Nalar Agama dan Wabah Corona

Nalar Agama dan Wabah Corona

Wabah virus corona (covid-19) yang bermula dari kota Wuhan, China, pada 29 Desember 2019, hingga kini telah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia sebagai pandemi global karena telah menyebar hingga lebih dari 30 negara. Korban global yang terinfeksi per-14 Maret 2020 berjumlah 145.695,  sebanyak 5436 orang meninggal dan 72.550 sembuh ( Johns Hopkins Coronavirus Resource Center).

Berbagai kalangan di tengah arus digitalisasi  informasi yang cepat menyebar,  mulai dari para ilmuwan epidemologi dan pakar kesehatan-kedokteran, pakar ekonomi, analis politik hingga pemuka agama memberikan respon dan menghasilkan kesimpulan berbeda, saling berlawanan serta simpang siur. Hal itu menimbulkan kebingungan, sikap pesimis hingga konflik di tengah masyarakat dalam menyikapi pendemi ini. 

Yang menarik adalah respon kalangan pemuka agama, salah satunya di India, yang menganjurkan orang untuk minum air kencing sapi sebagai obat penangkal virus. Perlu diketahui bahwa di kalangan umat Hindu di India, sapi dianggap hewan suci yang merupakan reinkarnasi dewa Krisna. Anjuran ini jelas bertentangan dengan sudut pandang pakar kesehatan.

Tak luput lupa respon para pemuka agama Islam, dimana dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama mereka yang memandang dan merespon wabah virus corona dengan menggabungkan antara perspektif agama yang menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan, khususnya epidemiologi (ilmu kesehatan publik tentang wabah). Mereka memunculkan respon, seperti fatwa,  bahwa wabah ini dapat mengancam kelangsungan dan kemashlahatan hidup manusia, untuk itu diperlukan pencegahan, dan Islam mendukung pencegahan tersebut dengan ikhtiar yang maksimal, khususnya dari sudut pandang kesehatan, misalnya karantina masal masyarakat, social distance hingga lockdown.

Kegiatan ibadah keagamaan yang bersifat masal, seperti  shalat jum’at dan shalat jamaah di masjid, dapat diganti dengan shalat dhuhur dan shalat sendiri di rumah, untuk menghindari kerumunan masal yang berpotensi sebagai sarana penyebaran virus tersebut. Termasuk ketika pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan untuk menghentikan sementara ibadah umrah bagi umat Islam seluruh dunia demi mencegah hal yang lebih buruk dan membahayakan  (madharat).

Sementara itu kelompok kedua, cenderung merespon wabah ini dari sudut pandang yang menjadikan agama Islam terkesan sebagai agama yang irrasional, atau bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Maka kita dapati banyak respon dari beberapa pemuka agama Islam yang menganggap wabah ini adalah hasil konspirasi; wabah ini adalah tentara siksa dan azab Tuhan untuk mereka yang selama ini berbulat zhalim dengan mengarahkan pada narasi kebencian anti-China dan kaitannya dengan kasus Muslim Uighur; wabah ini adalah akibat jin yang merasuki manusia, hingga mengkaitkan wabah ini dengan tanda-tanda eskatologi (hari akhir).

Hingga dalam kegiatan ibadah pun mereka menolak umrah dihentikan sementara dan ibadah jumat digantikan dengan shalat dhuhur, karena wabah ini adalah takdir Tuhan yang kita umat Islam harus pasrah menerimanya dengan diiringi memperbanyak taubat dari dosa yang selama ini dilakukan.  Pada saat ada kabar ellite istana Saudi kena wabah ini, di antara mereka ada yang bersorak, itulah hukuman bagi orang yang menghalangi umat Islam beribadah di masjidil haram.

Fenomena terbelahnya umat Islam dalam menyikapi wabah Corona ini, mengharuskan kita menengok dan mengevaluasi kembali sejauh mana  fungsi agama Islam sebagai pemandu kehidupan manusia yang sepanjang sejarahnya tidak dapat lepas dari banyak masalah dan tantangan, termasuk semacam wabah epidemi Corona ini. Apakah Islam mengajarkan kepasrahan total atau ikhtiar maksimal?

Ternyata, jika kita telisik dalam sejarah Islam, akan kita dapati banyak respon yang menarik dan rasional, khususnya dari Nabi sendiri yang mengajarkan untuk melakukan karantina jika virus menerpa suatu wilayah (HR. Al-Bukhari).

Umar bin Khatab yang saat itu menjadi khalifah, ketika terjadi epidemi wabah amwas (Emmaus, sebuah kota kuno di Palestina) pada tahun 638-639 M yang menyebar di Syam (kini Suriah) dan ditimbulkan oleh kutu yang terinfeksi bakteri yersinia pestis yang dibawa oleh binatang kecil seperti serangga (Michael W Dolls, 1977), kehilangan pasukannya sejumlah 25.000 orang yang meninggal akibat virus ini dimana pasukan ini  ia kirim menghadapi pasukan Bizantium.

Beberapa sahabat senior yang turut meninggal dalam wabah ini antara lain Muadz bin Jabal, Syurahbil bin Hasanah dan  Yazid bin Abi Sufyan, maka Umar memerintahkan panglimanya Abu Ubaidah untuk membawa pasukannya kembali ke Madinah agar terhindar dari kematian luas. Namun, Abu Ubaidah menolak untuk keluar dari Suriah saat itu dan Umar pun membuat kiasan menarik kepada Abu Ubaidah, “Jika ada dua daerah, satunya subur terhampar tanaman menghijau, satunya lagi kering tiada tanaman, manakah yang akan engkau pilih wahai Abu Ubaidah?”. Dalam versi riwayat lain, Umar berpendapat, kita berpindah dari takdir Allah yang satu, ke yang lainnya.

Saat virus black death (maut hitam) pada abad ke-14 yang berasal dari China dan merebak di Eropa kemudian ke Asia dan Afrika, termasuk kota dan wilayah di Timur Tengah (Mekah, Cairo, Baghdad), para ilmuwan Muslim antara lain Ibnu Khatib (Granada Andalusia), Ibnu Sina (Isfahan, Persia) dan Ibnu an-Nafis (Cairo, Mesir) melakukan penelitian mengenai penyebab virus tersebut. Karya-karya mereka terinspirasi para filosof dan dokter Yunani kuno seperti Gallen dan Hippocrates yang diterjemahkan pada saat masa kejayaan Islam pada abad ke-8 hingga abad ke-14.

Pendekatan rasional ini juga diambil oleh Muhammadiyah pada masa awal. Ketika mayoritas ummat Islam Indonesia masih menganggap rumah sakit sebagai bagian dari budaya kaum kafir, Muhammadiyah justeru menjadi perintis rumah sakit pribumi yang pertama di Indonesia. Oleh karena itu, Rumah Sakit Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai monumen hidup yang membuktikan Muhammadiyah selalu mengedepankan pendekatan rasional dalam urusan kesehatan. (muchlis rahmanto)

Exit mobile version