Menularnya wabah Corona Virus Disease (Covid-19) yang menjadi pandemi bersifat global telah membawa dampak pada banyak hal dalam kehidupan. Termasuk dalam beragama. Demi mencegah kedaruratan dan kerusakan kegiatan ibadah berjamaah di masjid bagi umat Islam maupun kegiatan pada agama lain dilaksanakan di kediaman masing-masing. Langkah ini merupakan ijtihad para ulama dalam lembaga keagamaan dan pemerintah.
Namun masih terdapat perorangan baik tokoh, ulama, maupun warga yang memiliki pandangan berbeda. Dalam keadaan normal perbedaan (ikhtilaf) dalam praktik beragama, apalagi yang bersifat ijtihad, merupakan kelaziman. Namun ketika situasi darurat dan mafsadat yang meluas hal itu menjadi sesuatu yang bermasalah. Apalagi jika pandangan yang berbeda itu tergolong minoritas. Sikap demikian sebenarnya cenderung selain tidak toleran, juga tidak memperhatikan keadaan dan nasib atau kemaslahatan umum.
Sebagian orang menyebutkan mereka yang takut dan memandang Covid-19 sebagai bahaya sebagai lemah iman dan tauhidnya. Semestinya umat beriman takut hanya kepada Allah, bukan kepada Corona. Sikap demikian dianggap kemusyrikan dalam Islam. Bahkan ada yang demonstratif masih menyelenggarakan shalat berjamaah dan menunaikan shalat Jum’at di masjid. Menganggap orang banyak sebagai paranoid.
Pandangan yang menilai banyak orang Islam takut pada Corona sebagai lemah iman dan tauhid sangatlah tidak beralasan, baik dari sudut ajaran Islam maupun situasi yang dihadapi. Wabah Covid-19 benar-benar berbahaya karena telah menyebar di 177 negara, termasuk di Indonesia. Ratusan ribu (bahkan sudah hitungan juta) jiwa terinfeksi positif, ribuan meninggal, dan ancamannya terus meluas. Kondisi global dan nasional benar-benar nyata darurat. Islam memberi pijakan kokoh ketika menghadapi keadaan darurat yang mengancam agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal manusia.
Allah mengajarkan dalam hidup dan beragama berprinsip pada kemudahan dan menjauhi kesukaran (QS Al-Baqarah: 185). Dalam menghadapi tha’un (wabah), Nabi mengingatkan “Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Nabi juga mengajarkan agar menjauhi perbuatan darurat bagi diri sendiri dan yang menimbulkan kedaruratan bagi orang lain. Banyak ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang memberi jalan keluar dalam menghadapi sutuasi darurat.
Jangan merasa diri jawara atau paling kuat dalam beragama. Apalagi dengan merendahkan keagamaan sesama muslim. Orang beriman diingatkan Allah, “…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32). Dalam menghadapi musibah, tatkala orang beriman mencari ikhtiar agar tercegah dan terhindar dari musibah, semestinya tidak perlu dihakimin sebagai lemah iman dan Islam.
Jika merasa yakin diri aman karena iman, pedulilah pada kepentingan orang banyak. Islam tidak mengajarkan umatnya asyik-masyuk dalam urusan spiritual dengan mengabaikan urusan kehidupan di dunia. Maka aneh kalau ada yang merasa bertaqwa justru abai dengan musibah umat manusia. Padahal ribuan orang meninggal dan ratusan ribu terjangkit di lebih sluruh negara, sedangkan para dokter dan petugas kesehatan harus bertaruh jiwa. Di mana iman dan tauhid bersemi untuk peduli atas derita sesama?
Kenapa tidak mengikuti Sunnah Nabi? Sabda Nabi, tidak disebut orang itu beriman hingga dia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya. Orang yang rajin shalat dan puasa tetapi buruk terhadap tetangganya, ganjarannya neraka. Islam mengajarkan umatnya untuk peduli dan tidak egois dengan keislamannya. Merasa jawara dalam beragama di tengah musibah yang mewabah merupakan perbuatan ghuluw atau ekstrem yang dapat membahayakan kepentingan dan kemaslahatan umum!