Hisab disebut juga ilmu hitung atau arithmatic. Hisab dalam arti perhitungan waktu misalnya disebut dalam QS. Yunus: 5 dan hadits, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang tiga puluh hari,” (HR Bukhari dan Muslim). Pada masa Nabi, ilmu hisab belum berkembang di kalangan umat Islam dan penentuan waktu ibadah didasarkan pada rukyat: mengamati dengan mata telanjang, tanpa alat bantu optik.
Cakupan ilmu hisab lebih luas dari ilmu falak. Namun, hisab kerap diidentikkan dengan falak, sebab aktivitasnya adalah melakukan perhitungan gerakan benda langit. Dari perhitungan tersebut didapatkan posisi benda langit, ketinggian, kerendahan, terjadinya waktu malam dan siang, awal waktu shalat, bilangan bulan dan tahun, awal bulan Qamariyah, hingga gerhana. Penetapan waktu dan arah tersebut dilakukan dengan perhitungan terhadap posisi-posisi geometris matahari, bulan, dan bumi.
Metode hisab dibedakan menjadi hisab urfi dan hisab hakiki. Tarjih Muhammadiyah meyakini hisab hakiki dengan acuan ijtimak atau konjungsi (bulan dan matahari berada di satu garis edar), sebagai batas kulminasi awal dan akhir bulan Qomariyah dengan menggunakan tiga kriteria wujudul hilal untuk penetapan awal bulan. Kriteria yang dimaksud berupa: telah terjadi ijtimak bulan-matahari, ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari, dan bulan di atas ufuk atau belum terbenam pada saat matahari terbenam.
Hilal dianggap sudah wujud adalah ketika matahari terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya hilal walaupun hanya berjarak kurang dari satu menit. Panduan teknis tentang langkah perhitungan beserta contohnya dapat dilihat Pedoman Hisab Muhammadiyah (2009), e-book dapat diakses di laman tarjih.or.id.
Hisab memberi kepastian dan menjadi patokan kalender hijriyah. Metode hisab Muhammadiyah, adalah serangkaian proses perhitungan untuk menentukan arah suatu tempat dari tempat lain, atau menentukan posisi geometris benda langit untuk kemudian mengetahui waktu saat di mana benda langit menempati posisi tersebut, atau mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum. Objek metode hisab Muhammadiyah antara lain: arah kiblat, waktu salat, awal bulan Qamariah, serta gerhana matahari dan bulan.
Di Muhammadiyah, kajian falak dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan (meluruskan arah kiblat). Dilanjutkan oleh KH Ahmad Badawi, Sa’doeddin Djambek, dan KH Wardan Diponingrat (mempelopori hisab hakiki wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah dalam penentuan bulan Qamariah hingga kini). Selanjutnya lahir M Bidran Hadie, Basith Wahid, dan Abdur Rachim. Muncul pula generasi baru ahli falak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, antara lain Oman Fathurohman, Susiknan Azhari, Syamsul Anwar, Sriyatin Shodiq. Muhammadiyah berpandangan, penentuan awal bulan tidak termasuk ibadah mahdhah, tetapi tergolong wilayah ilmu pengetahuan (sebagai metode/sarana), sehingga berlaku sabda Nabi, antum a’lamu bi umuri dunyakum. Hadits shuumu lirukyatihi wa afthiruu li rukyatihi dimaksudkan lil-irsyaad, sebagai petunjuk, bahwa Nabi membenarkan pemahaman masyarakat ummi pada konteks sebelum ilmu hisab berkembang. Perintah rukyat dalam hadits ini memiliki illat atau beralasan, tidak dipahami sebagai perintah mutlak. (ribas)