yang baru atau mengembangkan hal lama menjadi sesuatu yang baru dan kekinian.
Biasanya daya kreatif dan daya inovatif ini lahir dari buah pemikiran yang keluar dari pakemnya. Istilah sekarang sering disebut dengan out of the box (keluar dari kotak). Bahkan sebagian lebih milenial hari ini sudah berpikir tidak lagi ada kotak, think without box. Pikiran semacam ini biasanya akan dimiliki oleh mereka yang memang memiliki jiwa pembaharu. Jiwa yang timbul akibat realita ketertinggalan, sehingga ia berusaha untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Maupun jiwa yang timbul karena terus-menerus tertantang dengan perkembangan zaman, tidak mau berdiam lama di zona nyaman dan terus-menerus mencari tantangan. Sempitnya ruang gerak dan terhamparnya keterbatasan tidak menjadikannya diam dan berteman dengan pribadi yang statis, sebaliknya justru memilih menjadi pribadi yang dinamis dan aktif.
Lihat apa yang dilakukan Abdul Qodir Lenamah di Amanuban Timur NTT. Kekeringan, minoritas, dan minimnya lembaga pendidikan di daerahnya justru membuatnya untuk bergerak mendirikan sekolah. Walau Muslim di tempatnya minoritas, tapi upayanya justru mendapat dukungan dari berbagai tokoh lintas agama.
Lihat pula Ranting Muhammadiyah Kayuputih Jakarta. Daerah di mana dulunya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah, kini sudah menjadi kompleks perguruan Muhammadiyah yang bersih dan megah. Atau lihat pula sosok Siti Qomariyah guru di SD Muhammadiyah 4 Filial Palembang. Walau terbentang luas di hadapannya ada lautan keterbatasan, tapi ia tidak menyerah. Demi anak didiknya ia terus mencoba keluar dari keterbatasan tersebut .
Terakhir, Achmad Jainuri dalam artikelnya “Model Tajdid Muhammadiyah: Membangun Masyarakat Utama” menuliskan, ketidaksiapan warga anggota Muhammadiyah dalam mensikapi persoalan yang berkembang saat ini akan menghilangkan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Maka sebaliknya, barang siapa mau tampil aktif, kreatif, inovatif, bergerak menuju arah yang lebih baik, dan tidak mudah puas diri, sejatinya ia sedang mengihidupkan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Mahasiswi S2 Pascasarjana UAD Yogyakarta