Muhammadiyah sejak awal menyuarakan pentingnya Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sekaligus aman, damai, dan berkeadaban. Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebelumnya mengundang dan berdialog dengan semua pimpinan Partai Politik. Pada 17 April dan sesudahnya disampaikan sikap moral Muhammadiyah selaku organisasi kemasyarakatan yang non-politik praktis. Selebihnya, Muhammadiyah tentu tidak dapat mengawal Pemilu terlalu jauh layaknya penyelenggara, kontestan, tim sukses, partai politik, dan kelompok partisan.
Ketika isu kecurangan Pemilu mencuat Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan desakan agar KPU, Bawaslu, dan seluruh jajarannya agar bekerja lebih profesional, jujur, adil, transparan, dan independen sehingga proses penghitungan dan hasil Pemilu betul-betul terpercaya, objektif, seksama, profesional, tepat waktu, dan bebas dari tekanan pihak mana pun sehingga dapat diterima secara objektif oleh semua pihak. Komunikasi dengan sejumlah pihak juga dilakukan, meski tidak selalu dipublikasikan.
Mengenai isu kecurangan baik umum maupun TSM (terstruktur, sistematis, masif) tentu persoalan ini masuk ranah praktis dari persengketaan politik yang harus dibuktikan di muka hukum. Muhammadiyah konsisten mendorong proses penyelesaian di Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak yang berpekara pun sudah membawanya ke MK, pada saat yang sama MK didorong benar-benar adil, objektif, dan berdiri tegak di atas hukum. Kecurangan selalu ada pada setiap Pemilu. Namun Muhammadiyah tidak dalamposisimemperkarakan kecurangan Pemilu secara praktis seperti pihak yang bersengketa. Dalam situasi seperti ini peran Munammadiyah tetap terukur dalam tataran “high politics” dan bukan “low politics”.
Karenanya menjadi tidak adil dan berlebihan jika Muhammadiyah dituntut menyikapi isu kecurangan Pemilu secara praktis, lebih-lebih mengikuti pola pikir partisan dan yang bersengketa. Tugas utama mengurus kecurangan haruslah para pihak yang berkontestasi. Kalau ada pandangan dan sikap perorangan itu hak warga negara, tetapi tidak perlu menuntut dan menghakimi Muhammadiyah dengan konstruksi amarmakruf nahimunkar yang cenderung subjektif. Muhammadiyah memang bermisi dakwah amar makruf nahi munkar, tetapi tidak harus dibawa pada urusan persengketaan politik Pemilu yang dapat menyeret gerakan dakwah ini pada konflik politik praktis.
Penting juga diketahui pasca pemilihan pihak partai politik pendukung telahmenarik diri dari pergulatan praktis persengketaan Pemilu. Bahkan satu dua bermanuver beralih koalisi. Politik bagi mereka sangat fleksibel. Maka menjadi ironi jika Muhammadiyah didorong-dorong terus untuk menyikapi proses Pemilu yang sarat kepentingan para pihak. Hal itu dapat menghadapkan Muhammadiyah dalam pusaran konflik politik. Ini bukan soal berani dan tidak berani dalam perjuangan, tetapi berkaitan dengan objek masalah yang kontroversial dan pembuktiannya harus di jalur hukum.
Tulisan ini pernah dimuat di tajuk suara muhammadiyah nomor 13/ 1-15 juli 2019